Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Travelling with Stranger

Travelling with Stranger

Kujomonku | Bersambung
Jumlah kata
32.2K
Popular
100
Subscribe
21
Novel / Travelling with Stranger
Travelling with Stranger

Travelling with Stranger

Kujomonku| Bersambung
Jumlah Kata
32.2K
Popular
100
Subscribe
21
Sinopsis
18+FantasiIsekaiMisteriPertualanganTeka-teki
Pernahkah kalian berpikir jika ada dunia yang sama seperti dunia kalian sekarang, tetapi di dimensi lain? Bukan dunia ghoib bukan. Jika ada dunia tersebut, apakah kalian akan menjelajahi isinya? Lalu, Bagaimana cara kita masuk ke dunia tersebut? Ikuti Bayu menjelajah dunia lain. Temukan keajaiban dari sebuah buku lusuh yang dia temukan di tempat yang tidak terduga. . . . – Temukan mutiara di ujung langit, maka gerbang itu akan terbuka —
Chapter 1 : Kios Buku Bekas

Malam sudah larut, suasana di dalam kantor pialang yang ada di pusat kota Solo pun sunyi. Hanya menyisakan satu orang yang jarinya terus menari di atas keyboard komputer di meja kerjanya.

Bayu Arkatama Winarko. Pria 30 tahun yang sedang berjuang meniti karir di perusahaan ini selama 5 tahun belakangan. Sosok yang ulet dan penuh ambisi itu kini sudah memasuki masa jenuhnya. Akan tetapi, ekonomi keluarga yang amburadul, membuatnya mau tidak mau menjalani kehidupan kerjanya ini layaknya air mengalir. Setidaknya, untuk sekedar kebutuhan pribadi dan membeli buku-buku bekas untuk dikoleksi setiap bulannya masih cukup.

Bayu bukanlah anak muda yang doyan nongkrong, clubbing atau pun main otomotif. Bayu dari dulu tidak jauh dari kata, kutu buku. Begitulah, keluarganya dan orang disekitarnya memberinya gelar. Meski begitu, Bayu tidak tersinggung karena memang dia suka menyendiri dan menghabiskan waktu liburnya hanya untuk membaca buku.

"Ah, selesai juga," seru Bayu yang baru saja menyelesaikan laporannya hari ini.

Bayu berharap, apa yang dikerjakan, akan menjadi bonus di gajian berikutnya. Duduk seharian di kantor, membuatnya suntuk dan pegal di bagian tulang panggulnya. Ingin rasanya dia segera pulang untuk beristirahat. Akan tetapi, belum tentu sampai rumah dia akan bisa tenang dalam istirahatnya.

Benar saja, baru memarkirkan motor vespa tua berusia 60 tahun, peninggalan almarhum bapaknya, sang ibu sudah berlari tergopoh-gopoh keluar rumah untuk menghampirinya.

"Mas, kok baru pulang. Kan udah dibilang pulang tuh sebelum magrib. Ini kan malam Jumat Kliwon, kamu harusnya ikut pasembahan di balai desa," omel ibunya yang berdaster bunga-bunga berwarna hijau tua, dengan jilbab instan berwarna emas.

Wajah ibunya yang penuh keriput, terlihat kesal saat menatapnya. Di kampung tempatnya tinggal, masih menjaga tradisi adat istiadat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tradisi yang disebutkan oleh Ibu Lastri– ibunya Bayu tadi adalah tradisi mengirim doa-doa ke leluhur atau orang-orang yang sudah meninggal dunia yang diadakan setiap malam Jumat Kliwon. Biasa setiap rumah diwakilkan oleh para pemuda-pemudi. Di rumah ini hanya ada Bayu yang muda.

Bayu malas sekali ikut-ikutan, karena dia kurang suka keramaian seperti itu. Dia juga tidak merasa sreg dengan tradisi tersebut. Dia memang suka membaca buku, bukan berarti dia percaya dengan hal-hal seperti itu.

Bayu mengalami ibunya terlebih dahulu. Baru setelah itu, dia menjawab omelan ibunya.

"Ibu, Bayu kan lembur terus menjelang tutup tahun. Nanti bonusku gak cair, Ibu gak bisa ikut arisan lho," jawabnya dengan tenang.

Bayu selalu beralasan seperti itu. Dan selama ini cukup mempan untuk membungkam omelan ibunya. Tanpa uang arisan dan uang belanjaan dari Bayu, mana bisa beliau bergaul. Meski sudah tua, Ibu Lastri tidak mau kalah sama yang muda.

"Ya, tapi kan harusnya umur segini, kamu tuh sudah menikah. Kali aja ketemu jodoh di pasembahan. Kayak adekmu tuh, udah punya anak. Ibu pengen liat kamu nikah, dan punya anak sebelum Ibu meninggal," kata Ibu Lastri membujuk anaknya.

Bayu mendesah saat mendengar itu lagi itu lagi yang menjadi alasan ibunya memaksanya 'berbaur'. Sambil menyampirkan jaket kulit ke gantungan belakang pintu, Bayu berkata, "Bagas memang sudah menikah. Tapi, apa-apa masih minta dibantu," jengkelnya.

Bagas Hariadi Winarko, 27 tahun. Suami dan bapak satu anak. Bagas bekerja sebagai supir kantor salah satu bank swasta yang ada di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Gaji Bagas sebenarnya lumayan untuk menghidupi keluarganya. Akan tetapi, kurangnya manajemen finansial, Bagas malah terlilit hutang dan untuk sehari-hari, terkadang minta bantuan Bayu, sang kakak.

"Namanya juga lagi apes. Saudara kena musibah tuh dibantu," balas Ibu Lastri. Lalu melengos begitu saja.

Selalu begitu. Ibunya selalu memaklumi kelakuan adiknya yang doyan sabung ayam sebelumnya. Di kampung mereka, memang masih ada kegiatan itu.

"Dibantu tuh ya semampunya, bukan seterusnya. Kalau nanti aku menikah, uangku ya buat keluargaku. Ibu gak usah protes, kalau aku gak bisa ngasih Ibu. Kan bisa aja aku kena musibah," Bayu mencoba membalikkan keadaan.

Kalau sudah begitu, ibunya tidak lagi bisa mendebatnya. Bayu langsung pamit masuk ke kamarnya. Meninggalkan ibunya yang lalu juga masuk ke kamar beliau sendiri.

Bayu memang tinggal berdua dengan ibunya saja. Bagas dan keluarga kecilnya, tinggal di rumah warisan dari keluarga istrinya.

Begitulah hari-hari yang dilalui oleh Bayu. Jenuh, lelah, dan merasa tidak ada passion di dalamnya. Bekerja lembur hampir setiap hari, selain untuk mendapatkan bonus besar, dia juga menghindari perdebatan dengan sang ibu seperti tadi.

Bayu buru-buru membersihkan badannya. Keringat, debu, dan emosi membuatnya gerah, lengket dan tidak berdaya.

Setelah itu, Bayu memilih merebahkan tubuh jangkungnya di atas kasur busa berukuran 120x200 cm. Rasanya sangat nyaman saat punggung penopang hidupnya bersentuhan dengan lembutnya sprei yang menyelimuti kasurnya.

"Mungkin aku memang harus keluar dari zona nyaman. Begitu juga Ibu dan Bagas. Tidak mungkin aku selamanya jadi sapi perah mereka," gumamnya yang pelan-pelan masuk ke alam mimpi.

***

Beberapa hari kemudian,

Hari Sabtu, kantor tempat Bayu bekerja biasanya hanya setengah hari beroperasi. Hal ini selalu Bayu manfaatkan untuk menyenangkan diri sendiri. Apalagi selepas berdebat dengan ibunya, Bayu menginginkan pelepasan.

Bukan pelepasan aneh-aneh. Hanya ingin melepaskan emosi saja. Akan tetapi, sejak terakhir berdebat beberapa hari lalu itu, ibunya tidak lagi membahas tentang menikah lagi padanya. Mungkin ibunya sudah pasrah.

Biasanya, Bayu akan mampir ke Pasar Gede Solo setelah pulang bekerja. Dia akan mendatangi salah satu kios buku langganannya sejak jaman sekolah.

"Wah, kirain gak bakal mampir, Mas," celetuk Pak Yadi, pemilik kios yang sangat mengenal Bayu sebagai pelanggan loyalnya.

Bayu yang baru datang, terkekeh saja. Pasti dia akan mampir, meski hujan badai menerjang Kota Solo. Kecuali, kalau kios tutup. Ya tidak mungkin Bayu akan mampir.

"Mampir, Pak. Butuh bacaan baru, Pak,"

Pak Yadi tertawa. Beliau menghampiri Bayu dan menepuk bahunya saat sudah berdiri di sebelah pria dengan berkulit sawo matang itu.

"Pas banget, Mas. Ada banyak yang jual buku-buku bekas minggu ini," ucap Pak Yadi yang membuat Bayu senang.

"Wah, memang rejeki saya, Pak,"

"Nih, tak tunjukin, Mas. Belum sempet Bapak pasang di rak,"

Bayu mengikuti Pak Yadi dengan antusias. Beliau mengajak Bayu ke meja kasir Pak Yadi. Bayu pun duduk di kursi bakso berwarna hijau tepat di depan meja kasir.

"Nih, Mas. Ada lima buku-buku fiksi. Kali aja ada yang jadi jodoh Mas Bayu,"

Jodoh? Perkataan Pak Yadi mengingatkan dirinya tentang omongan ibunya. Ah, ini kan tentang buku bukan tentang pendamping hidup.

"Terimakasih, Pak,"

Bayu menarik tumpukan lima buku yang tebal-tebal. Kertasnya sudah mulai menguning. Baunya pun sedikit lapuk. Akan tetapi, disitulah seninya sebuah buku melewati waktu yang terus berlalu.

"Yasudah, dipilih dulu. Bapak mau beresin tumpukan buku yang di depan kios dulu, ya,"

"Iya, Pak."

Bayu satu persatu meneliti setiap buku yang dia pegang. Judul, blurb di belakang sampul, prolog, tidak terlewatkan oleh Bayu. Dari buku pertama paling atas sampai ke nomor empat bawah, memang terlihat menarik. Cerita yang di sinopsiskan mampu menggoda Bayu.

Akan tetapi, saat memegang buku ke lima, buku terakhir, Bayu merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Bulu kuduknya seakan berdiri dan debat jantungnya lebih cepat dari biasanya. Perasaan apakah ini?

Buku setebal harapan orang tua itu bersampul kulit berwarna coklat buluk yang terkoyak di setiap sudutnya. Seakan buku itu menyatakan jika dirinya sudah melewati banyak masa. Sangat tua dan apek.

Bayu mengusap buku itu perlahan. Menghempaskan sisa debu yang masih menempel. Gambar sampul bukunya pun semakin terlihat. Dia pun membaca judul yang tertera di sampul tersebut.

"Bhumi Sauandarya,"

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca