Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Jejak Asap Di Jalan Gelap

Jejak Asap Di Jalan Gelap

NunsUnik | Bersambung
Jumlah kata
73.9K
Popular
100
Subscribe
37
Novel / Jejak Asap Di Jalan Gelap
Jejak Asap Di Jalan Gelap

Jejak Asap Di Jalan Gelap

NunsUnik| Bersambung
Jumlah Kata
73.9K
Popular
100
Subscribe
37
Sinopsis
PerkotaanSekolahGangster
Judul: Jejak Asap di Jalan Gelap ( Anak geng motor) Raka, siswa SMA berusia 17 tahun yang jenius namun kurang mampu, diam-diam adalah pembalap geng motor paling ditakuti di kotanya. Ia terpaksa turun ke jalanan malam demi membiayai pengobatan ayahnya yang sakit keras. Motor tuanya mungkin tak menarik, tapi sudah berkali-kali membawanya menang dalam taruhan balap liar meski nyawanya sering terancam. Di sekolah, hidup Raka makin rumit ketika Amanda, gadis tercantik dan populer, terang-terangan mengejarnya. Namun hati Raka diam-diam terpikat pada Nayla, gadis pendiam yang lembut, pintar, dan sama sekali tak tahu betapa gelapnya dunia yang Raka jalani. Ketika Amanda mulai cemburu dan Nayla kian dekat dengan rahasia berbahaya Raka, hubungan mereka bertiga terseret ke dalam konflik asmara yang menegangkan. Sementara itu, gank saingan menuntut balas dan taruhan terbesar hidup Raka sudah menunggunya di tikungan paling gelap. Di antara cinta, bahaya, dan suara mesin yang meraung, Raka harus memilih: mempertahankan hati, atau mempertaruhkan hidup.
Bab : 1 Kuro Si Motor Tua

“Sialan, Raka! Tarik rem gila, atau kau akan berakhir sebagai permen karet di tembok!”

Suara parau Keling, ketua mekanik geng kecil Raka, samari oleh bising knalpot yang memekakkan telinga dan lolongan para penonton, Namun, Raka, yang saat ini memegang kendali motor tua yang bernama Kuro, tidak mendengar. Atau mungkin ia memilih untuk tuli. Ia hanya fokus pada si kuro.

Dunia sekitarnya melambat menjadi bubur, hanya menyisakan getaran ekstrem dari mesin modifikasi 250cc di antara kedua kakinya. Kuro adalah barang rongsokan di mata orang awam, berkarat di beberapa titik, tangki bensinnya penyok bekas tabrakan lama, tetapi Raka tahu, ini adalah rongsokan yang menyelamatkan hidup.

Jalanan gang sempit di jantung Kota Lama, yang disulap menjadi trek balap liar dadakan, berjarak tak lebih dari empat meter dari sisi ke sisi. Di kirinya adalah tembok bata usang yang siap mengikis kulitnya. Di kanannya, motor Vario modifikasi milik Rijal ‘Badak’ pembalap paling mapan di jalur Selatan, sang raja jalanan yang tak pernah tersentuh hingga malam ini melaju persis sejajar, hanya terpisah jarak setengah setang.

Kini, atau tidak sama sekali.

Otak Raka bekerja seperti komputer yang menjalankan hitungan kompleks. Ia menghitung sudut kemiringan, gesekan ban bekas yang ia pasang karena tidak mampu membeli ban baru yang layak, dan perkiraan kecepatan angin yang berdesir cepat menampar helmnya. Angka-angka itu membentuk kesimpulan matematis, mengatakan ia akan menabrak Rijal, lalu tembok, dalam waktu 0.7 detik.

Tetapi Raka tidak peduli dengan semuanya. Ayahnya butuh obat, dan uang taruhan yang dibawa Keling adalah tiket untuk melihat Ayah bertahan hingga akhir minggu.

Raka menurunkan badan, menempel pada tangki motor tua yang terasa dingin menusuk perut, mengambil risiko besar dengan mengurangi jarak pengereman di ujung belokan maut itu. Jantungnya bukan berdebar lagi, jantungnya adalah gong yang ditabuh brutal.

