

The Last Night
Cahaya dari balkon menelusuri ruangan, memantul di marmer pucat dan permukaan kaca.
Udara malam terasa hangat, tapi tidak nyaman seolah menyimpan sesuatu yang ingin diucapkan tapi tidak punya suara.
Ethan masih berdiri di dekat balkon. Dua gelas wine di meja samping nya satu telah kosong, satu lagi masih setengah, menyisakan bekas bibir di tepinya.
Wanita itu berdiri di sisi lain ruangan, menatap ke arah jendela yang terbuka setengah. Angin malam masuk perlahan, menggerakkan helaian rambutnya, membuat waktu terasa lebih lambat.
“Jadi kau benar-benar akan pulang besok?” suaranya tenang, seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya.
Ethan mengangguk. “Semua sudah selesai. Aku harus kembali.”
Keheningan menggantung di antara mereka.
Tidak ada yang menatap lebih dulu, tidak ada yang berani bicara lebih jauh.
Wanita itu menurunkan pandangan, lalu berjalan pelan menuju kamar. Langkahnya ringan, tapi meninggalkan jejak berat di udara.
Ethan menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu yang setengah terbuka.
Di dalam dada, ada sesuatu yang tertahan sebuah dorongan untuk menahan, tapi juga keinginan untuk menyerah.
Ia tahu, jika ia membiarkannya berlalu begitu saja, malam ini akan berakhir dalam diam yang menyesakkan.
Tangannya terulur, hampir tanpa sadar.
Hanya satu langkah, dan ia menyentuh daun pintu yang belum tertutup sepenuhnya.
Dari celah kecil, ia melihat siluet wanita itu di bawah cahaya kamar yang temaram.
Warna emas lampu meja jatuh di kulitnya, membentuk garis lembut di bahunya yang telanjang sebagian, di jemari yang sedang menata rambutnya dengan gerakan pelan.
Sesuatu di dalam hati Ethan runtuh.
Ia tidak tahu apakah ini keputusan atau penyerahan diri, tapi malam itu tidak lagi memberi ruang untuk berpikir.
Ia mendorong pintu perlahan, tanpa suara.
Wanita itu menoleh, dan untuk sesaat waktu berhenti di antara mereka.
Tidak ada kata, tidak ada jarak.
Yang tersisa hanya tatapan panas, tenang, dan tak terhindarkan.
Dan ketika cahaya dari ruang tamu perlahan lenyap di balik pintu yang menutup, malam itu pun mulai berdenyut pelan di antara dua napas.
Hening mengambil alih ruangan.
Waktu seperti berhenti di udara, menunggu seseorang untuk memecahnya.
Cahaya kuning dari lampu meja jatuh di wajah mereka, menyoroti kulit yang tampak berkilau oleh sisa keheningan yang belum sepenuhnya padam.
Ethan berdiri di sisi ranjang, menatap sosok di depannya diam, namun terlalu hidup untuk diabaikan.
Di luar, kota masih berdenyut dalam cahaya malam, tapi di dalam kamar itu, dunia seolah menyusut hanya menjadi dua orang yang saling terjebak dalam waktu yang tidak ingin bergerak.
Ketika langkah Ethan mendekat, udara berubah.
Bukan karena jarak, tapi karena kesadaran bahwa apa pun yang akan terjadi malam itu, tidak bisa lagi diulang.
Wanita itu menatapnya, dan dalam tatapan itu ada sesuatu yang lebih jujur dari kata-kata: rasa takut, keinginan, dan penerimaan yang menyatu tanpa perlawanan.
Tidak ada suara selain desah napas mereka.
Ethan menunduk sedikit, cukup dekat hingga bisa mencium aroma tubuhnya aroma yang lembut, tenang, dan berbahaya dalam waktu bersamaan.
Ia tahu, malam itu akan menjadi kenangan yang tidak bisa dihapus oleh apa pun.
Ethan meraih wajahnya, menangkup pipi yang dingin itu dengan tangan gemetar. Malam itu adalah metafora paling indah sekaligus paling menakutkan: mereka adalah dua manusia yang terlalu dekat, tahu bahwa kebersamaan mereka hanya akan menciptakan kegelapan sesaat. Mereka adalah gerhana dua cahaya yang saling menutupi, menyala hanya untuk saling memadamkan.
Detak jarum jam di dinding terdengar seperti hitungan mundur yang tak bisa dihentikan. Ethan memejamkan mata, mencium aroma tubuhnya, mengunci kenangan itu di balik kelopak mata.
Wanita itu perlahan mengangkat tubuhnya, bersandar pada bantal. Ia menjangkau, menemukan tangan Ethan yang masih menangkup wajahnya, lalu menuntunnya turun, menempatkannya di dadab tepat di atas detak jantung yang berpacu liar.
“ Apa Kau takut aku kan menghancurkan masa depan mu Ethan?? .. aku tidak akan menuntut lebih dari hubungan ini. empat tahun kebersamaan kita ini sudah lebih dari cukup Ethan terimakasih sudah menemani dan memberikan kehangatan .” bisiknya. Matanya yang gelap memantulkan cahaya redup. Itu bukan pertanyaan, melainkan pengakuan yang menyakitkan.
Ethan membuka mata. Ia menangkap ketenangan yang tak seharusnya ada di wajah itu, seolah ia sudah menerima akhir ini jauh sebelum malam dimulai. Ia tidak menjawab. Setiap kata akan terdengar seperti pengkhianatan terhadap semua yang baru saja mereka bagi.
“Kau tahu aku tidak akan memintamu untuk tinggal,” lanjutnya. “Aku hanya ingin kau tahu, perasaan ini tulus Ethan.”
Tangan yang bebas itu naik, mengusap garis rahang Ethan, mengukir detailnya ke dalam ingatan. Gerakan itu lembut, perlahan, dan final. Itu bukan lagi sentuhan gairah, melainkan perpisahan.
"Kau tidak akan melupakankukan,” janji Ethan. suaranya pecah di antara napas. Janji yang bertentangan dengan permintaannya, janji yang Ethan tahu akan ia langgar seumur hidupnya.
Wanita itu menggeleng perlahan, senyum pahitnya kembali. “Lupakan nama. Lupakan wajah. Ingatlah sensasi ini saja—kebebasan singkat sebelum dunia datang menagih.”
Ethan mencondongkan tubuh, dahi mereka bersentuhan. Untuk sesaat, suhu di ruangan itu turun, dan waktu membeku. Mereka hanya bernapas satu udara.
Tangan mereka sibuk membuka semua apa yang mereka kenakan. semua berserakan di lantai hingga tak sehelai benang pun yang menutupi tubuh ke duanya.
Ethan mulai menciumminya. ciuman yang membakar, ciuman lambat, penuh kesedihan dan penghormatan. Ini adalah segel atas kesepakatan mereka, sebuah selamat tinggal yang disimpan di dalam hati, bukan diucapkan dengan bibir.
Ciuman itu semakin dalam. tagan Ethan membelai lembut setiap sudut tubuh wanita itu.
beramain dengan lincah di atas dada yang sintal bulat sempurna, kulit putih pucat yang merona. membakar hasrat buas Ethan.
setiap tarikan nafas setiap sentuhan yang lembut itu.
membuat wanita itu melayang hanya suara berat eragan fan desahan yang semakin intens.
"apa ini bisa membuat mu merasa nyaman... " Suara berat Ethan bergema lirih di telinganya, membuat udara di antara mereka menegang. Tatapannya dalam, seolah mencari sesuatu yang tak ingin ia lepaskan. Gerakannya lembut, penuh kendali, tapi di baliknya ada gejolak yang tak bisa disembunyikan.
Ethan seperti menemuka mainan yang di suakai.
tangan Etah semakin dalam memasuki area yang sudah lembab di bawah sana.
"ecmhh Etah lebih dalam lagii... aku bisa merasakan jari jemari mu di sana.. lebih kencang lagi Ethan itu terlalu lembut." hasrat yang sudah mulai naik.
Ethan menatap wajah di depannya mata yang terpejam, napas yang naik-turun, bibir yang bergetar pelan di antara keheningan. Ada sesuatu di sana yang membuatnya terpaku; keindahan yang tidak hanya dilihat, tapi dirasakan sampai ke dalam dada. Dalam diam, ia seolah lupa di mana dunia berhenti dan di mana dirinya memulai.
"tunggu kita bermain pelan pelan... aku menikmati setaip inci tubuh mu" Tangan kiri Ethan sibuk bermain di area sensitif yang semakin lembab tubuh Ethan menindih gadis itu, tagan kanan sibuk bermain di dada yang sintal bulat penuh. bibir Ethan mencium lemut setiap inchi wajah gadis itu bermain liar degan bibir dan lidah
"ini terlalu nikmat Ethan semua badan ku bergetar"
tagan kecil gadis itu meraih batang yang terasa kian
megeras tangan lembut itu naik tuun.
"Achh ...." suara itu lolos dari bibir Ethan yang masih melumat lembut bibir kecil gadis itu.
Suara berat Ethan pecah pelan, seolah keheningan malam tak lagi mampu menampung apa yang sedang terjadi di antara mereka. Segalanya terasa melambat; setiap gerakan menjadi gema yang panjang di udara yang hangat. Di matanya, waktu berhenti tak ada ruang selain napas dan keinginan yang saling mengunci.
tubuh Etahn terangkat sedikit lidah liar ethan menyapu ke arah dagu turun ke dada menghisap pelan dua gundukan di depan nya. setalah puas degan mainan itu dagu etan semakin turun ke bawah menyusuri perut pusar hingga sampai ke titik yang sudah lembab tampak kemerahan bulu halus mengelilingi area itu.
mata etan melihat degan kilatan nafsu
srupssss....
suara lidah dan bibir ethan meghisan setiap inci bagian, menikmati setiap tetes cairan yang membasahi didinding kenikmatan itu.
suara gadis itu semakin berat desahan semakin tak terkendali tubuh mulai menggeliat. tangan kecil itu mencengkram sprei putih di sisi tubuh nya.
lidah dan bibir Ethan semakin liar bermain di bawah sana tagan yang kekar meremas dua gundukan itu degan satu telapak tagan memutar dan menekan nya seperti bola.
cairan hangat meyembur dari dalam cipratan itu membasashi sebagian wajah Ethan. alih alih jijik ethan justru menikmati nya. bibir etan terangkan senyum di ujung sudut bibir terlihat jelas.
dia menjilati setiap tetes setiap sudut bagian yang terlihat sudah sagat merekah.dia beranjak mengangkat tubuh nya sedikit menempatkan diri degan pas di depan gadis itu.
gadis itu terlentang dagan kedua kaki tertekuk
wajah yang sudah memerah mata terpejam lembut.
Ethan memandangi nya degan kilatan senyum.
tangan Ethan meraba perut sampai ke bawah sesuatu yang sudah menegang itu memasuki area yang sagat lembab dan dalam menerobos masuk degan mudah
"uchh...." suara itu lolos dari kedua bibir keduanya.
batang keras itu mulai menekan ke dalam tubuh nya semakin megeliat tak teratur.
tiap tekanan tiap hentakan terasa seperti pukulan yang dalam namun nikmat.
"lebih keras Ethan lebih keras.. itu itu.. nikmat etan
sekarang kau semakin handal degan permainan ini."
suara gadis itu naik turun tak teratur.
" ini pelajar pertama yang kau ajarkan padaku ibu dosen ku dan ini adalah pelajaran yang paling aku sukai" suara berat menggoda Ethan yang tak kalah bergetar dari wanita itu .