

SELATAN ALEXCIO GIDMIDHARJA.
"Selatan!"
Cowok berperawakan tinggi itu menoleh kemudian tersenyum. Ia mengeratkan kembali tas punggungnya dibahu kanan, kemudian berjalan menghampiri seseorang yang baru saja memanggilnya.
Dengan rambut hitam panjang yang tak beraturan, dibarengi dengan tatapan tajam dan senyuman nakalnya itu, Selatan berhasil menarik atensi perhatian semua orang di koridor sekolah hari ini. Tampan, memikat, dan selalu tampil dengan sikap percaya diri. Selatan bisa diibaratkan sebagai bintang yang paling bersinar diantara yang lain sekarang.
"Gue manggil lo bukan buat tebar pesona gitu! Mana cosplay kayak model, tapi seragam lo kusut kayak nggak pernah disetrika!"
Selatan tertawa.
Seragam sekolahnya memang kali ini berantakan, khas orang yang sudah terlalu banyak melanggar aturan sekolah.Apalagi seringkali ia terlibat dalam insiden-insiden kecil yang membuatnya mendapatkan reputasi dan gelar sebagai siswa nakal.
Namun, di tengah semua gejolak itu, daya tariknya tetap tak terbantahkan, menjadikannya idola di semua kalangan di sekolah ini.
"Kenapa sahabat-sahabat gue yang budiman? Ada yang bisa gue bantu? Atau gue banting?"
Selatan memang termasuk cowok yang ramah dan enak diajak bercanda. Sayang satu kekurangannya, dia nakal, mendapat gelar badboy di sekolah. Masuk ke ruang BK adalah hobi utamanya.
Bahkan selain kusut, kali ini baju seragamnya terlihat ia keluarkan dari celana, dasi tak terpakai secara sempurna dengan kedua kancing yang ia biarkan terbuka di sisi paling tas, sehingga menampilkan kaos polos putih dari koleksinya dirumah.
Perawakannya, seperti seorang anak yang kurang mendapat perhatian.
"Lo baru berangkat bro? Serasa nggak punya jam di rumah."
Cowok itu hanya menanggapinya dengan cengiran tipis. Tak merasa tersindir, ataupun tersudutkan. Ia memasang wajah biasa seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
"Selatan bukan nggak punya jam. Gue tebak-tebak sih, Selatan udah masuk ke ruang BK. Iya kan?"
Selatan tertawa. Benar saja dugaan sahabat sekaligus satu gengnya, bahwa ia baru saja masuk ke penjara hariannya itu. Rutinitas pagi setiap berangkat sekolah, sangat berbeda dengan kembarannya yang selalu rajin berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali.
"Vin, Gar, Xel, udah tau jawabannya, masih aja nggak bosen nanya."
Vino terkekeh pelan. "Lagian sih lo, udah tau yang jaga Pak Botak. Masih aja ngelanggar. Kalau kata Utara mah nggak punya otak sih lo! Bego!"
Selatan memelototkan matanya. "Lo ngomong sekali lagi, gue depak dari geng Alaska. Mau lo?"
Gara menengahi. "Udah sih, nggak usah berantem. Lagian mau bolos juga kan pada?"
Keduanya langsung nyengir. Percuma mereka menasihati Selatan. Ujung-ujungnya mereka juga berada di satu arus yang sama.
"Pencitraan Gar. Biar kelihatan sohib yang perhatian aja."
Axel bersedekap dada. "Apalagi kalau kita nggak bolos, dunia ibaratnya kayak mau kiamat! Apa gunanya Guru BK, jika anak-anak nakal kayak kita mendadak pada mau taubat."
Selatan mengangguk setuju dengan ucapan Axel. Namun saat ini matanya masih menatap Vino dengan begitu berang. "Tapi... Awas aja kalau masih ngomongin gue nggak punya otak! Apalagi bego dan ngait-ngaitin sama Utara! Cukup bocah tengok itu aja yang kayak gitu sama gue, kalian jangan."
Vino menyengir sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal, "Ampun bos, nggak lagi-lagi deh suwerrr!"
Selatan menghela napas dan mengangguk pelan. “Gara-gara dia, gue merasa ternistakan dan nggak dipedulikan sama orang tua gue. Kalian semua tau kan fakta itu? Gue selalu dibedakan sama tuh bocah, anak Mamah kesayangan itu. Dan gue… GUE BENCI BANGET SAMA DIA!”
