Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
kepala sekolah dimeja Siswa

kepala sekolah dimeja Siswa

Zirwan | Bersambung
Jumlah kata
27.8K
Popular
100
Subscribe
1
Novel / kepala sekolah dimeja Siswa
kepala sekolah dimeja Siswa

kepala sekolah dimeja Siswa

Zirwan| Bersambung
Jumlah Kata
27.8K
Popular
100
Subscribe
1
Sinopsis
PerkotaanSekolahKayaBela DiriPewaris
lutfi seorang siswa sma yang pintar dan rajin, dia adalah anak dari kepala sekolah yang sekarang dia sekolah, orang tua lutfi mengalami kecelakaan yang tragis hingga meninggal dunia namun posisi kepala sekolah malah diberikan kepada anak nya yang masih sekolah itu, apakah lutfi bisa mengemban amanah orang tuanya sekaligus menjadi murid disekolah yang dia pimpin itu??
Pagi Yang Tertukar Dan Kursi Yang Terlalu Besar

SMA Jaya Abadi. Sebuah nama yang tersemat rapi di dada kemeja putih-abu-abu, menjadi lambang kedisiplinan, prestasi, dan—ironisnya—sebuah tahta tak terjangkau yang dipegang oleh seorang remaja berusia tujuh belas tahun, Lutfi Dirgantara. Bukan tahta formal, melainkan singgasana popularitas yang ia duduki tanpa pernah meminta.​

Setiap pagi, saat matahari mulai menyentuh puncak gedung sekolah, bayangan Lutfi akan melintas di koridor utama. Dia berjalan dengan gagahnya, badannya yang tinggi, proporsional, dengan kacamata bingkai tipis yang hanya menambah aura intelektual pada parasnya yang tegas. Dia tidak pernah terburu-buru, namun tidak pernah terlambat. Tas ranselnya selalu tertata rapi, bahkan simpul dasinya terasa seperti hasil karya yang sempurna.​Lutfi adalah definisi dari murid sempurna, dan ini membuatnya menjadi objek pengamatan yang konstan.​Di balik jendela-jendela kelas X dan XI, dan bahkan dari balik buku-buku tebal di perpustakaan, bisikan-bisikan halus selalu menyertainya.​“Lihat, Lutfi sudah datang.”​“Dia terlihat sangat keren saat membaca buku Kimia.”​“Sayangnya, dia anak Kepala Sekolah. Tidak ada harapan.”​Ya, Lutfi adalah putra tunggal dari Bapak Kepala Sekolah, Dirgantara—seorang tokoh yang karismatik dan disegani, yang telah menjadikan Jaya Abadi salah satu SMA swasta terbaik di kota. Hubungan darah ini memberinya perlakuan khusus yang tidak pernah ia gunakan: kebebasan dari hukuman minor, akses ke ruang staf yang sejuk, dan yang paling utama, jarak sosial yang tak terlihat dari rekan-rekan sebayanya. Mereka mengaguminya, mencintainya, namun selalu ada lapisan kaca yang memisahkan.​Dan Lutfi? Dia sadar akan semua tatapan itu, semua bisikan itu. Dia menyadari kekaguman dari siswi-siswi cantik di kelasnya—wajah-wajah yang penuh pesona dan janji masa muda. Dia melihat surat-surat kecil yang terselip di lokernya. Dia mendengar ajakan-ajakan tak langsung untuk kencan.​Namun, responsnya selalu sama: Acuh.​Bukan karena sombong. Lutfi memiliki fokus yang tunggal: pelajaran, olimpiade, dan memenuhi ekspektasi ayahnya. Emosi remaja, seperti cinta atau drama persahabatan, terasa seperti gangguan yang akan merusak kesempurnaan nya. Baginya, setiap detik harus dialokasikan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, dan hati—jika memang ada di antara buku-buku Fisika dan soal-soal Matematika—sebaiknya tetap diam.

