Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Rasa Dalam Sunyi

Rasa Dalam Sunyi

woodsweet013 | Bersambung
Jumlah kata
44.2K
Popular
626
Subscribe
125
Novel / Rasa Dalam Sunyi
Rasa Dalam Sunyi

Rasa Dalam Sunyi

woodsweet013| Bersambung
Jumlah Kata
44.2K
Popular
626
Subscribe
125
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of life21+PertualanganTransmigrasi
Mohon bijak dalam membaca cerita ini, mengingat cerita mengandung unsur sex dan perselingkuhan. Pastikan telah berusia diatas 21 tahun. Kisah ini berpusat pada Ghani, seorang pria berusia 40 tahun yang hidup dalam pernikahan yang tampak bahagia dengan Arin, istrinya. Meski memiliki kehidupan rumah tangga yang intim dan memuaskan, Ghani digoda oleh rekan kerjanya, Arif, untuk mencoba "pengalaman baru" di sebuah spa bermoral longgar dengan dalih menghilangkan kebosanan. Ghani mengalami pergolakan batin yang hebat.Di satu sisi, ia mencintai Arin yang setia dan selalu memuaskannya. Di sisi lain, rasa penasaran dan godaan untuk membuktikan daya tariknya pada wanita lain menggerogotinya. Bisikan Arif, "Biar gak bosan sama yang itu-itu aja," terus menghantuinya. Akhirnya,Ghani menyerah dan pergi ke Spa Kenanga. Ia diterapi oleh seorang terapis cantik bernama Ismi. Pijatan yang awalnya profesional berubah menjadi hubungan seksual terselubung. Ghani terbuai dalam kenikmatan sesaat dan mengkhianati istrinya. Pengalaman dengan Ismi intens dan secara fisik memuaskan, bahkan membuatnya kagum pada tubuhnya sendiri. Setelah klimaks tersebut,cerita diakhiri dengan dramatis ironis. Ismi bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi, kembali memijatnya dengan profesional. Namun, bagi Ghani, segalanya telah berubah. Ia menyadari bahwa ia telah melangkah masuk ke dalam "pintu neraka" yang ia takuti. Perasaan bersalah, hampa, dan penyesalan mulai menggerogotinya, sementara kehangatan tubuh wanita asing di kulitnya menjadi bukti nyata pengkhianatannya terhadap Arin yang sedang menunggu di rumah dengan setia. Apakah ghani akan melanjutkan petualangan baru dengan wanita asing lainnya atau dia akan bertobat.... Setelah mencoba yang pertama....
1. Ritual Gagal

Yaaahhh... Desis Ghani yang keluar dari kerongkongan yang serak, rasa frustasi yang menggambarkan sebuah kegagalan yang sudah terlalu sering terjadi. Gagal dalam memberikan klimaks buat istrinya. Puncaknya datang terburu-buru, seperti hujan deras yang tiba-tiba memutus ritual tanam padi yang telah ditunggu-tunggu—sebuah pengorbanan yang sia-sia setelah persiapan yang begitu panjang.

Bagi Ghani, ranjang mereka—dengan kain katun berwarna gading yang mulai usang di bagian tepinya, membentuk peta retak-retak seperti garis nasib di telapak tangan—telah berubah menjadi medan pertempuran yang sunyi. Sebuah palagan di mana harap dan hasrat bertempur melawan hantu-hantu ketakutan yang tak kasat mata. Di sinilah, di atas hamparan yang dulu menjadi saksi bisu janji-janji dan tawa mereka, dia kini selalu kalah. Setiap kali tubuh Arin membuka diri—seperti sekuntup bunga mekar menanti sang surya—menerimanya dengan kehangatan yang membara dan harap yang bergetar, sebuah kekuatan tak terlihat, dingin dan tak terelakkan, selalu menyapunya kembali ke dalam jurang kegagalan.

"Malam ini akan berbeda, Sayang," gumam Ghani lebih kepada dirinya sendiri saat jari-jemarinya menelusuri bahu Arin yang halus, kulitnya yang keemasan bersinar lembut dalam cahaya lilin.

Arin tersenyum kecil, senyum yang terlalu cepat pudar seperti bunga yang layak sebelum waktunya. "Aku tahu, Ghan. Aku selalu percaya padamu."

