Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Rambut Palsu Ajaib Lingga

Rambut Palsu Ajaib Lingga

Nurul Jung | Bersambung
Jumlah kata
44.4K
Popular
150
Subscribe
66
Novel / Rambut Palsu Ajaib Lingga
Rambut Palsu Ajaib Lingga

Rambut Palsu Ajaib Lingga

Nurul Jung| Bersambung
Jumlah Kata
44.4K
Popular
150
Subscribe
66
Sinopsis
PerkotaanSekolahKekuatan SuperKultivatorKarya Kompetisi
Karena memiliki penyakit, Lingga di anggap sebagai siswa lemah, di ejek, dibully dan diabaikan oleh teman, guru. Bahkan keluarganya sendiri pun menganggap dirinya sebagai beban. Namun takdir berubah ketika ia menolong seorang pria tua di jalan. Sebagai balasan, pria itu memberinya imbalan yang aneh, sebuah rambut palsu indah berwarna hitam pekat. Awalnya Lingga menertawakannya karena ya buat apa rambut palsu itu. Tapi ketika rambut aslinya rontok karena efek obat oleh penyakit yang di deritanya membuat ia memilih memakai benda itu. Dan ya ... seperti keajaiban, segalanya berubah.Tubuh Lingga menjadi kuat. Pandangannya tajam. Suaranya berwibawa. Dunia yang dulu menertawakannya kini berlutut dan memujanya, tapi setiap kekuatan punya harga. Dan di balik rambut yang berkilau itu, tersimpan sesuatu yang hidup, sesuatu yang perlahan menelan jiwanya. Kadang, yang kita inginkan untuk menjadi sempurna adalah hal yang akan menghapus kita dari dunia.
Si Lemah

Lingga berjalan tertatih di koridor sekolah yang tampak mulai ramai pagi ini. Suara langkah sepatu para siswa lain bergema, disertai tawa riang yang seolah menertawakannya tanpa alasan. Pagi itu tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya, setiap langkah terasa seperti menyeret karung berisi batu. Ia menggenggam tali tasnya erat-erat, mencoba menahan beban yang seakan terlalu besar untuk tubuh sekurus itu.

Begitu sampai di depan kelas, beberapa anak laki-laki yang duduk di meja belakang langsung bersiul.

“Eh, tuh dia datang! Si rapuh udah bangun dari ranjang rumah sakit!” seru salah satu dari mereka disambut tawa.

Lingga pura-pura tidak mendengar. Ia berjalan pelan menuju bangkunya yang ada di pojok, tempat yang jarang disentuh siapa pun. Kursi itu sudah seperti zona aman bagi Lingga, jauh dari semua anak sebayanya, tapi juga jauh dari kebahagiaan.

Bahkan di tempat duduknya yang terpencil itu, ejekan tetap saja datang. Saat guru olahraga masuk membawa bola basket, semua siswa bersorak senang, kecuali Lingga.

“Semua turun ke lapangan! Hari ini kita latihan fisik!” kata pak Rian, guru olahraga itu dengan semangat.

Hati Lingga langsung menciut. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti biasa, tubuhnya tidak akan sanggup mengikuti pelajaran olahraga itu hingga full. Tapi ia tak punya pilihan selain ikut turun.

Di lapangan, anak-anak mulai berlari keliling. Nafas Lingga sudah tersengal di putaran pertama, sementara teman-temannya yang lain masih tertawa-tawa sambil berlari cepat. Keringat dingin sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis Lingga, matanya pun kini mulai berkunang-kunang.

“Buruan, Lingga! Masih jauh tuh garis finishnya!” teriak salah satu teman lelaki bernama Heru.

Lingga mencoba memaksa kakinya untuk melangkah, tapi dunia mulai berputar. Sekejap kemudian, tubuhnya tumbang di atas aspal kasar, lapangan basket.

Suara tawa kembali terdengar dari siswi perempuan. “Astaga, bahkan lari satu putaran saja sudah bikin si rapuh pingsan. Dasar lemah!”

Guru hanya menggeleng, menghela napas panjang.

“Sudah-sudah jangan begitu, bawa dia ke UKS,” kata Pak Rian datar, seolah sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu.

Dua orang teman lelaki sekelas Lingga setengah hati membantu mengangkatnya, tapi bahkan mereka menertawakannya di sepanjang jalan.

“Kayak ngangkat bulu ayam, enteng banget,” bisik salah satunya.

Beberapa saat kemudian Lingga tersadar, ia terbaring di UKS, pemandangan langit-langit putih di atasnya terasa sangat jauh. Hatinya kosong. Ia tidak menangis sedikit pun, air matanya seolah sudah habis sejak lama.

Lingga menatap tangannya sendiri. Jari-jarinya kurus, pucat, dan tampak rapuh seperti ranting kering. Ia menggenggamnya perlahan, tapi genggaman itu pun tak terasa kuat.

'Kenapa aku begini?' pikirnya.

'Kenapa aku harus dilahirkan selemah ini?'

---

Di rumah, sikap orang-orangnya tidak berbeda jauh dari sikap anak-anak di kelasnya. Lingga membuka pintu pelan, berharap tidak menarik perhatian siapapun. Tapi suara tawa sudah terdengar dari ruang tengah, ayah, ibu, dan kakaknya, Leo, saudara lelakinya dua tahun lebih tua darinya.

“Lihat, Ma, nilai olahragaku naik lagi,” kata Leo sambil memamerkan rapor.

“Anak pintar Mama! Pantas aja kamu jadi kebanggaan sekolah,” jawab ibunya dengan bangga.

Lingga berdiri di ambang pintu, memandangi mereka. Tidak ada satu pun dari tiga orang itu yang menyadari kehadirannya. Ia menunduk, berjalan ke dapur, dan menuangkan air putih ke gelas.

Namun, suara air yang mengalir dari galon ke gelas, menarik perhatian ibunya.

“Oh, Lingga, kamu baru pulang?” tanyanya sekilas.

“Iya, Ma,” jawab Lingga pelan.

“Sudah makan? Jangan sampai sakit lagi, ya. Mama capek kalau kamu sampai masuk rumah sakit lagi.”

Nada bicaranya lembut di permukaan, tapi mengandung sesuatu yang menusuk. Kalimat itu bukan perhatian, tapi keluhan yang dibungkus kewajiban.

Leo menatapnya dengan senyum miring.

“Dengarkan ... ucapan Mama, sana makan biar nggak nyusahin orang rumah lagi kamu. Dasar penyakitan.”

Lingga hanya diam. Tidak ada gunanya menjelaskan kalau tubuhnya memang tidak seperti orang lain. Dokter bilang sejak kecil jantungnya lemah, metabolisme tubuhnya lambat, dan ototnya sulit berkembang. Tapi bagi keluarganya, semua itu cuma alasan.

Setelah makan seadanya, Lingga kembali ke kamarnya. Ruangan kecil di ujung rumah itu sepi, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak lambat. Ia menatap meja belajarnya yang berantakan, lalu beralih ke cermin di sisi lemari.

Bayangan dirinya menatap balik, wajah pucat, tubuh kurus, dengan mata sayu yang tampak lebih tua dari usianya. Lingga mendekat, menelusuri pantulan wajah itu dengan jari.

“Kenapa aku harus dilahirkan begini?” bisiknya.

“Kenapa bukan kayak Leo? Yang kuat dan pintar seperti mereka mau?”

Tidak ada jawaban. Hanya pantulan dirinya sendiri yang tampak semakin buram karena air mata yang mulai menggenang.

Ia duduk di lantai, menarik lututnya, memeluk dirinya sendiri. Di luar, suara tawa keluarga masih terdengar samar. Ada rasa asing di dadanya antara iri dan kecewa. Tapi lebih dari itu, ada kehampaan.

Ia ingin berubah menjadi kuat. Ia ingin bisa berlari tanpa takut pingsan, bisa tertawa tanpa takut diejek. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa dibanggakan. Tapi ia tidak tahu caranya.

Dalam diam, ia memandangi tangannya yang gemetar.

“Andai aku bisa kuat, normal seperti lainnya,” gumamnya.

Angin malam berhembus dari jendela yang sedikit terbuka, membawa dingin yang menggigit tulang. Lingga meraih selimut, lalu berbaring sambil menatap langit-langit. Di sana, lampu redup berkedip pelan, seperti denyut lemah dari hatinya sendiri.

---

Keesokan harinya, ketika Lingga datang ke sekolah, ejekan ternyata belum berhenti. Bahkan saat ia diam pun, orang-orang tetap menemukan alasan untuk menertawakannya.

“Eh, si rapuh masuk sekolah, tumben nggak masuk rumah sakit lagi,” celetuk salah satu murid dari belakang.

“Sudah-sudah, lihat tuh mukanya, kasian banget tapi juga ngeselin. Pingin nonjok aja rasanya,” tambah Natan sambil terkekeh. Suara tawa geng-nya meledak di koridor.

Lingga menggigit bibir bawahnya. Ia menunduk, memeluk tas di dada, berusaha tak peduli. Tapi tiap langkahnya terasa berat, seolah setiap tatapan adalah belati.

Di dalam hatinya, ada api kecil yang mulai tumbuh, bukan amarah, melainkan rasa muak. Ia sudah lelah menjadi lelucon bagi dunia.

Namun api itu padam secepat munculnya ketika seseorang menendang tasnya dari belakang.

BRUK!

Buku-bukunya jatuh berserakan di lantai.

“Ups! Sorry, reflek,” kata Natan dengan nada mengejek. Ia mendorong bahu Lingga kasar. “Ambil dong, jangan bengong!”

Lingga berjongkok, mengumpulkan buku-bukunya satu per satu dengan tangan gemetar. Sementara di sekelilingnya, tawa terus terdengar, memenuhi lorong.

“Ck, dasar cowok penyakitan, lemah,” gumam salah satu gadis.

“Jangan dekat-dekat deh sama dia, iuw nyusahin banget,” sahut yang lain.

Lingga menunduk semakin dalam. Matanya panas, tapi ia tak mau menangis. Tidak di depan mereka. Tidak lagi.

Ketika ia berdiri, seseorang tiba-tiba menarik kerah bajunya dan membenturkan punggungnya ke dinding.

DUG!

“Gue cuma pengen tahu,” kata Natan menatapnya dari dekat. “Rasanya gimana sih hidup tapi cuma setengah? Lo itu kayak ... beban hidup aja.”

Lingga memejamkan mata. Ia ingin melawan, ingin sekali, tapi tubuhnya terlalu lemah. Napasnya mulai sesak, dan suara tawa mereka berubah seperti gema yang jauh.

“Sudahlah, tan,” kata salah satu temannya. “Nanti dia pingsan beneran lagi.”

Natan mendengus, lalu melepaskannya. “Dasar pecundang. Pergi sana.”

Lingga jatuh ke lantai. Dunia berputar. Ia mengambil tasnya, menahan perih di dada, lalu berjalan keluar sekolah tanpa menoleh lagi. Tidak ada yang memanggil, tidak ada yang peduli.

---

Sore itu, angin berembus dingin melewati lorong sempit di belakang sekolah. Lingga berjalan sendirian, menunduk, menutupi sebagian wajahnya dengan hoodie. Hari itu, ia baru saja dipermalukan lagi, rambutnya dijambak oleh Sean karena kepala Lingga menghalangi penglihatan Sean.

“Minggirin kepala lo. Eh ... apa ini, rambut Lo rontok. Menjijikan sekali!”

Suara ejekan itu masih terngiang di kepalanya.

Lingga mendengus pelan, menendang batu kecil di jalan.

“Sial, malu-maluin banget ... seandainya aku tidak sakit, rambut ini pasti tidak rontok.”

