Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Langkah di Ujung Gaji

Langkah di Ujung Gaji

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
70.4K
Popular
212
Subscribe
98
Novel / Langkah di Ujung Gaji
Langkah di Ujung Gaji

Langkah di Ujung Gaji

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
70.4K
Popular
212
Subscribe
98
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifePria Miskin
Bagas Darmawan tidak pernah punya mimpi besar. Lulus SMA saja sudah keajaiban, apalagi dapat kerja tetap. Hidupnya di kota kecil penuh tekanan: kontrakan sempit, ibunya yang sakit-sakitan, dan dompet yang selalu kosong di pertengahan bulan. Kerja sebagai kurir ekspedisi membuat Bagas sering dianggap sepele. Ia pemalas, sering datang terlambat, dan tampak seperti anak muda yang tak punya arah hidup. Tapi di balik sikap malasnya, Bagas memiliki bakat langka — daya ingat visual dan logika rute yang nyaris sempurna. Ia hafal setiap jalan, gang, dan celah kota seolah pernah memetakannya sendiri. Suatu hari, ia diminta mengantarkan paket misterius ke gedung tua di pinggir kota. Dari situ hidupnya berubah. Ia tanpa sengaja terlibat dalam kasus besar yang menyeret banyak pihak, dari korporasi gelap sampai aparat yang korup. Polisi gagal menemukan petunjuk, tapi Bagas mulai melihat pola yang tak terlihat orang lain. Dari anak kurir biasa, ia berubah jadi sosok yang berani melangkah menembus ketakutan, demi ibunya dan demi hidup yang layak. Kisah ini menggambarkan perjuangan seorang pemuda sederhana yang menemukan makna hidup bukan dari seberapa besar gajinya — tapi dari keberanian menempuh jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bab 1 — Sisa Gaji Pertama

Jam dinding di ruang kontrakan berdetak pelan, seolah menertawakan Bagas yang masih menatap slip gajinya. Kertas kecil itu tampak kusam, angka di bawah tulisan “Total diterima” sudah hafal di luar kepala: Rp1.820.000.

Bukan jumlah besar, tapi bagi Bagas, itu hasil kerja sebulan penuh—keringat, teriakan bos, panas matahari, dan kejar-kejaran dengan waktu.

Ia menyandarkan punggung di dinding yang catnya mulai mengelupas. Uang itu tinggal setengahnya. Sebagian sudah untuk bayar kontrakan, beli obat ibunya, dan sisanya habis entah ke mana. Mie instan, bensin, dan rokok sebatang tiap malam—semuanya menguap cepat.

“Sisa gaji pertama,” gumamnya lirih, sambil menatap amplop yang kini hanya berisi dua lembar uang biru.

Kontrakan Bagas tidak besar, hanya satu ruangan berisi kasur tipis, kipas angin tua, dan meja kecil tempat ia menaruh helm serta jaket kerja. Di sudut ada termos air, panci kecil, dan beberapa bungkus mie instan. Hidupnya sederhana, tapi Bagas tidak pernah benar-benar mengeluh. Ia hanya sering berpikir, sampai kapan bisa bertahan begini?

Suara motor-motor lewat di luar jendela membuatnya tersadar. Ia melihat jam lagi: pukul enam pagi. Waktunya bersiap. Ia bangkit, mengenakan jaket abu-abu bertuliskan “JetFast Express”, dan menepuk-nepuk saku celananya untuk memastikan uang kembalian masih ada.

Tas ransel kecil ia selipkan ke punggung. Di dalamnya, bekal nasi goreng dingin yang ia bungkus semalam.

Saat keluar, udara pagi masih lembap. Gang sempit tempat kontrakannya berada mulai ramai. Ada ibu-ibu menyapu, anak-anak sekolah berlari, dan aroma gorengan dari ujung gang yang menggoda. Tapi Bagas tahu, kalau ia berhenti beli gorengan lagi, uang bensinnya bisa jebol.