“Aku tahu, aku berbeda,” bisik Raka pada dirinya sendiri, suara yang tersedot habis oleh raungan mesin.

Tepat ketika ban belakang Rijal mulai kehilangan cengkeraman karena ia mengerem terlalu dini sesuai perhitungan Raka, Raka memutar gas hingga mentok, menarik kopling seperti pisau bedah yang memotong tendon, dan melepaskan seluruh tenaga Kuro pada titik nol kritis.

Motor itu melompat. Bukan maju, tetapi menyamping, menyeret seluruh berat Raka, hampir mencium aspal yang terasa hangat. Hanya sepersekian detik, bahu kiri Raka membentur stang Rijal. Benturan yang tidak fatal, tetapi cukup untuk membuat Badak terkejut dan kehilangan momentum, membuat motornya oleng ke kiri dan nyerempet tembok. Badak berteriak, entah sumpah serapah atau peringatan.

Raka melepaskan rem, memaksa motor tua itu tegak kembali. Matanya yang gelap, biasanya memancarkan kecerdasan yang tenang saat memecahkan soal fisika, kini menyala liar oleh adrenalin dan kebutuhan yang putus asa.

Garis akhir adalah tiang listrik tua yang hanya berjarak lima puluh meter. Raka, memimpin tipis dengan setengah panjang motor, berakselerasi dalam garis lurus yang brutal.

Bunyi peluit ditiup nyaring. Lampu flash dari beberapa ponsel menyambar cepat.

Raka telah menang.

Ia menekan rem hingga motornya menjerit kesakitan, berhenti beberapa meter melewati garis finish. Ototnya menegang. Rasa sakit di bahu kirinya baru terasa sekarang. Bukan sekadar rasa sakit, melainkan sebuah denyutan perih yang familier—sisa benturan tadi.

“Raka!” Keling bergegas menghampirinya, wajahnya pucat. “Gila! Kau nyaris mati, Bro! Benar-benar nyaris mati!”

Raka membuka helmnya. Wajahnya dipenuhi peluh, tetapi ekspresinya kembali tenang. Ia tidak terlihat seperti pemuda yang baru saja mempertaruhkan seluruh nyawanya untuk beberapa juta rupiah. Ia terlihat seperti anak SMA biasa yang sedang berpikir tentang PR Fisika kuantum.

“Aku menang,” kata Raka, suaranya serak. Ia turun dari motor, sedikit pincang karena getaran ekstrem telah menggerus sendi-sendinya.

Dari kerumunan di belakang, Rijal ‘Badak’ Badak berjalan menghampiri. Matanya merah dan urat di lehernya menegang. Di belakangnya, dua pria bertubuh besar dengan tato memenuhi lengan ikut maju, langkah mereka terasa berat, jelas bukan orang yang suka menerima kekalahan.

“Itu curang, Raka!” geram Rijal, meludah ke samping.

Raka hanya menatap Badak dengan tatapan kosong. Dingin.

“Balapan bukan tentang siapa yang punya mesin termahal atau ban terbagus, Rijal,” jawab Raka santai, seolah ia sedang mengajar matematika dasar di depan kelas. “Ini tentang momentum, prediksi, dan pengambilan keputusan di titik ekstrim. Kau melambat 0.2 detik terlalu awal di belokan keempat. Aku mengambil 0.2 detik itu untuk melewati mu. Tidak ada kecurangan, hanya kalkulasi yang lebih baik.”

“Jaga bicaramu, bocah ingusan!” Salah satu pengikut Badak, pria bertato naga, mencengkeram bahu Raka. Rasa sakit dari benturan tadi berdenyut hebat. Raka menggeretakkan gigi, tetapi ia tidak bergeming.

Keling cepat bergerak maju, menyingkirkan tangan pria itu.

“Bayar, Jenglot. Kami menang bersih,” potong Keling, menggunakan nama panggilan Badak yang merujuk pada kegemarannya pada ritual keberuntungan.

Seorang bandar di tengah arena, yang memegang tas hitam berisi uang, menimbang situasi. Badak terlihat akan memulai kerusuhan. Tetapi semua tahu, Badak baru saja dikalahkan oleh bocah berusia tujuh belas tahun, mengendarai motor yang usianya dua kali lipat darinya. Harga dirinya sudah jatuh ke lumpur.

“Bayar mereka,” Badak berkata dingin, mengalah. “Tapi dengar, Raka. Balapan ini belum selesai. Jika kau berpikir bisa menjadi raja di sini, kau salah. Ular Hitam tidak akan membiarkan bangkai motor tua ini berkeliaran lama.”

Badak menyebut nama Geng Ular Hitam musuh lama mereka, yang sekarang mulai melirik wilayah ini.

Raka mengabaikan ancaman itu. Matanya terpaku pada tas berisi uang yang diserahkan Keling kepadanya. Setengahnya adalah milik Keling, dan setengahnya adalah miliknya. Uang ini lebih dari cukup untuk satu bulan penuh perawatan Ayahnya.

“Ayo pergi, sekarang,” Raka memberi isyarat kepada Keling. Ia tahu betul, Badak akan mencari kesempatan kedua untuk membalas dendam setelah amarahnya mereda. Di jalanan gelap ini, uang yang sudah didapat harus segera diamankan, begitu juga nyawanya.

Mereka melarikan diri dari gang gelap itu. Keling membawa motornya, dan Raka memacu Kuro dengan kecepatan yang tidak kalah gila dari saat balapan, hanya kali ini bukan untuk kemenangan, tetapi untuk kelangsungan hidup.

*

Raka baru bisa bernapas lega ketika ia melihat pagar kayu rumahnya. Jam menunjukkan pukul 03.30 pagi. Keling pamit, menjanjikan bantuan lagi jika Ayah Raka kembali sakit. Janji-janji di jalanan adalah hal langka, dan Raka bersyukur Keling menepatinya.

Raka masuk ke kamar kecil Ayahnya, menemukan obat penahan nyeri Ayah hampir kosong. Ia memasukkan sebagian uang taruhan ke dalam kotak kayu kecil di laci meja Ayahnya—tempat yang tak akan disentuh siapapun.

Ia menatap Ayahnya yang kurus, tidur di bawah selimut lusuh, bernapas dengan sulit. Kenapa harus kau yang membayar, Ayah? Pikiran l Raka terasa seperti sayatan tajam.

Ayahnya sakit, parah. Perawatan itu menghabiskan semua yang mereka miliki, dan Raka adalah satu-satunya penopang keluarga sejak Ibu mereka meninggal. Motor Kuro ini adalah peninggalan Ayah—sebuah kenang-kenangan dan, ironisnya, sumber pendapatan utama yang membuatnya harus menanggalkan mimpi dan cita-cita, serta identitasnya di sekolah.

Ia benci menjadi ‘Jenius Jalanan.’ Ia benci bau asap knalpot yang melekat di jaket kulit tuanya. Ia benci risiko kematian yang menari di setiap putaran gas. Tetapi, rasa benci itu jauh lebih kecil daripada kebutuhan untuk mendengar Ayahnya bernapas hingga pagi hari berikutnya.

Raka merasa bersalah, tetapi ia juga harus kuat.

Dua hari berlalu. Raka menghabiskan sisa malam itu tidur kurang dari tiga jam, lalu ia kembali ke peran gandanya sebagai Raka, murid cerdas kelas XI IPA 2 yang pendiam, misterius, dan selalu mengenakan jaket yang sedikit kebesaran, untuk menutupi memar di tubuhnya.

Pagi ini, udara di SMA Elang Biru terasa cerah dan renyah. Aroma kopi dan detergen mahal dari seragam para siswa kelas atas bertebaran di koridor, kontras dengan bau oli dan keringat yang masih samar tersembunyi di bawah jaket Raka. Tidak ada yang tahu bahwa dua malam lalu, ia baru saja lolos dari maut dan ancaman preman.

Raka menyelinap ke kamar mandi laki-laki yang kosong di dekat lorong.

Ini adalah saat paling rawan. Ia harus mencuci darah kering yang sedikit merembes dari luka gores di bahunya, bekas serempetan dengan motor Badak.