​Pagi itu, hari Selasa yang cerah, tidak ada yang berbeda. Lutfi duduk di mejanya, baris kedua dari depan, dengan tenang menyelesaikan sisa PR Geografi. Di luar, keramaian khas SMA Jaya Abadi berlanjut: suara teriakan, dentingan bel, dan langkah kaki tergesa-gesa.​"Lutfi, kamu sudah selesai?" tanya Elina, ketua kelas, dengan nada yang sedikit terlalu manis. Gadis itu selalu berusaha mendekat, menggunakan alasan sebagai tameng.​Lutfi hanya mengangguk, tanpa mengangkat pandangan dari buku. "Sudah. Kenapa?"​"Tidak, hanya... aku ingin memastikan. Kamu memang selalu yang pertama." Elina tersenyum, senyum yang sayangnya tidak sampai ke mata Lutfi.​"Jika sudah selesai, kumpulkan saja," balas Lutfi singkat. Ia menutup buku Geografinya, mengambil buku Sastra Indonesia, dan mulai membaca puisi Chairil Anwar seolah-olah dunia sekitarnya hanyalah latar bisu untuk kesibukan intelektualnya.​Dalam ketidakpedulian yang elegan itulah, Lutfi menjalani hidupnya: terisolasi dalam kesempurnaan. Ia adalah bintang yang terlalu terang, terlalu jauh, untuk disentuh oleh gravitasi emosi biasa. Ia adalah putra mahkota yang menunggu takhta akademik, sepenuhnya tidak menyadari bahwa takdir telah menyiapkan tahta yang sama sekali berbeda, yang jauh lebih berat dan suram, menunggunya di ujung hari.

​Pukul 14.30. Bel pulang sekolah berbunyi, membebaskan ratusan siswa ke sore yang cerah. Lutfi, seperti biasa, adalah yang terakhir meninggalkan kelas. Ia berjalan menuju tempat parkir, di mana mobil jemputan ayahnya, sebuah sedan hitam, selalu menunggunya.​Saat ia baru saja mencapai gerbang sekolah, teleponnya berdering. Itu bukan dering biasa. Itu adalah nada khusus yang ia atur untuk Bu Ida, Sekretaris pribadi ayahnya, yang hanya akan menelepon jika ada hal yang sangat mendesak.​Lutfi mengangkatnya. Suara Bu Ida, yang biasanya se-kristal dan se-tenang air di kolam ikan Koi milik ayahnya, kini terdengar pecah, hampir panik.​

"Lutfi? Nak Lutfi, kamu di mana?"

​"Saya di depan gerbang, Bu Ida. Ada apa? Ayah belum pulang dari urusan luar kota?" tanya Lutfi, alisnya sedikit mengernyit. Ayahnya pergi sejak subuh ke luar kota untuk pertemuan dengan dinas pendidikan provinsi.​"Nak Lutfi, tolong... tolong ke Rumah Sakit Mitra Sejati sekarang. Segera! Jangan langsung pulang!" Suara Bu Ida tersendat. Ada suara-suara latar yang ramai, mesin, dan bisikan khawatir yang membuat Lutfi merasakan gelombang dingin menjalar di punggungnya.

​"Ada apa, Bu? Siapa yang sakit?" Lutfi berusaha mempertahankan nada datarnya, namun jantungnya mulai berdetak tidak beraturan. Ia tahu ada yang salah. Bu Ida tidak akan pernah melanggar kesopanan dan ketenangan kecuali..

"Ini Bapak, Nak. Ada kecelakaan di tol. Mobilnya... sangat parah. Tolong, jangan sendirian, ajak supir atau siapa pun," isak Bu Ida, dan sambungan terputus.​

Dunia Lutfi, tiba-tiba runtuh menjadi kekacauan acak. Kecelakaan. Tol. Parah. Kata-kata itu berputar dalam kekosongan benaknya.​Ia segera memanggil supirnya, Pak Jono, yang berdiri kebingungan di samping mobil.

"Pak Jono, ganti tujuan. Sekarang ke Rumah Sakit Mitra Sejati. Cepat!"​Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti berjam-jam, meskipun hanya memakan waktu lima belas menit. Di bangku belakang sedan hitam yang biasanya terasa aman dan nyaman, Lutfi merasakan sesak yang belum pernah ia alami. Ia menatap ke luar jendela, melihat kehidupan berjalan normal—orang-orang tertawa, penjual siomay berteriak—dan merasa terputus dari realitas. Bagaimana mungkin dunia tetap berjalan saat kesempurnaan ayahnya, yang ia yakini abadi, terancam?​Setibanya di rumah sakit, suasana di lobi sudah dipenuhi oleh wajah-wajah yang dikenalnya: para guru senior Jaya Abadi, anggota yayasan sekolah, dan beberapa kerabat jauh. Wajah-wajah mereka pucat dan sedih. Ketika Bu Ida melihat Lutfi, ia langsung berlari dan memeluknya, menangis histeris.

