

Suara ayam berkokok dari belakang rumah menjadi alarm alami bagi Husain setiap pagi. Suara itu bukan sekadar penanda waktu, tapi juga panggilan untuk kembali berjuang di hari yang baru. Rumah itu berdiri di pinggir kampung kecil yang jalannya masih tanah. Dindingnya dari papan, atapnya seng yang mulai berkarat. Jika hujan deras datang, bunyinya seperti genderang perang, dan kadang air menetes di beberapa sudut. Namun, bagi Husain, rumah itu adalah tempat paling nyaman di dunia—sekalipun sederhana, di sanalah semua kasih dan doa tumbuh tanpa pamrih.
Udara pagi terasa dingin, menusuk hingga tulang. Tapi Husain tidak pernah mengeluh. Ia sudah terbiasa hidup dalam kesejukan yang sederhana ini. Matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar yang mulai pudar catnya. Di pojok ruangan, buku-buku bersampul lusuh tersusun di rak dari papan bekas. Di sebelahnya, ada meja belajar kecil dengan lampu duduk yang nyalanya sering redup karena arus listrik kampung tak stabil.
Dari dapur, terdengar suara ibunya, Mak Salmah, menyalakan kompor minyak. Suara itu selalu menjadi musik pengiring pagi di rumah kecil mereka. Aroma bawang tumis perlahan memenuhi ruangan. Di luar, ayam-ayam berlarian di halaman, disusul suara sandal ayahnya yang berdecit menandakan ia bersiap berangkat kerja.
“Sin, bangun, Nak. Nanti kesiangan sekolah,” panggil ibunya lembut.
“Iya, Bu. Sebentar lagi,” sahut Husain, setengah mengantuk.
Husain duduk, merapikan sarung yang ia pakai untuk tidur, lalu menarik napas dalam-dalam. Sejenak ia memandang jendela kecil di kamarnya. Dari celah papan, cahaya matahari pagi mulai menembus masuk, menimpa lantai semen yang mulai retak. Di luar sana, embun masih menempel di dedaunan pisang. Semua terasa damai. Di dalam kesederhanaan itu, Husain menemukan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Setelah berwudu dan menunaikan salat Subuh, Husain keluar kamar dengan wajah segar. Ayahnya, Pak Jafar, sedang duduk di ruang depan, mengenakan kaus lusuh dan celana panjang yang penuh noda semen. Di tangannya tergenggam sebungkus nasi bungkus berisi tempe goreng dan sambal.
“Mau kerja di mana hari ini, Yah?” tanya Husain sambil duduk di sebelahnya.
“Katanya ada panggilan di proyek dekat terminal. Kalau beruntung, bisa kerja dua hari,” jawab ayahnya, suaranya berat tapi tenang.
“Semoga lancar, Yah. Biar rezekinya banyak,” ucap Husain tulus.
Pak Jafar menepuk pundaknya pelan. “Yang penting kamu juga semangat sekolah. Jangan pernah minder sama orang yang punya segalanya. Orang kaya belum tentu lebih bahagia.”
Husain mengangguk. Kalimat itu sudah sering ia dengar, tapi entah kenapa, tiap kali ayahnya mengucapkannya, hatinya seperti disentuh ulang. Ada kebanggaan tersendiri dalam kesederhanaan yang mereka jalani.
Mak Salmah datang membawa piring nasi goreng sederhana. Bau bawang merah dan kecap manis membuat suasana dapur semakin hangat.
“Makan dulu, kalian berdua. Rezeki pagi jangan ditolak,” katanya sambil tersenyum.
Husain makan perlahan, menikmati setiap suapan. Bukan karena lauknya istimewa, tapi karena ia tahu seberapa besar usaha ibunya untuk menyajikannya. Setiap butir nasi terasa seperti hasil doa dan keringat yang dikumpulkan selama bertahun-tahun.
“Bu, nanti Husain ambil cucian di rumah Bu Arif sekalian pulang sekolah, ya?” tanya Husain di sela makan.
“Iya, Nak. Tolong, ya. Ibu pulangnya agak sore nanti. Banyak kerjaan hari ini.”
“Siap, Bu.”
Setelah makan, Mak Salmah merapikan kerah seragam Husain yang sudah agak pudar warnanya. Dasi birunya juga mulai berubah warna, tapi Husain tetap memakainya dengan bangga.
“Nanti kalau Ibu ada rezeki, kita beli yang baru, ya,” kata ibunya lirih.
“Nggak usah, Bu. Ini masih bagus kok. Nggak perlu ganti. Husain nggak malu,” balasnya sambil tersenyum.
Ibunya menatap wajah anaknya itu lama. Ada rasa haru dan bangga sekaligus. “Kamu anak baik, Sin. Ibu cuma ingin kamu sukses. Jangan pernah capek jadi orang jujur.”
Husain tidak menjawab, hanya menunduk dan mencium tangan ibunya dengan lembut. Setiap kali ia melakukan itu, entah kenapa matanya terasa hangat.
Jalan menuju sekolah berdebu di musim kemarau. Langkah kaki Husain menyisakan jejak di tanah kering. Tasnya yang sudah lusuh bergoyang di punggung, sementara suara burung pagi terdengar bersahutan di antara pepohonan. Sesekali, ia menyapa tetangga yang lewat sambil tersenyum. Di kampungnya, semua orang mengenalnya sebagai anak yang sopan dan rajin membantu.
Dalam perjalanan, Husain selalu melewati rumah besar bercat putih milik keluarga Pak Arif—majikan tempat ibunya bekerja. Rumah itu tampak megah, dengan pagar besi tinggi dan taman yang tertata rapi. Air mancur kecil di depan rumah itu sering memantulkan cahaya matahari pagi, membuat suasananya tampak indah. Tapi di balik keindahan itu, Husain tak pernah merasa iri. Ia justru selalu menunduk sopan setiap kali melewatinya.
Pagi itu, ia melihat Sandra berdiri di balkon, mengenakan seragam putih abu-abu yang sama dengannya. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tampak cerah. Husain sempat melambatkan langkah, tapi segera mempercepat lagi. Ia tak ingin terlihat memperhatikan. Ia tahu batasnya, dan itu membuatnya tetap tenang.
Sesampainya di sekolah, suasana sudah mulai ramai. Beberapa siswa datang dengan motor matic, ada juga yang diantar mobil. Mereka tertawa keras, membicarakan hal-hal ringan yang kadang tak dimengerti Husain. Ia menunduk dan melangkah ke kelas, memilih duduk di baris tengah dekat jendela—tempat favoritnya.
Dari sana, ia bisa melihat langit biru dan pohon flamboyan di halaman sekolah. Ia membuka buku pelajaran dan mulai menulis rumus fisika yang masih ia ingat dari semalam. Bagi Husain, belajar bukan kewajiban, melainkan kebutuhan. Ia percaya bahwa satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan adalah ilmu.
Beberapa teman datang menyapanya. “Sin, nanti bantuin gue PR Matematika, ya?” kata Farhan, teman sebangkunya.
“Iya, nanti pas istirahat, ya,” jawab Husain.
Ia selalu ringan tangan membantu siapa pun. Mungkin karena itu, banyak teman yang suka padanya, meski beberapa yang lain justru memandang sebelah mata. Di sekolah itu, status sosial kadang lebih kuat dari nilai raport.
Bel tanda masuk berbunyi. Guru fisika, Pak Ridwan, masuk dengan setumpuk buku. Kelas menjadi tenang. Husain fokus mendengarkan, sesekali mencatat hal-hal kecil yang dianggap penting. Ia tidak pernah melewatkan satu kata pun dari penjelasan guru. Bagi Husain, setiap ilmu yang masuk adalah modal masa depan.
Namun, di sela pelajaran itu, pandangan Husain sempat bertemu dengan Sandra. Gadis itu duduk di barisan depan bersama teman-teman dekatnya. Saat pandangan mereka bertemu, Sandra tersenyum kecil. Husain buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menulis. Wajahnya memanas. Ia tak tahu kenapa, tapi perasaan aneh itu membuatnya gugup.
Jam sekolah usai menjelang siang. Husain berjalan pulang dengan langkah ringan. Di tangannya, buku catatan yang ia pinjam dari perpustakaan. Sebelum pulang ke rumah, ia mampir ke rumah Pak Arif untuk mengambil cucian ibunya.
Dari luar pagar, ia memanggil, “Permisi, Bu! Husain, mau ambil cucian Ibu!”
Tak lama, salah satu pembantu rumah itu keluar, menyerahkan bungkusan besar berisi pakaian bersih. “Ini, Sin. Ibumu rajin banget, semua udah beres dari tadi pagi,” katanya ramah.
Husain mengangguk, lalu menunduk sopan. Saat hendak berbalik, suara lembut memanggil dari arah teras.
“Husain?”
Ia menoleh. Sandra berdiri di sana, masih dengan seragamnya. Senyum di wajah gadis itu terlihat tulus.
“Kamu baru pulang sekolah?” tanya Sandra.
“Iya. Sekalian ambil cucian Ibu,” jawab Husain singkat.
Sandra mengangguk pelan. “Kamu capek nggak? Panas banget, ya, hari ini.”
Husain tersenyum sopan. “Udah biasa, kok. Malah kalau panas begini rasanya tenang. Tanda cuacanya bagus.”
Sandra tertawa kecil, lalu menatapnya sejenak sebelum berkata, “Kamu anak yang aneh, tapi keren.”
Husain hanya menunduk. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa menancap di hatinya lama sekali.
Ia berpamitan, berjalan menjauh sambil memanggul cucian. Di belakangnya, Sandra masih menatap, sampai langkah itu hilang di ujung jalan kampung.
Sore harinya, Husain membantu ayahnya memperbaiki sepeda tua di halaman rumah. Sambil mengencangkan rantai, ayahnya bertanya, “Tadi sekolahnya gimana?”
“Alhamdulillah, lancar. Nanti ada tugas kelompok, Yah. Tapi kayaknya nggak bisa ngerjain di rumah temen. Mereka jauh semua.”
“Nggak apa-apa. Kalau bisa, kerjain di sekolah aja. Biar nggak ngerepotin siapa-siapa,” kata ayahnya.
Husain mengangguk. Ia tahu, ayahnya sebenarnya ingin sekali bisa memberikan fasilitas lebih, tapi keadaan belum memungkinkan. Itu sebabnya Husain tak pernah meminta hal-hal di luar kemampuan keluarganya.
Malam menjelang. Setelah makan malam sederhana, Husain belajar di bawah cahaya bohlam kecil yang menggantung di tengah kamar. Di luar, jangkrik bersuara bersahutan. Dari jendela, ia bisa melihat langit yang luas dan bintang-bintang yang berkerlipan.
“Langitnya indah, ya,” gumamnya pelan.
Ia memejamkan mata, memikirkan banyak hal. Tentang ayahnya yang selalu pulang dengan baju penuh debu, tentang ibunya yang bekerja tanpa lelah, tentang dirinya sendiri yang berusaha keras meniti masa depan. Dan, tanpa ia sadari, tentang Sandra gadis yang dunianya dan nasibnya begitu berbeda, tapi entah kenapa terasa dekat di hati.
Malam semakin larut. Husain menutup buku Pelajarannya, lalu berdoa pelan.
“Ya Allah, semoga besok aku bisa jadi anak yang lebih baik dari hari ini.”
Lampu redup itu menjadi saksi, bagaimana seorang pemuda miskin belajar bermimpi di bawah atap seng dengan hati yang bersih dan semangat yang tak pernah padam.