Ia membuka kancing lengan jaketnya. Goresan itu panjang, kotor, dan sudah sedikit bengkak. Raka membasahi tisu toilet, menekan luka itu kuat-kuat, memejamkan mata menahan perih yang membakar. Air keran yang dingin memercik, membersihkan sisa debu jalanan yang menempel.

Ia menatap bayangannya di cermin. Mata yang lelah. Pipi kiri yang memar tipis. Ini adalah Raka yang tersembunyi, sang pembalap. Sang penjahat. Sang anak yang tak punya pilihan.

Tiba-tiba, suara derit engsel pintu terdengar nyaring. Kamar mandi yang sepi itu tiba-tiba diisi oleh kehadiran lain.

Raka terperanjat, buru-buru ia menutupi tangannya yang terluka dengan lengan jaket, memalingkan wajahnya dari cermin agar tidak terlalu terlihat. Jantungnya mulai berdebar kencang, kali ini bukan karena adrenalin balap, tetapi karena takut

rahasia nya terbongkar

“Halo, Raka.”

Suara itu manis, lembut, dan mematikan langsung dikenali Raka. Itu Amanda. Gadis paling populer di sekolah, kapten tim cheerleader, dan putri dari pemilik rumah sakit yang selama ini menjadi targetnya.

Raka tak bergerak. Ia menunggu. Kenapa Amanda, si gadis yang seharusnya sibuk merias diri di kamar mandi khusus putri, berada di kamar mandi laki-laki yang kotor dan jarang dipakai ini?

Raka membalikkan badan perlahan, berhadapan langsung dengan gadis yang mengenakan seragam rapi dan parfum mewah. Rambut coklat nya tergerai indah, tetapi yang membuat Raka sesak adalah tatapannya. Tatapan tajam ke arah Raka, seakan tahu, apa yang Raka sembunyi kan.

Tatapan yang bukan menuduh, tetapi justru meneliti, ingin tahu

“Kau selalu menjadi bayangan, Raka. Kenapa aku selalu menemukanmu saat kau sedang menyembunyikan sesuatu?” tanya Amanda, melangkah mendekat, matanya terkunci pada wajah Raka, lalu bergerak ke jaketnya yang ia tahan dengan erat di bahu yang terluka.

Raka berjuang menemukan suara. “Aku hanya… mencuci tangan.”

Amanda tertawa pelan. Tawanya terdengar seperti lonceng mahal, tetapi memiliki nada meremehkan.

“Lengan bajumu basah, Raka. Dan kau punya kotoran minyak di dagumu. Kau mencuci tangan atau mencuci dosamu?” Amanda berhenti tepat di depan Raka. Aroma parfumnya membanjiri indra Raka, memabukkan dan mengancam.

Amanda menjulurkan tangan kanannya, dan sebelum Raka sempat bereaksi, jemari Amanda menyentuh memar tipis di pipi kiri Raka. Sentuhannya dingin, lembut, dan mengejutkan.

“Ini memar yang baru,” katanya pelan. “Bukan karena terjatuh dari sepeda, kan?”

Raka menarik diri, mundur satu langkah ke belakang wastafel.

“Kau tidak seharusnya ada di sini, Amanda,” desis Raka, memperingatkan. Ia berusaha memasang topeng Raka yang dingin dan tidak mudah dijangkau.

Amanda justru bersandar santai di dinding porselen dingin di sebelahnya. Wajahnya yang cantik menyiratkan kebosanan yang mendalam, seakaan Raka adalah satu-satunya hal menarik yang ia temukan di hari itu.

“Aku ada dimanapun aku mau. Sama seperti dirimu, Raka.” Amanda tersenyum penuh teka-teki, senyum yang tak bisa diartikan, apakah itu menggoda, atau ia baru saja menangkap mangsanya.

Ia menyipitkan mata, mencondongkan tubuhnya ke depan, hingga wajahnya berjarak sangat dekat dengan Raka. Napas Raka tercekat.

“Katakan padaku,” pinta Amanda, suaranya kini berubah menjadi bisikan yang menghasut.

Amanda menatap matanya, sebuah gerakan yang hampir tidak sopan.

“Apa yang kamu lakukan semalam, Raka?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca