Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Disangka Cupu Nyatanya Suhu

Disangka Cupu Nyatanya Suhu

Nana Pranata | Bersambung
Jumlah kata
88.8K
Popular
2.0K
Subscribe
223
Novel / Disangka Cupu Nyatanya Suhu
Disangka Cupu Nyatanya Suhu

Disangka Cupu Nyatanya Suhu

Nana Pranata| Bersambung
Jumlah Kata
88.8K
Popular
2.0K
Subscribe
223
Sinopsis
PerkotaanSekolahBela DiriCinta SekolahKarya Kompetisi
Di sekolah barunya, Raka diremehkan, dianggap tak berdaya,namun di titik tertentu terpaksa Raka menunjukkan kemampuan sesungguhnya demi menyelamatkan teman barunya, meski itu melanggar aturan ayahnya. Siapa sangka jika pemuda yang berpenampilan cupu itu ternyata suhu sesungguhnya, tak banyak yang tahu juga dia adalah putra dari petarung yang sempat viral di masa lalu, dan diam-diam ia mewarisi semua jurus sang ayah di masa lalu meski itu dilarang.
Bab 1. Pindah

Seorang pemuda duduk di meja belajarnya.

Lampu kamarnya padam, tapi  lampu di mejanya tetap menyala untuk membantunya membaca sebuah buku.

Bukan buku matematika, bukan pula kimia apalagi buku catatan hutang di kantin, melainkan buku berisi gerakan-gerakan pertarungan yang lengkap dengan nama jurus dan tekniknya. 

Begitu khusyuk dia mempelajari buku itu hingga tiba-tiba suara gedoran membuatnya terkesiap dan buru-buru memasukkan buku itu ke dalam carrier-nya yang sudah penuh.

Ia tak mau ayahnya sampai tau ia masih menekuni buku itu dan menjadi murka padanya.

Si pemuda lalu memakai carrier itu dan beranjakuntuk membuka pintu rumahnya. Namun, tidak ada orang.

Rupanya suara ketukan bukan berasal dari pintu, melainkan dari jendela.

Pemuda bernama Raka itu mendengus kala melihat seseorang yang dari tadi menggedor jendela rumahnya.

"Ayah, pintunya di sini!" Raka menunjuk pintu.

Ayah Raka terkekeh lalu mendekati pintu rumahnya. "Oh iya, di sini ya harusnya ayah mengetuk?"

Ayah Raka yang bernama Bima itu lantas mengetuk pintu rumahnya sehingga membuat Raka menepuk kening lelah.

"Ngapain diketuk?"

"Mau masuk."

"Ini udah dibuka, anj–" Raka langsung mengerem ucapannya, karena hampir saja ia mau menyaingi Malin Kundang. 

Ia lalu merebut sebotol minuman yang membuat ayahnya sempoyongan dan membuangnya ke samping. "Kenapa minum lagi? Karena ini ya ayah lupa?"

"Cuman sedikit, Kok." Bima tertawa sebelum menempelkan ibu jari dan telunjuknya di depan wajah putranya. "Memangnya lupa apa?"

"Hari ini kan kita pindah!"

Bima menepuk kening Raka alih-alih keningnya sendiri. "Aduh, iya! Ayah lupa!"

Raka berdecak kesal dan mengelus keningnya. "Sudahlah. Cepat kemasi barang ayah. Kalau nggak, Bang Jupri dan temen-temen preman lainnya bakalan ke sini."

Bima dengan masih agak sempoyongan lantas bergegas menuju kamarnya dan membuka lemari, ia lalu diam sebentar memandangi lemarinya.

"Cepat, Ayah!" teriak Raka yang sudah kesal seraya memandangi sekitar gang rumahnya yang sempit. Raka terbuka bibirnya ketika ia melihat ada segerombolan orang berjalan di gang itu.

Raka segera menggebrak-gebrak pintu rumahnya. "Ayah cepetan! Bang Jupri cs datang!"

Bima terlihat gusar, ia segera meraih tas ranselnya, mengisinya dengan apa saja yang ada di sana. Bima lalu berlari, bahkan lebih cepat dari putranya sehingga Raka tertinggal di belakang.

"Ayah tunggu!"

"Cepat, Raka!"

Raka tertatih-tatih berlari di belakang Bima cukup tertinggal jauh, tak disangkanya jika orang mabuk bisa berlari begitu cepat.

