

Jam dua pagi di Jakarta bukan lagi kota yang hidup; melainkan monster raksasa yang tertidur sebentar, menunggu untuk kembali mengganggu kewarasan warganya di pagi hari. Di sudut sempit Mampang, dalam kamar kos berukuran 3x4 yang pengapnya melebihi sauna, Bima Aditya duduk terkulai, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Cahaya biru dari layar itu adalah satu-satunya penerangan, menciptakan bayangan di wajahnya yang kusut, seperti baju yang sudah seminggu tak disetrika.
[RE: Lamaran Pekerjaan - Graphic Designer]
"Terima kasih atas ketertarikan Anda. Namun, dengan berat hati kami sampaikan bahwa posisi tersebut telah terisi. Kami akan menyimpan CV Anda untuk…"
Dengan frustasi, Bima melempar ponselnya ke kasur tipis di sampingnya, suara 'buk' lembutnya terdengar seolah mengungkapkan rasa sakit hati yang mendalam.
"Simpan CV gue buat apa? Bungkus gorengan?" gumamnya dengan nada pahit.
Itu adalah penolakan ke-15 yang dialaminya bulan ini. Sejak agensi tempatnya bekerja tutup tiga bulan lalu—dengan alasan 'efisiensi' pasca-pandemi, katanya—hidup Bima benar-benar merosot. Tabungannya? Sudah lenyap. Tagihannya? Menumpuk seperti daftar dosa. Cicilan motor? Ah, dia sudah lupa kapan terakhir kali berani melewati jalan depan leasing!
Dia bangkit dan merenggangkan punggungnya yang protes dengan suara kretek-kretek. Perutnya keroncongan, suaranya berisik, bersaing dengan dengkuran tetangga sebelah yang seolah tembus dinding triplek.
"Oke, kebutuhan dasar. Mari kita lihat apa yang ada," ujarnya, berusaha membangkitkan semangat. Dia membuka lemari makanan. Kosong. Hanya ada satu bungkus mi instan rasa kari ayam yang sudah remuk separuh, sisa perjuangan minggu lalu.
"Sip. Makan malam para juara," sindirnya pada diri sendiri.
Masalah muncul saat ia menyadari galon airnya kering kerontang. Tanpa air, mi pun tak ada. Hukum yang kejam bagi anak kos. Mau tak mau, dia harus keluar. Warung Madura di ujung gang biasanya buka 24 jam dan sering kali menjadi penyelamat bagi orang-orang yang kurang tidur dan lapar.
Bima menyambut jaket hoodie kumalnya, mengenakan sandal jepit, dan melangkah keluar.
Udara malam Jakarta langsung menyambutnya dengan tamparan yang tak ramah. Ini bukan udara segar, melainkan campuran lembap antara aroma got yang mampet, asap knalpot yang tertinggal, dan bau samar nasi goreng tek-tek yang sudah lewat. Gang menuju jalan raya terasa sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkelap-kelip, seolah ingin mati.
Suasana malam ini terasa aneh. Biasanya, di jam segini masih ada bapak-bapak ronda yang main gaple sambil merokok di poskamling. Tapi malam ini, pos itu kosong, sunyi sepi. Suara bising motor dari jalan raya terdengar jauh, seolah Bima berjalan di dalam akuarium raksasa yang tertutup suara.
"Perasaan gue doang kali ya," bisiknya, berusaha mengusir rasa merinding yang tiba-tiba melintas di tengkuknya.
Dia mempercepat langkahnya. Warung Madura ada di seberang jembatan kecil yang melintasi kali keruh. Saat kakinya menginjak jembatan itu, hembusan angin dingin berhembus, bukan angin malam biasa. Ini adalah dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuat bulu kuduknya berdiri. Tiba-tiba, tercium bau yang sangat spesifik, bau bunga melati yang kuat disertai aroma darah yang samar.
"Oke, ini nggak beres," pikirnya dalam hati. Insting Jakarta-nya menyuruhnya untuk putar balik, berlari ke kamar, mengunci pintu, dan mengabaikan perut lapar. Namun, kakinya terasa terikat pada aspal.
Di ujung jembatan, di bawah pohon asem jawa yang rindang, ada sesuatu yang mencurigakan. Awalnya Bima kira itu kucing; kecil dan bungkuk, mencakar tumpukan sampah di pinggir kali. Tapi kucing tidak punya kulit abu-abu pucat yang seolah bersinar di kegelapan, dan jelas tidak memiliki kepala botak plontos yang terlalu besar untuk tubuhnya.
Makhluk itu berhenti bergerak dan menoleh pelan ke arahnya. Jantung Bima serasa terhenti sejenak. Mata makhluk itu merah menyala, kontras dengan wajahnya yang keriput seperti wajah bayi tua. Senyumnya lebar, memperlihatkan gigi tajam yang tak wajar. Itu Tuyul, tapi bukan Tuyul lucu yang sering dia lihat di sinetron. Ini versi mimpi buruknya—liar, lapar, dan tentu saja bukan aktor cilik yang dibedakin.