Motor bututnya, Supra lama dengan knalpot berkarat, sudah menunggu. Ia menyalakan mesin, sedikit berdeham, lalu berangkat menuju kantor ekspedisi. Jalanan pagi itu masih basah oleh hujan semalam, dan kabut tipis membuat lampu motor di depan tampak seperti bintang kecil yang bergoyang.

---

Kantor ekspedisi “JetFast Express” berdiri di pinggir jalan besar, bangunan dua lantai dengan papan nama yang catnya mulai pudar. Di halaman, sudah berjejer beberapa motor kurir.

“Gas! Telat lagi lo!” suara Toni, rekan kerjanya, langsung menyapa begitu Bagas turun dari motor.

Bagas hanya tersenyum miring. “Belum telat, Ton. Masih jam enam lewat lima belas.”

“Bos udah nyariin! Katanya kemarin paket kamu salah rute!” seru Toni lagi, sambil menepuk-nepuk jaketnya sendiri.

Bagas menarik napas. Ia memang salah kirim paket kemarin, tapi itu bukan karena ceroboh—alamat di kertas pengiriman memang salah cetak. Sayangnya, bos tak peduli. Bagi bos, kesalahan kurir artinya potong gaji.

“Yowes, nanti gue beresin. Lo dapet rute mana hari ini?” tanya Bagas sambil menulis tanda tangan di buku absen.

“Tebet sama Kuningan. Lo kayaknya dapet Menteng deh, tuh amplopnya di meja,” jawab Toni.

Bagas mengambil amplop itu. Di dalamnya, daftar alamat dan beberapa paket kecil. Rute Menteng berarti ia bakal keliling dari rumah ke rumah, nyari alamat di gang kecil, dan kena panas siang. Tapi daripada nganggur, lebih baik jalan.

Sebelum berangkat, ia sempat melirik meja bosnya. Pak Hadi, kepala cabang, sedang duduk dengan kening berkerut. “Bagas!” panggilnya.

“Siap, Pak!”

“Kemarin tuh, paket buat Ibu Ratna di Cempaka salah kirim ya?”

“Iya, Pak. Tapi itu—”

“Jangan banyak alasan! Hati-hati hari ini. Salah rute lagi, potong seratus ribu!”

“Iya, Pak...”

Bagas menelan ludah. Gajinya yang sudah pas-pasan bisa makin tipis kalau sampai salah lagi. Tapi ia tetap tersenyum dan mengangguk sopan sebelum keluar.

---

Perjalanan hari itu berjalan seperti biasa. Bagas menyalakan musik dari ponsel tuanya, lagu-lagu lama dari Sheila on 7 yang sering menemaninya di jalan. Ia hafal betul setiap gang di Jakarta Pusat; seperti peta yang tertanam di kepalanya. Kadang teman-teman kerjanya heran bagaimana Bagas bisa hafal alamat hanya dengan sekali baca. Ia sendiri juga tidak tahu. Sejak kecil, ia selalu mudah mengingat arah dan rute.

Menjelang siang, panas mulai menyengat. Jaketnya sudah basah oleh keringat, tapi paket masih sisa banyak. Saat berhenti di lampu merah, ia sempat membuka botol air mineral dan meneguk pelan.

Sebuah mobil sedan berhenti di sampingnya. Di dalam, seorang pria bersetelan rapi sedang bicara lewat ponsel. Pendingin udara tampak dari kaca yang buram. Bagas tersenyum kecil—dunia mereka begitu berbeda, tapi entah kenapa ia tidak iri. Ia hanya ingin bisa hidup cukup dan melihat ibunya sembuh.

---

Sekitar pukul dua siang, ia berhenti di pinggir jalan untuk makan bekal. Ia duduk di bawah pohon rindang dekat taman kecil. Nasi gorengnya sudah dingin dan agak keras, tapi rasa lapar membuatnya tetap lahap. Sambil makan, ia memandangi orang-orang berlalu lalang: pegawai kantoran dengan seragam rapi, pengendara ojek, dan ibu-ibu yang berjualan di trotoar. Dunia seolah berjalan cepat, sementara dirinya seperti terjebak di titik yang sama.