Langit kelabu seolah ikut menertawakan nasibnya. Ia berjalan tanpa arah, melewati jalan setapak menuju taman tua di pinggir kota, tempat yang jarang dikunjungi siapa pun.

Ia duduk di bangku tua, memeluk tasnya. Dadanya sakit, bukan hanya karena pukulan, tapi juga karena perasaan ditolak oleh semua orang, bahkan keluarganya sendiri.

“Kalau aku bisa memilih,” bisiknya, “aku lebih baik nggak lahir.”

Pemuda itu mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Lampu jalan berkelap-kelip, memberi cahaya samar pada sosok tua yang tiba-tiba berdiri di ujung halte.

"Kalimat yang bodoh untuk anak seusiamu,”

Suara serak itu muncul begitu saja dari belakang.

Seorang kakek, berjas panjang kelabu, rambutnya putih semua namun rapi, menatap Lingga sambil tersenyum tipis.

Lingga tersentak, menoleh cepat. Seorang kakek tua berdiri di bawah pohon rindang, memakai jas panjang lusuh dan memegang tongkat hitam. Wajahnya dipenuhi keriput, tapi matanya tajam, menembus seolah tahu semua luka yang disembunyikan Lingga.

“Siapa … Kakek siapa?” tanya Lingga waspada.

Kakek itu tersenyum samar, berjalan mendekat perlahan.

"Namaku tidak penting. Tapi aku sudah mengamatimu lebih lama dari yang kau kira.”

Lingga hanya menatap heran, dahinya mengernyit, kakinya mundur sedikit.

"Mengamatiku? Maksudnya apa? Aku bahkan nggak kenal Kakek.”

Kakek itu berhenti tepat di depan bangku, lalu dari dalam jasnya, ia mengeluarkan rambut berwarna hitam, sepertinya itu wig. Rambut itu tampak licin dan berkilau aneh di bawah rintik hujan, seolah berdenyut pelan.

“Ambillah ini,” katanya pelan. “Rambut yang bisa memberimu kekuatan, keberanian, dan bentuk baru dari dirimu yang lemah itu.”

Lingga memandangi benda itu dengan bingung. “Apa ini? Wig?”

"Lebih dari itu.”

“Untuk apa aku pakai ini?”

“Untuk menjadi orang yang kau inginkan.”

Lingga mendengus kecil. “Kakek salah orang. Aku nggak mau wig aneh begitu. Aku cuma pengin berhenti jadi anak lemah. Itu aja.”

Kakek itu menatapnya dalam-dalam. “Dan itulah sebabnya kau akan membutuhkannya.”

Lingga berdiri, bersiap pergi. “Saya nggak butuh pertolongan dari orang asing. Terima kasih.”

Tapi sebelum ia sempat melangkah, kilat menyambar langit, membuat sekejap taman itu terang. Saat cahaya redup lagi, kakek itu sudah hilang.

Lingga memutar tubuhnya panik. “Kek?!”

Tak ada siapa-siapa. Hanya rintik hujan, bangku kosong, dan helai rambut hitam yang kini tergeletak di tanah tempat kakek itu berdiri. Rambut itu tampak bergerak pelan, seperti mengikuti napas hujan.

Lingga menatapnya lama, lalu bergumam, “Apa barusan aku berhalusinasi?”

Namun sebelum ia pergi, angin dingin berembus kencang melewati tengkuknya dan dari arah pohon, terdengar suara berat yang membuat jantungnya berdegup tak karuan.

“Suatu hari nanti, kau akan membutuhkan rambut itu Lingga."

Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun. Hanya dedaunan bergoyang.

Rambut hitam itu kini hilang dari tanah, seolah tak pernah ada.

Lingga menelan ludah, wajahnya pucat.

Ia berlari pulang tanpa menoleh lagi, tapi di sepanjang jalan ia merasa ada sesuatu yang mengikutinya.

Tbc----

Lanjut membaca
Lanjut membaca