​"Nak Lutfi... Ayahmu..."​Bu Ida tidak perlu menyelesaikannya. Ekspresi duka yang dilihat Lutfi—kepala-kepala tertunduk, mata yang sembab, sentuhan simpati yang terasa berat—memberikan jawaban yang paling brutal dan tak terelakkan.​Ayahnya, Kepala Sekolah Dirgantara, telah meninggal dunia.​Lutfi melepaskan diri dari pelukan Bu Ida. Reaksi pertamanya bukan tangisan, bukan teriakan, melainkan penolakan yang dingin.​

"Tidak mungkin. Ayah sehat. Ayah hanya pergi rapat," katanya, suaranya pelan dan tanpa emosi.

sesuatu yang penting seperti kematian tidak mungkin terjadi tanpa peringatan, tanpa rumus, tanpa solusi.​Seorang anggota yayasan, Bapak Haris, mendekat dan meletakkan tangan di bahu Lutfi. "Mobilnya menghantam pembatas jalan. Diduga rem blong. Kecelakaan tunggal, Lutfi. Ini sudah kehendak Tuhan."​Lutfi hanya berdiri tegak, seragam putih-abu-abu masih melekat sempurna di tubuhnya, menatap ke dinding rumah sakit seolah-olah mencari jawaban di sana. Air mata? Tidak ada. Hanya kekosongan yang membekukan. Kesempurnaan hidupnya, karir ayahnya, dan masa depan Lutfi—semua lenyap dalam sekejap karena rem blong di jalan tol.

Pemakaman berjalan khidmat. Ratusan pelayat datang, bersaksi betapa hebatnya Kepala Sekolah Dirgantara. Lutfi melakukan perannya sebagai putra tunggal yang berduka dengan martabat yang tenang, menyambut para pelayat dengan anggukan sopan, namun tetap menjaga jarak emosional. Ia tidak menangis di depan umum.​Dua hari setelah pemakaman, Lutfi dipanggil ke kediaman Bapak Setiawan, Ketua Yayasan Pendidikan Jaya Abadi. Ruangan itu terasa berat, dipenuhi oleh para petinggi yayasan yang biasanya hanya ia lihat di panggung saat perayaan kelulusan.​"Lutfi," Bapak Setiawan memulai, suaranya lembut namun serius. "Kami semua berduka atas kepergian ayahmu. Dia adalah aset tak tergantikan bagi sekolah kita."​Lutfi hanya menunduk sedikit.​"Sekarang, mari kita bicara tentang masa depan Jaya Abadi," lanjut Pak Setiawan. "Ini adalah sekolah besar. Kami tidak bisa membiarkan kursi Kepala Sekolah kosong terlalu lama, apalagi di tengah tahun ajaran. Ada urusan administrasi, dana BOS, dan yang paling penting, moralitas staf dan siswa."​Lutfi mengangkat pandangan. "Tentu, Pak. Yayasan pasti punya kandidat terbaik untuk menggantikan Ayah."​Pak Setiawan menggeleng. "Mengganti ayahmu, apalagi mendadak, tidak mudah. Kami perlu waktu untuk melakukan seleksi ketat. Proses ini bisa memakan waktu enam bulan, bahkan satu tahun." Dia lalu bersandar, menatap Lutfi dengan tatapan penuh pertimbangan.​"Sementara itu, kami membutuhkan seseorang yang dapat kami percayai di sana. Seseorang yang paling memahami cara kerja almarhum ayahmu, yang tahu seluk-beluk sekolah, dan yang yang memiliki darah 'Dirgantara' yang dihormati para staf."