Dari saku celana, ponselnya bergetar.

Pesan dari Ibu:

> “Gas, nanti pulangnya beli obat batuk, ya. Yang biasa di warung depan. Ibu masih sesak.”

Bagas terdiam sejenak. Matanya menerawang. Ibunya memang sudah lama sakit, tapi mereka belum mampu periksa ke rumah sakit besar. Hanya obat warung yang bisa dibeli.

Ia menatap uang sisa di dompet: Rp42.000.

“Masih cukup buat bensin, makan malam, sama obat. Aman,” gumamnya meyakinkan diri sendiri.

Setelah makan, ia kembali bekerja. Satu per satu paket diantarkan, tanda tangan diterima, dan kadang senyum sekadar basa-basi dari pelanggan. Tidak semua ramah—ada yang marah, ada yang cuek. Tapi Bagas sudah terbiasa.

Sore mulai turun, langit berubah jingga. Ia berhenti sejenak di jembatan penyeberangan, menatap matahari yang perlahan tenggelam di antara gedung tinggi. Angin sore menyapu wajahnya, membawa bau asap dan debu jalanan.

“Tiap hari begini, tapi entah kenapa... rasanya gak sia-sia,” ucapnya pelan.

---

Saat kembali ke kantor ekspedisi, langit sudah mulai gelap. Beberapa kurir lain sedang menutup buku laporan. Pak Hadi masih di meja, tapi kini wajahnya sedikit lebih tenang.

“Bagas, semua paket udah dikirim?”

“Udah, Pak. Nih, tanda terimanya lengkap.”

Pak Hadi memeriksa cepat lalu mengangguk. “Bagus. Jangan kayak kemarin lagi.”

Bagas hanya tersenyum, meski hatinya masih kesal. Tapi bagi pekerja seperti dia, diam adalah cara terbaik bertahan.

Sebelum pulang, Toni menghampirinya. “Gas, besok lembur, lo ikut gak? Ada pengiriman malam.”

“Bayarannya berapa?”

“Tambahan lima puluh ribu.”

“Lima puluh doang? Wah, lumayan sih buat beli obat. Oke, gue ikut.”

Toni menepuk bahunya. “Anak baik! Jangan telat aja, ya.”

---

Perjalanan pulang malam itu sepi. Jalanan lengang, lampu jalan berpendar kuning. Bagas melaju pelan, menikmati udara malam yang sedikit dingin. Di dalam helm, ia tersenyum kecil—bukan karena senang, tapi karena lega. Hari ini tidak ada masalah. Semua paket terkirim, dan besok ia masih punya pekerjaan.

Sesampainya di kontrakan, ia menaruh helm dan jaket di gantungan. Ibu sudah tidur di kasur tipis, dengan napas tersengal pelan. Bagas duduk di sampingnya, menatap wajah ibunya dalam remang lampu.

“Ibu... Bagas janji, nanti Ibu gak usah minum obat warung lagi. Kita periksa ke dokter beneran,” bisiknya.

Tentu saja ibunya tak mendengar. Tapi janji itu terasa berat di dada Bagas.

Ia kemudian membuka dompet. Di dalamnya hanya ada beberapa lembar uang lusuh. “Sisa gaji pertama,” ulangnya sambil tersenyum getir.

Namun di balik senyum itu, terselip tekad kecil yang mulai tumbuh.

Entah bagaimana, di tengah rasa lelah dan pasrah, Bagas merasakan sesuatu yang berbeda malam itu—semacam dorongan aneh di dalam dada, seperti firasat bahwa hari-hari ke depan tidak akan sesederhana ini.

Lanjut membaca
Lanjut membaca