Axel tiba-tiba meniup peluit yang ia ambil dari dalam saku celana, seolah sudah menyiapkan dari lama. Ya mau bagaimana lagi, setiap ada topik kembaran Selatan, yang terjadi adalah adu mulut.
"Ganti topik deh. Kalau ngomongin Utara, pembahasannya nggak bakal kelar-kelar. Bisa berjilid-jilid pembahasannya, bahkan nyaingin tebelnya skripsi Abang gue." kata Axel pada akhir aja.
"Hmmm... Bahas soal Alaska aja deh, ada yang ngajak war sama balapan lagi nih. Ayo kita diskusiin sekarang, soalnya tenggatnya malam ini!" ajak Vino dengan semangat.
Berbicara soal Alaska, itu adalah geng motor yang dibentuk oleh Selatan dan para sahabatnya. Saat ini anggotanya tidak berasal dari sekolah ini saja, banyak sekolah tetangga yang ikut tergabung di dalamnya.
Selatan adalah ketua geng motor yang memimpin kelompoknya dengan karisma tajam dan keberanian yang membuat namanya disegani di mana-mana. Gengnya sering jadi bahan bisik-bisik di seluruh penjuru sekolah, tapi tak satu pun berani ikut campur urusan mereka. Berurusan dengan anak-anak Alaska sama saja seperti sengaja masuk ke kandang singa.
Meski sering terlibat dalam kegiatan berbahaya seperti balapan motor liar, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Selatan juga merupakan kapten tim basket di sekolah tercintanya. Kemampuan atletisnya luar biasa, membuatnya dihormati sebagai sosok yang tak hanya ganas di jalanan, tetapi juga cemerlang di lapangan.
Ia membuktikan bahwa di balik sisi liarnya, ada semangat kompetitif dan dedikasi di dunia olahraga yang tidak bisa diremehkan.
"Ya udah bahas sekarang aja. Mau dimana?" kata Gara sambil menghela nafas lelah.
Gara sebenarnya masuk geng Alaska, karena ikut-ikutan saja. Selebihnya, dia hanya ingin mengontrol para sahabatnya. Tidak ingin mereka bertindak berlebihan, meski sebenarnya sering kebablasan.
"Di warkop belakang aja. Kalau di kantin, 80% bakal masuk BK dan disuruh lari keliling lapangan 20 kali," kata Selatan menghitung peluang, "Gue tadi sepakat, kalau ketahuan telat dan bolos lagi, hukumannya lari."
"Buset 20 kali, nyawa gue kayaknya bisa melayang ke langit tujuh. Mana utang gue masih banyak." lanjut Vino.
"Ya bayar lah, bapak lo kaya. Ingat, lo utang sama gue buat beli es cekek kemarin!" seru Axel kemudian menyusul Gara dan Selatan yang sudah berjalan lebih dulu.
Vino terdiam kemudian menunjuk dirinya sendiri, "Busettt, cuma es cekek aja dihitung? Perhitungan banget!"
Yahhh... Hidup Selatan tidak terlalu suram karena kehadiran sahabat-sahabatnya. Meskipun, persetan semua kegemilangan yang dimiliki Selatan perlahan mulai meredup. Karena di balik sorotan keberaniannya di jalanan dan prestasinya di lapangan, ada satu hal yang selalu menelannya bulat-bulat: bayang-bayang Utara.
Semua pencapaian Selatan mendadak tenggelam, jika harus dikaitkan dengan penghargaan akademik yang dimiliki Utara.
_____
UTARA ALEXCIS GIDMIDHARJA.
Sosok misterius yang selalu merayap di sudut-sudut sepi—itulah Utara. Ia seperti bayangan yang menjaga jarak dari interaksi sosial. Tidak suka didekati, tidak suka diganggu, dan selalu berbicara seperlunya tanpa tambahan basa-basi sedikit pun.
Cowok pendiam layaknya mayat hidup, selalu menghindari keramaian. Jika Selatan dikenal dengan ketampanannya yang tegas dan garang, Utara justru memiliki wajah manis dengan lesung pipi di kedua sisinya. Ironisnya, lesung itu tidak pernah benar-benar muncul karena ia hampir tak pernah tersenyum. Mungkin bagi Utara, senyum adalah sebuah rahasia yang tidak perlu dibuka.
Sifat dinginnya menjalar seperti kabut. Siapa pun yang berani mengusik dunianya sering kali langsung dibuat bungkam oleh kalimat pedas yang keluar dari mulutnya. Namun di balik ketusnya, ia adalah pecinta buku. Dunia literasi adalah tempat ia bersembunyi, terbukti dari statusnya sebagai anak teladan sekaligus penyandang gelar olimpiade di sekolah.
“Kak Utara… dipanggil Bu Ajeng ke kantor. Katanya mau bahas kompetisi bulan depan,” ujar seorang adik kelas—sesama anak berprestasi—yang mendekatinya dengan hati-hati. Utara tengah duduk di pojok perpustakaan, tenggelam dalam bukunya.
Utara menutup bukunya dengan gerakan cepat, lalu menatap adik kelas itu sambil mengangguk tipis.
“Hm.”
Hanya satu huruf. Satu suara. Tapi itu sudah termasuk ekspresif bagi standar Utara. Bersyukurlah ia masih mau merespons. Jika tidak? Sudah pasti lawan bicaranya akan mati kutu menghadapi spesies manusia satu ini.
“Kalau gitu, aku balik ke kelas dulu ya, Kak.”
Utara hanya mengangguk pelan, menatap punggung adik kelas itu sampai menghilang di balik deretan rak buku. Ia menghela napas panjang, kemudian memasukkan bukunya kembali ke tempat semula. Kedua tangannya menutupi wajah, mencoba meredam gejolak yang sejak tadi tak henti bergemuruh.
“Kenapa sih Mamah sama Papah harus pilih kasih? Kalian harus tau… Selatan juga iri sama Tara. Catat ini: Selatan benci sama Utara. Sangat-sangat benci!”
Kata-kata itu terngiang tajam, menembus hatinya seperti bilah dingin. Pertengkaran kemarin—antara Selatan dan orang tua mereka—masih tertinggal jelas di kepalanya. Ia memang tidak terlibat langsung, tapi setiap kalimat yang terlontar kemarin berhasil menusuk jantungnya tanpa ampun. Ia hanya bisa diam di kamar, memeluk dirinya sendiri sambil mencoba mengingat ulang apa salahnya.
Rasa bersalah itu semakin memuncak. Hatinya retak ketika tahu bahwa kebencian Selatan lahir dari rasa iri—sesuatu yang bahkan tidak pernah ia minta.
Apa salahnya menjadi anak baik? Apa salahnya menjadi orang yang memilih jalur tenang?
“Membanding-bandingkan… Sebesar itu kah ketidakadilan yang Selatan rasakan... dari kehadiran gue?”
Benarkah? Utara bertanya pada dirinya sendiri. Ia dan Selatan adalah dua kutub yang berbeda. Selatan memilih menjadi badai: liar, bebas, menantang dunia. Sedangkan ia memilih menjadi diam: patuh, teratur, mengejar prestasi.
Tapi justru karena pilihan itu, orang tua mereka tanpa sadar menaikkan dirinya ke podium yang tidak pernah ia minta. Podium yang membuat Selatan merasa lebih rendah.
Dan itu… menyakitkan.
“Arghhhh!”
Utara berdiri cepat, menepis seluruh pikiran yang makin lama makin sesak. Ia melangkah keluar dari perpustakaan dengan langkah lebar, memilih memusatkan perhatian pada perjalanan menuju kantor guru daripada harus berkutat dengan luka yang terus mengupas dirinya dari dalam.
“Mereka mungkin terlalu memihak gue…” gumamnya lirih, “tapi lo nggak tau apa-apa soal gue, Tan. Lo iri sama pencapaian gue, tapi gue jauh lebih iri sama hidup lo. Lo bebas… lo bisa jadi apa pun yang lo mau. Sedangkan gue?”
Ia menelan ludah pahit.
“Gue berharap...gue bisa hidup apa adanya. Tanpa orang lain melihat, kalau gue sangat sempurna di mata mereka.”
Selatan seharusnya tahu isi hatinya ini. Tapi biarlah—biarlah semua ini terkubur rapat. Biarlah hanya ia, orang tuanya, dan tembok kamarnya yang tau.
Kalaupun Selatan membencinya?
Utara mengangkat dagunya sedikit, memaksa dirinya melangkah lebih cepat.
Ia sudah terbiasa menahan sakit.
Ia bisa menahan yang satu ini juga.
*****