​Lutfi merasakan firasat buruk. "Maksud Bapak...?"​"Kami telah mengadakan rapat darurat," kata seorang anggota yayasan wanita, Ibu Ratna. "Lutfi, kamu adalah siswa senior. Kamu pintar, sangat bertanggung jawab, dan kamu telah menghabiskan seluruh hidupmu di lingkungan itu. Kamu tahu setiap guru dan setiap peraturan."​Pak Setiawan mencondongkan tubuh ke depan. "Kami memutuskan untuk menunjukmu sebagai Kepala Sekolah Sementara. Hanya sampai kami menemukan pengganti permanen. Paling lama enam bulan. Kamu akan bertanggung jawab secara administratif, tapi staf senior dan Yayasan akan mendukung semua keputusanmu."​Keheningan memenuhi ruangan. Lutfi merasa seperti baru saja dipukul di ulu hati. Kepalanya Sekolah? Dia? Dia bahkan belum lulus SMA.​"Tapi, Pak Setiawan... Saya masih kelas XII. Saya harus fokus pada ujian akhir, pada SNMPTN..." protes Lutfi, suaranya mulai meninggi.​"Kami tahu, Nak. Itu sebabnya kami menyebut ini 'Sementara'. Kami akan memberimu tutor pribadi untuk pelajaranmu, dan jaminan kelulusan dengan nilai terbaik. Tugas utamamu adalah menjaga stabilitas. Jaga kursi itu tetap hangat. Jaga agar tidak ada yang meremehkan Jaya Abadi di masa transisi ini," Pak Setiawan menjelaskan.​Lutfi melihat ke wajah-wajah para petinggi. Dia melihat ketulusan, tapi juga keegoisan kolektif—mereka hanya ingin solusi tercepat dan termudah, dan dia adalah solusi itu. Ia adalah anak kepala sekolah yang meninggal, putra yang secara simbolis harus melanjutkan warisan.​Beban tanggung jawab yang selama ini hanya ia rasakan dalam mengerjakan soal-soal olimpiade, kini terasa membebani seluruh hidupnya. Ia melihat sehelai kain hitam yang melilit lengan jas ayahnya saat pemakaman. Jas itu kini terasa terlalu besar, namun ia harus memakainya.​Mengabaikan permintaan ini terasa seperti mengkhianati warisan ayahnya, dan Lutfi, si anak sempurna yang menjunjung tinggi loyalitas dan tugas, tidak bisa melakukannya.​Dia menghela napas. Itu adalah keputusan yang menelan seluruh masa mudanya.​"Baiklah, Pak Setiawan," ujar Lutfi, suaranya kembali dingin dan tegas, seperti saat ia menjawab Elina di kelas. "Saya akan mengambil peran ini. Tetapi saya punya dua syarat. Pertama, tidak ada yang boleh mengganggu jadwal belajar saya. Kedua, peran ini harus dirahasiakan dari siswa lain selama mungkin."​Pak Setiawan tersenyum lega. "Disepakati, Lutfi. Kamu adalah Kepala Sekolah termuda yang pernah kami miliki. Selamat datang."​Lalu, sebuah kunci perak disodorkan kepadanya. Kunci kantor Kepala Sekolah. Kantor yang selama ini hanya ia masuki sebagai anak yang mengambil bekal makan siang, kini menjadi kantornya.