Tapi keyakinan itu justru menjadi beban tambahan, seperti rantai yang mengikat pergelangan kakinya ke dasar laut. Ketika cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah gorden, melukis pola bayangan yang bergerak lambat di atas kulit Arin yang pucat bersinar, Ghani sudah bisa merasakan jantungnya berdebar tidak karuan. Aromanya, campuran harum vanila yang manis dan sesuatu yang uniquely Arin—sebuah wangi bersih yang mengingatkannya pada hujan pertama—memenuhi ruang, menjadi parfum yang sekaligus memabukkan dan menyiksa.

"Kau masih ingat malam pertama kita?" tanya Arin tiba-tiba, suaranya berbisik seperti angin yang menyentuh daun.

"Bagaimana mungkin aku lupa?" jawab Ghani sambil mencium lembut lehernya, mengecap rasa asin di kulitnya yang halus. "Kau gemetaran sampai tidak bisa membuka kancing bajuku."

"Dan kau... kau waktu itu begitu sabar." Desahan Arin kali ini berbeda, mengandung nostalgia yang menyakitkan seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka. "Kau menuntun tanganku, membantu jemariku yang kaku membuka kancing satu per satu. Dan ketika akhirnya bajumu terbuka..." Nafas Arin tersendat sejenak. "Aku melihat tubuhmu untuk pertama kalinya—otot-otot yang tegas, kulit yang hangat, dan milikmu yang tegak berdiri dengan bangga, seolah menyambutku dengan hormat."

Jari-jari Ghani mulai gemetar lebih kentara. Setiap sentuhannya pada tubuh Arin—dari kurva pinggang yang indah hingga naik turunnya tulang rusuk yang bergetar—terasa seperti mengulangi sebuah ritual yang semakin hari semakin kehilangan makna. Lalu, tangan Arin balas bergerak. Sentuhannya pada Ghani, sebuah upaya untuk membangkitkan gairah yang dia tahu mulai memudar, terasa seperti gerakan yang telah dihafal di luar kepala.

"Arin..." gumamnya, suaranya parau.

"Iya, Sayang? Aku di sini."

Dia ingin berkata: bisakah kau menyentuhku seperti dulu? Bisakah kita mengulang waktu? Tapi kata-kata itu tertahan di kerongkongannya. Sebaliknya, dia hanya memeluknya lebih erat, seolah-olah dengan kekuatan fisik dia bisa menahan momen ini dari berakhir terlalu cepat.

Tapi pertunjukan dalam bergulat dengan hasrat dan bayangannya sendiri itu selalu singkat. Sebuah opera megah yang panggungnya telah dipersiapkan dengan indah, hanya untuk terpotong sebelum mencapai puncak klimaks yang berkumandang. Dia selalu "keluar" terlalu cepat, seperti pelari yang kakinya terbelenggu beban masa lalu yang tak terlihat.

"Maaf," desisnya, suara hancur. "Aku... aku tadi...aku tadi sudah tidak tahan lagi."

Dia terlempar keluar dari momen itu, meninggalkan Arin tergeletak di ambang pintu surga, tubuhnya yang indah masih bergemuruh dengan getaran hasrat yang tak tersalurkan. Matanya yang setengah terbuka, sebelumnya berkaca-kaca oleh kenikmatan, kini memandangnya dengan tatapan kosong.

"Tidak apa, Sayang," bisik Arin, suaranya serak, tertahan, dan hampa.

"Jangan bilang tidak apa!" sanggah Ghani tiba-tiba, suaranya lebih keras dari yang dia rencanakan. "Kita berdua tahu ini ada yang tidak apa."

Arin menarik napas dalam. "Apa yang kau inginkan dariku, Ghan? Apa kau ingin aku marah? Menangis? Memberontak?"

"Aku ingin kau jujur! Jangan hanya menerima ini seperti nasib yang harus kita jalani."

"Dan apa yang akan berubah jika aku jujur?" tanya Arin, sekarang dengan sedikit getar di suaranya. "Kau akan semakin tertekan. Aku sudah mencoba segala cara, Ghani. Aku sudah bersikap sabar, mendukung, bahkan berpura-pura puas. Tidak ada yang berhasil."

Dialog itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari kegagalan fisik tadi. Sentuhan Arin yang lembut di punggung Ghani setelahnya—usapan yang seharusnya menenangkan—terasa seperti belas kasihan yang menyengat.

"Kau pikir aku tidak tahu?" Ghani bergumam pahit. "Kau pikir aku tidak melihat caramu menggigit bibir setiap kali kau berbalik? Atau bagaimana kau mandi lebih lama setelah kita bercinta?"

Arin diam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Kadang... kadang aku merindukan orang yang dulu. Laki-laki yang dengan percaya diri membimbing tanganku di malam pertama kita. Orang yang membuatku sampai susah untuk berjalan beberapa hari. Bahkan.... sampai membuat bengkak, bibir liangku."

Dia berhenti, menarik napas dalam. "Milikmu yang sekokoh tugu, sangat menganggukkan diriku, Ghan. Ukuran yang besar dan panjang, menghujam hingga ujung liangku. Menyentuh tiap sisi liangku. Kekuatannya mampu membuatku sampai puncak kenikmatan, Ghan, bahkan diriku terpuaskan berkali-kali. Kemana dirimu, yang dulu, Ghan?"

"Orang itu masih ada di sini," bantah Ghani, tapi suaranya lemah.

"Apakah?" tanya Arin lembut. "Karena yang aku lihat sekarang adalah bayangannya saja. Seorang lelaki yang terkurung dalam ketakutan akan kecewa."

Mereka terbaring berdua, memandangi langit-langit yang gelap. Jarak sepanjang sepuluh sentimeter di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani.

"Pernahkah kau berpikir," Arin mulai lagi setelah beberapa menit hening, "bahwa mungkin masalahnya bukan pada fisik kita? Bahwa mungkin kita perlu... berbicara lebih banyak? Tentang apa yang sebenarnya kita rasakan?"

"Berbicara?" Ghani terkekeh getir. "Apa yang akan diubah oleh kata-kata? Lihatlah kita, Arin. Aku tidak bisa memberikan apa yang kau butuhkan. Aku seperti pelukis yang tangannya gemetar setiap kali akan menyelesaikan mahakaryanya."

"Tapi aku bukan lukisan, Ghani! Aku istrimu! Dan... dan mungkin yang kurasakan bukan sekadar frustrasi fisik. Mungkin yang lebih menyakitkan adalah melihatmu menyiksa dirimu sendiri, melihatmu menjauh dariku seolah-olah kegagalan ini adalah aib yang harus kausembunyikan sendirian."

Kata-kata itu menggema dalam kegelapan, lebih menyakitkan daripada teriakan, lebih menusuk daripada segala tuduhan. Ghani memalingkan wajah, menahan air mata yang tiba-tiba mengancam keluar.

"Kau tidak mengerti," bisiknya.

"Buat aku mengerti!" pinta Arin, sekarang dengan suara yang hampir putus asa. "Aku di sini, Ghan. Sudah lima tahun kita menikah. Tidakkah itu berarti apa-apa bagimu? Tidakkah kepercayaanku padamu cukup untuk membuatmu berbagi beban ini?"

Tapi Ghani sudah tenggelam terlalu dalam. Pikirannya melayang ke masa lalu, ketika tubuh mereka adalah bahasa yang fasih, ketika setiap sentuhan adalah puisi liar. Kini, yang tersisa hanyalah bayangan kegagalan yang panjang dan suram.

"Besok," janjinya dengan suara hampa, "besok akan lebih baik."

Arin menghela napas, sebuah suara yang penuh keputusasaan. "Aku tidak peduli dengan besok, Sayang. Aku hanya ingin kau ada di sini, bersamaku, sekarang. Bahkan jika kita hanya berbaring seperti ini. Bahkan jika tidak ada yang... terjadi."

Tapi bagi Ghani, kata-kata itu hanya menjadi pengakuan lain akan ketidakmampuannya. Ketika Arin perlahan-lahan berbalik membelakangi, bahunya yang mungil sedikit mengeras dalam sebuah isyarat penolakan halus, sebelum menarik selimut hingga menutupi dagu, Ghani merasa dirinya terbelah.

Dalam kesunyian yang hanya pecah oleh detak jam dinding yang berdetak bak irama jantung yang sekarat, dia berandai-andai bisa merobek kegagalan ini dari dirinya. Tapi yang lebih dia sesali adalah dinding yang telah dia bangun antara mereka—sebuah benteng yang kokoh dari kebisuan dan rasa malu—yang kini mungkin lebih sulit dirobohkan daripada mengatasi masalah fisik mereka.

Dan di ujung lorong kegagalan itu, dalam bayang-bayang kegelapan, Ghani melihat bayangannya sendiri—seorang lelaki yang tak lagi utuh, berdiri di tepi jurang kehancuran harga diri, mempertanyakan setiap definisi tentang cinta, kejantanan, dan esensi dirinya sendiri yang mulai memudar—sekarang dengan satu pertanyaan baru: apakah sudah terlalu terlambat untuk belajar bahasa cinta yang baru?

Lanjut membaca
Lanjut membaca