

Tidak ada yang lebih sunyi daripada detik-detik ketika kematian menyentuh tengkuk manusia. Adrian Raka Mahesa baru mengerti hal itu pada usia dua puluh, saat ia tenggelam dalam sungai berlumpur di tengah survey lapangan kampus, hari ketika air tidak hanya menelannya, tetapi juga memperkenalkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah ditemui manusia.
Pagi itu, rombongan mahasiswa teknik geologi turun ke daerah rawa tua yang jauh dari permukiman. Hujan turun sepanjang malam, tanah licin, dasar sungai tak stabil. Dosen pendamping mewanti-wanti agar semua berhati-hati, tapi tidak ada yang benar-benar tahu bahwa di bawah permukaan air, sesuatu telah lama menunggu.
Adrian menyukai medan sulit, ia selalu ingin membuktikan diri, selalu ingin dilihat sebagai orang yang mampu lebih. Tapi ambisi itu berubah menjadi bencana ketika pijakannya goyah, tali pengaman terlepas, dan tubuhnya jatuh ke dalam pusaran air yang tak seharusnya ada.
Sungai itu gelap. Gelap yang tidak wajar.
Air menutup kepalanya. Dunia hilang. Suara teman-temannya memekik dari jauh, seakan berasal dari dimensi lain.
Adrian berusaha meraih apa pun, namun lumpur seperti tangan-tangan yang menariknya masuk. Setiap gerakan membuat tubuhnya semakin turun. Dadanya panas karena kehabisan udara, paru-paru memohon untuk bernapas meski tahu yang masuk hanya air.
Di tengah kabut kesadaran yang memudar itu, sesuatu bergerak.
Bukan arus. Bukan ikan. Bukan manusia.
Sesuatu menyentuh punggungnya, dingin seperti besi yang disimpan di peti mati.
“Adrian...”
Suara itu bukan suara. Lebih mirip napas yang langsung menyelinap ke dalam pikirannya. Adrian terkejut, tetapi tubuhnya sudah terlalu rapuh untuk melawan.
“Jangan takut...aku di sini.”
Ia membuka mata di dalam air. Mustahil, tapi ia melihatnya.
Dari kedalaman gelap, sepasang mata tanpa bola muncul lebih dulu, seperti dua lubang hitam yang meresap dan menatap balik jiwa manusia. Lalu muncul wajah pucat kebiruan, kulitnya halus seperti membran tipis, rambut hitam panjang melayang pelan dalam air yang tak bersahabat.
Mulutnya tidak seperti mulut, lebih seperti retakan panjang yang terbentang dari satu sisi kepala ke sisi lainnya, bergerak perlahan seolah tersenyum.
Adrian tersentak. Ia mencoba berenang, tapi sesuatu melilit pergelangan kakinya, rambut itu. Rambut makhluk itu, bergerak seperti makhluk hidup, bukan helai mati.
“Tenang, Adrian Raka Mahesa,” bisiknya. “Kau tidak ingin mati hari ini.”
Jantung Adrian menghentak begitu keras hingga ia merasa dadanya pecah. Ia ingin berteriak, tapi air telah mengambil suara dan napasnya.
“Lepaskan aku...” pikirnya dalam ketakutan.
Dan makhluk itu menjawab pikiran itu, seakan mereka berbagi kepala.
“Aku bisa...jika kau mau.”
Adrian merasakan tubuhnya tertahan di tengah air, tidak turun, tidak naik. Seolah makhluk itu sedang menimbang harga dirinya.
“Aku...aku tidak mau mati,” pikirnya. Ketakutan merayapi tulang belakangnya seperti racun.
Makhluk itu mendekat, gerakannya terlalu halus untuk sesuatu yang mirip manusia. Tubuhnya memanjang, ramping, tak proporsional. Mata gelap itu menatap langsung ke dalam diri Adrian seakan membaca isi hidupnya.
“Kau ingin bertahan hidup...dan lebih dari itu, bukan?”
Retakan mulutnya melengkung.
“Kau ingin menjadi seseorang. Kau ingin dihormati. Kau ingin dunia menoleh saat kau lewat.”
Adrian tidak mampu menyangkal. Ambisinya, kerentanannya, seluruh rasa kurang dalam dirinya, semua terbuka lebar di hadapan makhluk itu.
“Aku bisa memberimu itu,” bisik Lelah Sungi. “Aku bisa memberimu hidup. Aku bisa memberimu masa depan. Tapi setiap hidup yang diselamatkan...harus membayar harga.”
Adrian merasakan paru-parunya hampir pecah. Tubuhnya gemetar di antara hidup dan mati.
“Apa...harganya?” pikirnya. Ia tidak bisa lagi membedakan apakah ia bertanya atau hanya bermimpi bertanya.
Makhluk itu menyentuh dadanya.
Sentuhan itu dingin, namun tidak menusuk. Lebih mirip kekosongan yang merayap masuk.
“Kau memberiku pintu,” bisik makhluk itu. “Aku masuk ke dalam hidupmu. Aku menempati bayanganmu. Aku mengambil rasa-rasa yang mengganggumu. Tak ada lagi takut. Tak ada lagi ragu. Tak ada lagi cinta...atau sedih.”
Adrian membeku.
“Kau akan menjadi kuat,” lanjutnya. “Karena kau tidak lagi merasa. Tidak ada yang bisa mengendalikanmu. Tidak ada yang bisa melukaimu.”
Air di sekeliling mereka bergolak pelan seperti air mendidih.
“Terima aku...dan aku beri kau hidup yang kau inginkan.”
Adrian tidak bisa bernapas. Tidak bisa berpikir jernih. Ketakutan dan ambisi bercampur menjadi satu dorongan primitif untuk bertahan hidup, apa pun harganya.
“Ya,” pikirnya. “Aku terima. Asal aku tidak mati...”
Secepat itu, air menjadi senyap.
Makhluk itu merapatkan retakan bibirnya ke dada Adrian. Bukan mencium, lebih seperti menandai. Sesuatu dingin masuk ke tubuhnya, merayapi jantungnya, mengalir ke otaknya.
“Aku terima perjanjianmu.”
Dalam satu hentakan, tubuh Adrian terdorong ke permukaan.
Ia muncul ke udara sambil terbatuk keras, ditarik panik oleh teman-temannya ke tepian. Suara-suara mereka terdengar jauh, seakan dari balik dinding tebal. Dunia berputar, namun ada sesuatu yang lain, hening asing di dalam kepalanya. Sebuah kehadiran yang tidak hilang walau ia sadar.
Dan di balik napas kacau, Adrian merasakan sesuatu,
Perasaannya...hilang.
Bukan mati total, lebih seperti dimatikan. Ia tidak panik, tidak syok, tidak menangis. Ada kekosongan dingin yang menahan semuanya.
Sejak hari itu, Adrian hidup, tetapi tidak lagi utuh. Ambisinya tumbuh, tetapi hatinya lumpuh. Ia bekerja, ia mencapai, ia melangkah...namun tidak pernah benar-benar merasa.
Lelah Sungi berjalan dalam bayangannya.
Dan Adrian tidak pernah bercerita kepada siapa pun, karena bagaimana manusia menjelaskan bahwa di hari ia hampir mati, ia justru menandatangani nasibnya sendiri di dasar air?
Yang tersisa hanya sunyi, dan bisikan kecil yang kadang muncul ketika ia sendirian.
Bisikan yang mengingatkan,
Ia tidak pernah berjalan sendirian.
Saat tubuhnya masih gemetar di tepian, saat teman-temannya belum berhenti panik memanggil namanya, suara itu kembali merambat dari dasar pikirannya. Halus, tapi menggigit seperti kuku yang menggores kaca.
“Adrian...”
Ia menegakkan punggung perlahan. Dunia tetap terasa jauh, namun suara itu begitu dekat, seakan berbisik dari balik kulitnya sendiri.
“Kau sudah menerima hidup baru. Maka dengarkan syaratnya.”
Dadanya menegang, tapi tidak ada rasa panik. Perasaannya telah diputus dari akarnya. Yang tersisa hanya keheningan dingin.
“Setiap tahun,” bisik itu, “aku harus kembali merasakan hangatnya manusia. Kau akan memberiku satu wanita cantik, di sungai mana pun kau berada. Sungai kecil, sungai besar...selama ada air, aku dapat datang.”
Adrian menutup mata. Bayangan rambut panjang yang hidup sendiri, wajah pucat itu, dan senyum retaknya kembali menembus permukaan pikirannya.
“Bagaimana...” pikirnya. “Bagaimana kau mengambilnya?”
Suara itu terdengar puas, seperti makhluk yang baru saja mendapatkan bagian terbesar dari tubuh mangsanya.
“Aku akan menariknya. Tidak perlu kau sentuh. Tidak perlu kau kotori tanganmu. Kau hanya perlu membawanya mendekati air, membiarkannya sendirian sebentar...dan aku akan menyelesaikan sisanya.”
Gigil samar merambat di tengkuknya, bukan rasa takut, tetapi sisa insting manusia yang belum sempat mati sepenuhnya.
“Aku menjaga hidupmu,” bisik Lelah Sungi. “Sebagai balasan, kau menjaga pintuku.”
Air sungai di hadapannya tampak bergolak pelan, seakan ada sesuatu menunggu di bawah permukaan.
“Jika kau tidak memberi...” Suara itu merendah, nyaris seperti geraman dari dasar bumi.
“Maka aku akan mengambil. Dari siapa pun yang dekat denganmu.”
Seketika itu, sisa-sisa rasa dalam diri Adrian runtuh. Ia tahu tidak ada jalan keluar. Tidak pada hari itu. Tidak pada tahun berikutnya.
Perjanjiannya telah dicatat di air yang menghitam.
Dan sejak saat itu, hidup Adrian tidak lagi miliknya sendiri.