​Senin pagi, seminggu setelah pemakaman. Lutfi tidak datang ke sekolah dengan mobil jemputan, melainkan dengan mobil sedan hitam yang sama, kali ini ia duduk di kursi depan, di samping Pak Jono. Ia tidak membawa tas ransel berisi buku pelajaran. Di tangannya, ia memegang map kulit hitam dan kunci perak yang berkilauan.​Ia memasuki gerbang sekolah tidak sebagai siswa, melainkan melalui pintu samping yang langsung menuju tangga ruang guru. Ia mengenakan seragam putih-abu-abu, tetapi entah mengapa, seragam itu terasa seperti kostum yang salah.​Di ruang Kepala Sekolah, ruang yang dulu begitu akrab namun kini terasa asing, Lutfi berdiri di ambang pintu. Ruangan itu besar, beraroma kayu cendana dan kertas lama. Meja kerja besar dari kayu jati hitam, dihiasi foto-foto Ayahnya dan beberapa piala kejuaraan sekolah. Di belakang meja, ada kursi kulit hitam yang terlihat megah.​Bu Ida dan beberapa staf senior yang sudah diinformasikan yayasan menunggunya dengan ekspresi campuran antara simpati, kebingungan, dan sedikit rasa hormat yang baru.​"Selamat datang, Kepala Sekolah Lutfi," sapa Bu Ida, mencoba terdengar resmi.​Lutfi mengangguk. Ia berjalan perlahan ke meja itu. Dia menyentuh permukaan meja jati yang dingin. Meja ini lebih besar dari meja guru mana pun, dan tentu saja, jauh lebih besar dari meja siswa yang biasa ia tempati.​Ia memutar kursi kulit hitam itu dan duduk. Kakinya, yang biasanya terentang nyaman di bawah meja siswa, kini menggantung sedikit di atas lantai marmer ruangan itu. Kursi itu tinggi, besar, dan terasa dingin, seolah-olah ia belum siap menerima bobotnya.​Lutfi adalah Kepala Sekolah termuda di kota, mungkin di negara ini. Dia masih mengenakan seragam siswa, tetapi dia duduk di kursi kekuasaan tertinggi di sekolahnya.​"Bu Ida," panggil Lutfi, suaranya terasa sedikit berbeda saat diucapkan di ruangan ini—lebih bergema, lebih resmi. "Apa agenda pertama hari ini? Saya perlu melihat laporan keuangan minggu lalu, dan saya ingin jadwal evaluasi mingguan untuk semua guru senior segera disiapkan."​Bu Ida terkejut melihat transisi Lutfi yang begitu cepat dari putra yang berduka menjadi sosok yang berkuasa. "Baik, Bapak Kepala Sekolah. Laporan keuangan sudah saya siapkan. Dan... hari ini ada kunjungan dari sponsor utama kita, PT Dirga Persada, untuk membahas beasiswa."​Lutfi menghela napas, matanya menatap ke jendela besar yang menghadap langsung ke lapangan upacara, di mana ia bisa melihat kerumunan siswa lain, termasuk teman-teman sekelasnya. Mereka semua sedang menunggu dimulainya jam pelajaran, tanpa tahu bahwa salah satu dari mereka kini sedang duduk di puncak hirarki.​Dari sudut pandang itu, dunia sekolah terlihat berbeda. Bukan lagi dunia di mana ia harus bersaing untuk mendapat nilai 100, melainkan dunia yang harus ia kelola, ia lindungi, dan ia pimpin.​Lutfi menyentuh dasinya. Dia tidak bisa lagi bersikap acuh. Setiap keputusan yang ia ambil di kursi ini akan memengaruhi ratusan, bahkan ribuan orang.​Saat ia sedang memeriksa tumpukan dokumen yang ditinggalkan ayahnya, pintu diketuk. Seorang guru senior, Bapak Rahmat, masuk dengan wajah cemas.​"Maaf, Kepala Sekolah," kata Pak Rahmat, matanya langsung tertuju pada Lutfi yang mengenakan seragam siswa di kursi ayahnya. "Ada masalah di kelas XII IPA 3. Ada perkelahian kecil..."​Lutfi menutup map-nya. Kekosongan di hatinya masih ada, tetapi tugas telah datang.​Ia berdiri, seragam putih-abu-abunya tampak kontras dengan latar belakang perabot kantor yang gelap dan megah.​"Akan saya tangani," jawab Lutfi. "Panggil dua siswa yang terlibat ke ruang ini. Dan tolong, Pak Rahmat, jangan lagi panggil saya 'Kepala Sekolah'. Cukup Lutfi."​Pak Rahmat ragu-ragu. "Tapi, Lutfi... Anda kan..."​"Di sekolah ini, saya tetap siswa Lutfi. Kecuali ada rapat yayasan, tolong perlakukan saya seperti siswa. Ini rahasia, Pak Rahmat. Untuk menjaga stabilitas," tekan Lutfi. Itu adalah alasan resmi, tetapi Lutfi tahu itu lebih dari itu—ia belum siap untuk melepaskan identitas lamanya, identitas yang tidak membawa beban seberat kursi kulit hitam di belakangnya.​Pak Rahmat mengangguk, masih bingung. Ia keluar.​Lutfi kembali duduk. Ia mengambil pensil dan tanpa sadar mulai mencoret-coret pinggiran dokumen resmi—bukan corat-coret iseng, melainkan sebuah rumus diferensial yang rumit. Itu adalah caranya menenangkan diri, caranya kembali ke zona nyaman akademiknya.​Di meja siswa, ia adalah raja yang tak tersentuh. Di meja kepala sekolah, ia adalah seorang remaja yang terpaksa menjadi raja, mengenakan seragam yang salah, dan memimpin dunia yang seharusnya masih jauh dari jangkauannya.​Babak baru telah dimulai. Kepala Sekolah itu kini duduk di meja siswa—dan sebentar lagi, ia harus berhadapan dengan siswa-siswa lain yang mengaguminya, tanpa mereka tahu bahwa ia kini adalah penguasa mereka yang paling rahasia. Tugas pertamanya: mendamaikan perkelahian, sebelum ia kembali mengerjakan soal limit tak hingga.​Ini adalah perkenalan Lutfi Dirgantara dengan takdirnya yang paling aneh dan mematikan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca