Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Di Balik Dinding Hati Wira

Di Balik Dinding Hati Wira

Yuristi | Bersambung
Jumlah kata
48.5K
Popular
100
Subscribe
24
Novel / Di Balik Dinding Hati Wira
Di Balik Dinding Hati Wira

Di Balik Dinding Hati Wira

Yuristi| Bersambung
Jumlah Kata
48.5K
Popular
100
Subscribe
24
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifePertualanganIndigoCinta Sekolah
Hidup Wira Adiguna, seorang remaja yang menganggap dirinya paling cool se-antero jagat raya, tiba-tiba jungkir balik bagai roller coaster tanpa rem. Bukan karena nilainya jeblok (lagi), tapi karena sang ayah tiba-tiba membawa pulang "paket komplit": Ibu Tiri baru bernama Hara yang hobi senyum dan sepertinya anti-stres, serta adik tiri perempuan berusia 6 tahun, Yuri, yang energi dan suaranya mengalahkan speaker konser rock. ​Wira, yang selama ini betah di zona nyaman "anak tunggal paling diperhatikan", langsung pasang mode anti-sosial. Misi hidupnya jelas: membuat Hara menyerah dengan segala cara, mulai dari drama merajuk level dewa, perang dingin di meja makan, sampai rencana-rencana 'penyingkiran' yang selalu berakhir konyol dan justru menempatkannya dalam situasi memalukan. Dinding di hatinya tebal, berlapis baja, dan bertuliskan "DILARANG MASUK, KECUALI BAKSO!" ​Tapi siapa sangka, dinding itu punya musuh bebuyutan: kebaikan hati Hara yang tak tergoyahkan (meski sering dibalas tatapan horor Wira), dan keisengan polos Yuri yang justru sering tanpa sengaja membuat Wira tertawa (lalu buru-buru pasang muka datar lagi). perlahan tapi pasti, retakan-retakan kecil mulai muncul di dinding hati Wira. ​Akankah Wira si raja drama akhirnya mengakui bahwa hidup dengan keluarga baru ini tak seburuk yang ia bayangkan? Atau dia akan tetap bersembunyi di balik dindingnya yang konyol, sampai terpaksa harus mengakui, "Oke, kalian memang keluarga, dan... aku sayang kalian, deh!" Ini adalah kisah tentang Wira yang menemukan bahwa hati bisa mencintai lebih dari satu orang, bahkan jika orang itu adalah ibu tiri dan adik tiri yang super ajaib.
Bab 1: Pagi yang Kesiangan

Seorang siswa dengan seragam SMA yang terlihat kusut berlari kencang sambil menggendong tas di punggungnya. Ia makin mempercepat lari, menatap lurus ke depan, karena gerbang sekolah sudah nyaris tertutup. Sedikit lagi! bisiknya dalam hati, mencoba menguatkan diri.

Beruntung, ia berhasil melesat masuk tepat sebelum gerbang tertutup rapat. Ia bernapas lega, dan senyum tipis kepuasan terukir di bibirnya.

Ia melambatkan langkahnya, lalu berbalik sambil terus berjalan mundur. "Makasih, Pak…," anak itu cengengesan dan mengacungkan jempol sebagai tanda terima kasih.

Penjaga gerbang tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya, lalu memasang gembok pagar.

Siswa itu kembali berlari, menjauh menuju gedung sekolah. Sesampainya di sana, terlihat para murid bergegas memasuki kelas.

"Ting! Ting!"

Bel sekolah berbunyi. Keadaan makin riuh karena semua siswa berlomba untuk segera masuk.

"WIRA!" Terdengar suara seorang wanita yang menggema di lobi sekolah, lantang dan tegas.

Ya, anak yang kesiangan tadi adalah Wira Adiguna, murid kelas 12 IPS. Ia dikenal karena kelakuannya yang sering telat, jarang mengerjakan tugas, dan bersikap semaunya. Kemeja seragamnya selalu acak-acakan, dan rambutnya amburadul.

Wira yang mendengar namanya dipanggil, terdiam. Dengan perasaan gugup bercampur kesal, ia berbalik perlahan. Ternyata ada gurunya yang bernama Bu Laras, yang terkenal galak dan merupakan wali kelasnya.

"Apa lagi sih!" gumam Wira, sambil memasang senyum palsu untuk menyembunyikan kekesalannya.

Bu Laras berjalan mendekati Wira yang masih tersenyum. Ketika mereka sudah saling berhadapan.

"Selamat pagi, Bu Laras. Hari ini Ibu terlihat sangat cantik dengan baju warna biru telor asin itu. Seragam baru, ya?" Wira mencoba merayu gurunya.

"Sut!" Bu Laras mengacungkan telunjuk ke hadapan Wira agar dia terdiam.

Seketika, Wira langsung berdiri tegak, terlihat jelas sedang menahan gugup.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," ujar Bu Laras dengan ketus.

Wira menelan ludah saking takutnya karena ia tahu akan diomeli.

Namun, Bu Laras justru menyodorkan sebuah goodie bag warna cokelat ke hadapan Wira. Wira menatap benda itu, diliputi perasaan bingung, heran, dan penasaran yang berputar di kepalanya.

Dia tidak jadi marah? pikir Wira, sambil menatap Bu Laras yang malah tersenyum-senyum seakan ada sesuatu yang menyenangkan telah terjadi.

Bu Laras meraih tangan Wira dan meletakkan tali goodie bag itu ke tangan Wira, sikapnya berubah penuh senyum dan kelembutan. "Ambillah. Ini oleh-oleh. Ibu harap kalian suka. Salam juga buat ayahmu, ya." Suaranya terdengar lembut.

"Ayah?" ulang Wira dengan nada pelan, sedikit sinis.

"Kalau begitu, Ibu pergi dulu, ya. Belajar yang giat," Bu Laras menepuk pundak Wira halus, tetap dengan senyum lebar.

Wira hanya tersenyum canggung, merasa tidak nyaman akan hal itu, sambil menatap Bu Laras yang pergi menjauh dengan langkah ringan seakan sedang bahagia.

Wira menatap goodie bag-nya sambil bergidik, seakan merasa geli, jijik, dan kesal. "Jangan deh. Aku tak mau punya ibu sepertinya," gumam Wira. Ia segera pergi ke kelasnya, sambil mengingat Bu Laras yang biasanya sangat galak, kini berdandan mencolok seakan mau pergi kondangan.

Di kelas, Wira duduk di bangkunya, bersama teman dekatnya, Epul.

Epul menatap goodie bag yang ditaruh Wira di bawah bangku. "Apa itu?" tanyanya sambil menunjuk.

Wira menoleh dan menatap temannya dengan wajah sinis. "Kamu tahu..." Wira menceritakan kejadian tadi, yang membuat Epul malah tertawa terbahak-bahak, hingga semua orang menoleh kepadanya.

Wira panik, lalu menutup mulut Epul. "Sstt...," bisiknya dengan tatapan tajam dan suara yang sedikit menekan.

Semua orang kembali melakukan aktivitas, tidak memedulikan Wira dan Epul. "Diamlah," desis Wira.

Epul menepis tangan Wira. Ia masih menatap Wira dengan tatapan seakan tak percaya dengan apa yang terjadi.

Terdengar suara langkah kaki dari luar yang makin mendekat. Seketika itu, semua murid di kelas duduk rapi menghadap depan, menantikan seseorang. Ya, tak lama kemudian masuk guru yang akan mengajar hari itu. Namun, Epul mencuri pandang pada Wira sambil cengengesan. Wira yang menyadarinya menyenggol kaki Epul, dan melirik sinis, penuh rasa kesal dan malu.

Lanjut membaca
Lanjut membaca