

Hujan gerimis membasahi jendela kelas 3-A saat bel pulang sekolah berbunyi. Mido Averett menatap keluar dengan pandangan kosong, memperhatikan tetesan air yang berlomba menuruni kaca. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes—semuanya mengikuti jalur yang sama, seperti kehidupannya yang dapat diprediksi dengan sempurna.
Bangun pukul enam pagi. Mandi. Sarapan roti tawar dengan selai. Berangkat sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Duduk di bangku paling belakang dekat jendela—posisi klasik protagonis anime, tapi tanpa ada kejadian menarik yang pernah terjadi. Pulang pukul empat. Berhenti di minimarket. Beli bento diskon. Pulang ke apartemen kosong. Makan sambil nonton TV. Tidur.
Begitu terus. Hari demi hari. Minggu demi minggu.
"Yo, Mido!"
Suara ceria memecah lamunannya. Vallen Hector, teman satu-satunya yang masih perduli untuk berbicara dengannya, berjalan menghampiri dengan senyum lebar khasnya. Rambut blonde-nya yang selalu rapi—entah bagaimana caranya—membuatnya terlihat seperti model majalah remaja.
"Masih melamun kayak orang depresi?" Vallen menarik kursi dan duduk terbalik di depan Mido, lengannya bersandar di sandaran kursi. "Serius deh, lu kayak karakter side character yang nunggu ada truck-kun nabrak biar bisa isekai."
Mido memutar bola matanya. "Itu cuma ada di anime, Val."
"Who knows?" Vallen nyengir. "Hidup penuh kemungkinan, bro. Ngomong-ngomong, lu ada rencana sore ini?"
"Pulang. Makan. Tidur. Seperti biasa."
"Boring banget sih hidup lu!" Vallen menepuk meja dengan dramatis. "Makanya gue ajak lu, ayo ikut gue ke perpustakaan lama."
Mido menaikkan alis. "Perpustakaan lama? Yang di gedung barat yang udah ditutup sejak tiga tahun lalu?"
"Yup! Tadi gue denger dari klub literatur, katanya ada koleksi buku langka di sana yang belum dipindahin. Novel-novel limited edition, manga first print, bahkan mungkin light novel yang udah discontinued!" Mata Vallen berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. "Lu tahu kan gue lagi cari volume 7 dari 'Demon Lord Academy' yang udah out of print? Siapa tahu ada di sana!"
Mido menatap sahabatnya dengan skeptis. "Val, itu gedung udah ditutup. Mungkin dikunci."
"Makanya gue butuh lu! Lu kan jago ngeliat celah dan masuk ke tempat-tempat sempit." Vallen mengedipkan mata. "Plus, lebih seru kalau bertualang berdua, kan? Daripada lu pulang sendirian ke apartemen kosong lu lagi."
Kalimat terakhir itu menusuk. Mido menghela napas panjang. Vallen benar—apartemennya memang kosong. Sudah setahun sejak orangtuanya ditransfer kerja ke luar negeri, meninggalkan dia sendirian dengan uang bulanan yang cukup untuk bertahan hidup tapi tidak cukup untuk merasa tidak kesepian.
"Fine," Mido akhirnya berkata, memasukkan buku ke dalam tas. "Tapi kalau kita kena masalah, itu tanggung jawab lu."
"Deal!" Vallen melompat dari kursi dengan antusias. "Trust me, ini bakal jadi petualangan yang lu inget seumur hidup!"
Kalau saja aku tahu seberapa benar pernyataan itu, pikir Mido di masa depan, mengingat momen ini dengan campuran nostalgia dan trauma.
Gedung perpustakaan lama berdiri megah namun suram di ujung kompleks sekolah. Dibangun puluhan tahun lalu dengan arsitektur gothic yang tidak biasa untuk bangunan sekolah modern, gedung tiga lantai itu terlihat seperti set film horor dengan ivy yang merambat di dindingnya dan cat yang mengelupas.
"Creepy banget sih," gumam Mido saat mereka berdiri di depan pintu besar kayu yang tertutup rantai berkarat.
"Itu adalah semangat petualangan, bro!" Vallen sudah memeriksa sekeliling gedung. "Oke, pintu depan terkunci, tapi gue lihat jendela di lantai satu agak terbuka. Lu bisa masuk lewat sana."
"Kenapa harus gue?" protes Mido dengan sengit.
"Karena lu lebih kurus dan lincah. Gue kalau dipaksa masuk lewat jendela sempit, maksud gue, nyangkut." Valen menampilkan wajah memelas, dan dia tahu itu akan berhasil.
Mido mengalihkan pandangannya, menatap jendela yang dimaksud. Memang terbuka sedikit, cukup untuk seseorang seukurannya menyelinap masuk kalau berusaha keras. Dengan helaan napas pasrah, dia menghampiri jendela, mengangkat tubuhnya, dan mulai meremas masuk.
Prosesnya tidak elegan. Sama sekali tidak. Mido harus memutar tubuh, menarik napas, dan hampir tersangkut di bahu jendela sebelum akhirnya jatuh ke lantai dengan bunyi 'bum' yang keras.
"Lu oke?!" teriak Vallen dari luar.
"Ugh... yeah," Mido mengerang, mengusap pantat yang sakit. "Gue buka pintu dari dalam."
Interior perpustakaan lama terlihat seperti kapsul waktu. Debu tebal menutupi setiap permukaan. Rak-rak buku yang tinggi menjulang hingga langit-langit, penuh dengan buku-buku usang. Cahaya sore yang masuk melalui jendela kotor menciptakan pola aneh di lantai kayu yang berderit.
Mido berjalan ke pintu depan, membuka kunci dari dalam, dan Vallen langsung melesat masuk dengan excitement yang berlebihan. Wajahnya dipenuhi dengan kegembiraan.
"JACKPOT!" Vallen langsung berlari ke rak terdekat, matanya scanning judul-judul buku dengan kecepatan tinggi. "Holy shit, ini edisi pertama dari 'Slayers'! Dan ini, oh my god, ini first print 'Record of Lodoss War'!"
Sementara Vallen sibuk dengan koleksi fantasy-nya, Mido berjalan lebih dalam ke perpustakaan. Ada sesuatu yang... aneh. Perasaan di tengkuknya mengatakan dia harus pergi, tapi pada saat bersamaan, ada tarikan misterius yang membuatnya terus melangkah. Dan ia mengikuti tarikan keinginanya itu.
Kakinya membawanya ke lantai dua, menaiki tangga kayu yang berderit pelan. Lantai dua lebih gelap, lebih sepi, lebih... menakutkan. Tapi Mido tetap berjalan, seperti ada magnet yang menariknya.
Di sudut paling belakang perpustakaan, di rak yang hampir tersembunyi di balik kolom batu, matanya tertangkap oleh sesuatu.
Sebuah buku.
Buku itu terlihat sangat tua, cover-nya terbuat dari kulit yang sudah retak, dengan simbol-simbol aneh berwarna merah gelap yang tampak seperti... darah kering? Tidak ada judul, hanya simbol lingkaran kompleks dengan tulisan dalam bahasa yang tidak Mido kenali.
Tangannya terulur, seharusnya dia tidak melakukan ini, setiap instingnya berteriak untuk berhenti, tapi dia tetap mengambil buku itu.
Saat jarinya menyentuh cover, sensasi dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Buku itu terasa... hidup.
Mido membuka halaman pertama. Kertas perkamen usang berisi tulisan dengan tinta hitam pekat. Anehnya, meski tulisannya dalam bahasa asing yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, dia bisa... membacanya. Kata-kata itu seakan langsung menerjemahkan diri mereka di pikirannya.
"Untuk mereka yang mencari kekuatan di luar pemahaman manusia," tulisan itu berbunyi. "Untuk mereka yang berani membayar harga untuk melampaui batasan mortalitas. Bacalah mantra ini dan panggil kami dari kegelapan. Kami akan datang. Kami akan melayani. Tapi ingat, setiap kontrak memiliki harga, dan hutang pada kami dibayar dengan jiwa dan darah."
Seharusnya Mido menutup buku itu. Seharusnya dia menaruhnya kembali dan lari dari perpustakaan ini. Tapi rasa penasaran, kutukan terbesar umat manusia, membuatnya membalik halaman buku tersebut.
...