'Tahu begitu tadi tak kubuang botol minuman ayah agar aku juga bisa berlari segitu cepat', pikir Raka sesat.

Segala halangan rintangan di depan mata, berusaha mereka lalui, bahkan kucing sedang kawin pun tak ragu untuk mereka lompati.

Mereka terus saja berlari, tak berani untuk melihat ke belakang, hingga akhirnya keduanya berhasil keluar dari gang sempit itu.

Mereka berhenti, mengatur napas yang begitu tersengal karena terus berlari begitu cepat.

"Hah, hah, hah. Apa … apa mereka masih jauh?"

Raka menarik dalam, lalu mengembuskannya. Kini napasnya sudah cukup teratur.

"Nggak tau, harusnya sih sudah dekat." Raka lalu menoleh ke belakang, dan ternyata gang barusan sangat lengang, tak terlihat ada gerombolan yang mengejar mereka.

"Oh, kayaknya … aku salah liat. Yang tadi itu rombongan ibu-ibu pengajian, Yah," jawabnya dengan wajah datar saja, tak merasa bersalah sedikitpun sudah membuat ayahnya mendadak jadi Usain Bolt.

Bima pun berdecak kesal.

"Kamu ini benar-benar, ayah udah mengeluarkan skill terbaik ayah!"

Raka terlihat tak peduli, ia celingukan ke kanan dan ke kiri jalan.

"Katanya ayah mau charter mobil?"

"Iya, sebentar lagi juga datang. Harusnya jam delapan malam ini."

Bima sedikit menyingsingkan lengan jaket belelnya, Raka ikut menoleh pada lengan Bima, namun tak ada secuilpun benda yang bisa menunjukkan waktu di sana.

Raka menggelengkan kepala, ia lalu merogoh ponsel yang ada di ranselnya.

"Jam berapa sekarang?"

"Delapan, harusnya mobilnya udah datang, kan?"

Tak selang berapa lama, berhenti di depan mereka mobil colt. Raka mendekat pada mobil itu untuk bertanya.

"Maaf Pak, saya mau tanya, di belakang mobil bapak, apa ada mobil Pajero yang sedang menuju ke gang ini?"

"Kenapa kamu tanya begitu?" heran Bima pada putranya.

"Ayah pesan mobil yang seperti itu, kan?"

Plak!

Tepukan keras mendarat di kepala belakang Raka.

"Bodoh, ini mobil kita."

"Apa?!"

Pengendara mobil colt usang dengan penyok sana-sani itu pun turun, terkekeh melihat reaksi Raka.

"Naik ini anak muda, ini tidak lebih buruk daripada naik Pajero bahkan Bugatti. Ada sensasi seperti kamu naik kuda."

Bima tergelak. Pengendara itu lalu memberikan kunci mobil bak terbuka itu pada ayah Raka.

"Ini kuncinya, Bang."

"Tapi saya nggak tau kapan bisa balikin ini."

"Bawa aja, nggak perlu dikembaliin, ini udah bobrok. Udah ya, saya pergi dulu."

Sosok itu pun kemudian berjalan menuju jalan semula yang cukup gelap.

"Siapa dia? Baik banget mau ngasih ayah mobil ini? Ya meski sudah bobrok, apa dia orang kaya?" tanya Raka, berhenti memandangi pria itu yang sudah menghilang entah ke mana.

"Orang kaya? Dia konon mantan curanmor."

Bima pun segera naik, namun Raka masih bergeming, otaknya masih memproses pernyataan Bima yang kini baginya masuk akal kenapa mobil itu dihibahkan begitu saja. Namun pikirannya saat ini terlalu kalut, ia lelah menghadapi tingkah ayahnya di luar prediksi MBG.

"Hei, ayo naik!"

"Ayah bohong. Katanya perjalanan kita akan lama dan kita butuh mobil yang nyaman, terus ini apa?"

"Ini nyaman juga, terutama .. nyaman di kantong."

"Dasar bapak anj–"

Raka berusaha untuk tak menjadi anak durhaka lagi, meski yang ia rasakan ia yang didurhakai ayahnya sendiri.

"Ayo berangkat, kita mau ke Om Sabe."

Raka tertegun mendengar nama itu, sudah sangat lama Raka tak mendengar nama 'Om Sabe', sudah begitu lama ia tak berjumpa dengan sosok itu, di mana dahulu ia dan Paman Sabe sangat dekat karena Om Sabe adalah manajer ayah Raka sewaktu masih aktif sebagai petarung MMA.

"Kenapa ke Om Sabe? Apa ayah …. mau bertarung lagi?"

"Tarung ndasmu! Kita nggak punya pilihan selain meminta bantuan padanya untuk menyembunyikan kita dari Jupri dan Bang Joker. Ya meski ayah muak juga sama dia, tapi terpaksa daripada nggak punya tempat tinggal sama sekali."

Raka menangkap lengan ayahnya, sedikit mencekram.

"Ayah nggak bilang punya urusan dengan Bang Joker."

"Panjang ceritanya."

Raka meremas rambutnya, frustrasi.

**

Setelah sepuluh jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di kota tujuan. Cukup lama memang, namun sebetulnya yang membuat lama perjalanan adalah kerap mogoknya mobil itu.

"Raka, bangun! Kita udah sampai."

Raka masih menutup mata, namun ia menghirup sesuatu yang tak seperti biasa ia hirup. Di kotanya yang dahulu tinggali, di pemukiman padat penduduk, tak tercium bau seperti yang saat ini ia hirup. Aromanya adalah aroma menyegarkan, aroma kaya oksigen, sedikit aroma pinus dan segarnya embun. Raka pun membuka mata, ia kemudian takjub ketika yang ia lihat di sekeliling mobil bobroknya itulah pepohonan hijau.

"Kita di mana? Surga?"

Raka mengingat-ingat, apakah di perjalanan tadi mobil bobroknya mengalami laka dan karena kesabarannya ia bisa masuk ke nirvana? Namun anehnya, kenapa ayahnya juga ada di sini jikala ini adalah syurgawi?

"Bima Alfonso!!"

"Sabe!!"

Raka menggeleng putus asa, sudah tahu jawabannya jika ia bukanlah berada di surga. Raka melihat kedua orang berusia sebaya itu saling berpelukan, untuk kemudian saling banting, Raka meringis melihat 'love language' dua manusia itu.

"Wah, tenagamu masih luar biasa, Bung!"

Om Sabe melirik pada Raka.

"Astaga, apa ini Raka?"

Raka hanya mengangguk tipis.

"Lama sekali kita nggak berjumpa, Nak. Rupawan sekali, mirip ibumu."

Raka segera memakai kembali kacamatanya sementara Bima langsung berwajah kecut mendengar Sabe mengucapkan kata terakhir barusan.

"Jangan sebut dia lagi, Sialan."

Sabe lalu merangkul bahu Raka.

"Raka, kamu pasti akan betah di sini."

Raka tidak yakin, karena meski alam di tempat ini bagus, namun jika ayahnya masih saja kebiasaannya seperti dahulu dan kerap meninggalkan hutang, itu sama saja. Seolah baginya lari ke ujung dunia pun percuma.

"Katara! Ke sini, Sayang!"

"Katarak?" Raka mengernyit dahi.

"Katara, anak Om. Nah itu dia orangnya."

Seorang gadis muncul dari pekarangan luas rumah itu. Diterpa sinar mentari, wajah gadis itu tampak berpendar-pendar, rambutnya yang dikuncir Ariana Grande bergoyang ke kanan ke kiri, tampilannya tidak feminim namun jelas sangat menawan meski wajahnya agak jutek.

"Katara, ini Raka. Ayo kenalan."

"Katara," ucap gadis itu sambil menjulurkan tangannya. Raka langsung menyambut jabatan tangan dari Katara, namun seketika ia seperti kejang-kejang. Melihat hal itu Om Sabe langsung menarik tangan putrinya.

"Dasar brandal!"

Katara segera berlari, tepat sebelum sandal Om Sabe melayang pada putrinya.

"Raka, kamu nggak apa-apa, kan?"

Raka hanya tersenyum getir, karena bisa-bisanya orang itu mengira dia baik-baik saja setelah tangannya dijabat dengan alat kejut listrik.

'Gue tandai itu bocah,' batin Raka, kesal, namun tak boleh terlihat kesal karena ia mau menumpang hidup di sini.

Lanjut membaca
Lanjut membaca