"Anjir…" kata itu keluar begitu saja dari mulut Bima.
Makhluk itu mendesis. Suaranya mirip suara kucing yang terjepit pintu, tetapi lebih parau.
Bima mundur selangkah. Sayangnya, dia menginjak kaleng bekas minuman. KLANG! Bunyi itu seperti sirene awal pertandingan. Tuyul itu melompat. Bukan berlari, tetapi melompat dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk makhluk sekecil itu. Dalam sekejap, ia sudah melompat ke arah wajah Bima.
"WAAAA!"
Bima refleks menangkis menggunakan tangannya. Dia merasakan kulit dingin dan licin menabrak lengannya, rasanya seperti memegang ikan lele raksasa baru keluar dari kulkas.
Gigitan tajam terasa di lengan bawahnya.
"ARGH! LEPAS, BANGSAT!"
Dia panik. Mengibas-ngibaskan tangannya, mencoba melepas makhluk kecil itu, yang ternyata lebih kuat dari yang dibayangkannya. Tuyul itu mencengkeram jaketnya, giginya menancap di daging. Rasanya bukan hanya sakit fisik, tetapi juga ada sensasi aneh—seolah tenaganya disedot keluar lewat luka itu. Dia merasa lemas dan mengantuk.
Dia terombang-ambing, jatuh terduduk di aspal kasar jembatan. Kepalanya berdenyut. Pandangannya mulai berkunang-kunang.
'Gila. Gue bakal mati konyol di sini? Digigit Tuyul di Mampang? Apa yang akan ditulis di koran tentang itu?!'
Di tengah kepanikan yang melanda dan kesadaran yang mulai menguap, Bima merasakan ledakan amarah. Marah karena di-PHK. Marah karena tidak punya uang. Marah karena hidupnya terasa tidak adil. Dan kini, marah karena makhluk kerdil ini berani menjadikannya camilan tengah malam!
"PERGI... DARI GUE!"
Dengan sisa tenaga yang ada, didorong oleh adrenalin, Bima meninju kepala makhluk itu sekuat tenaga.
BUGH!
Pukulannya telak. Tuyul itu terhempas, menjerit kaget dan terguling di aspal. Bima terengah-engah, memegangi lengannya yang berdarah. Darahnya aneh… berwarna merah gelap, hampir hitam, dan berasap tipis.
Tuyul itu bangkit lagi, terlihat lebih marah. Ia bersiap untuk melompat menyerang lagi. Bima tahu dia tidak akan selamat kali ini. Tenaganya sudah habis.
Saat itu, dunia seolah berhenti berputar.
Sebuah suara—bukan dari telinganya, tetapi langsung bergema dalam kepalanya—terdengar. Suara itu tenang dan dalam, membawa nuansa kuno, seolah gema dari masa lalu yang jauh.
[Energi spiritual terdeteksi. Potensi inang memenuhi syarat minimal.]
[Kondisi darurat. Memulai inisiasi paksa...]
Di depan matanya, sebuah kotak transparan berwarna biru muda muncul, memancarkan tulisan bercahaya, seperti tampilan game RPG yang sering dia mainkan saat bosan.
[SELAMAT DATANG, CALON PENJAGA.]
[Sistem Penjaga Nusantara (SPN) Versi 1.0 telah diaktifkan.]
[Mendeteksi ancaman: Entitas Tingkat Rendah (Tuyul Liar).]
[Misi Darurat: Bertahan Hidup.]
[Hadiah: Hak Akses Penuh Sistem.]
[Apakah Anda menerima takdir ini?]
[YA] / [TIDAK]
Bima melongo. Dia pikir dia sudah gila karena kehilangan banyak darah. Halusinasi jenis apa ini? Tuyul itu sudah melompat lagi, cakar-cakarnya bersiap mengarah ke leher Bima.
Waktu terasa melambat. Bima melihat kuku-kuku kotor makhluk itu semakin dekat. Dia tak punya pilihan lain. Gila atau tidak, dia ingin hidup!
"YA! GUE TERIMA, SIALAN!" teriaknya.
DING! Suara lonceng kecil yang jernih terdengar. Panel biru itu meledak menjadi partikel cahaya yang langsung menyerap ke dalam tubuh Bima.
Rasa hangat yang luar biasa menjalar dari dadanya ke seluruh tubuhnya, mengusir dingin dan lemas yang tadi terasa. Luka di lengannya berhenti berdenyut. Matanya mendadak bisa melihat dengan jelas—terlalu jelas.
Dia bisa melihat aliran energi aneh sekeliling tubuh Tuyul itu. Garis-garis merah yang berdenyut di bagian perut makhluk itu. Titik lemahnya.
[Bantuan Pemula Diaktifkan: Pukulan Tenaga Dalam (Sementara)]
Tanpa sadar, tubuhnya bergerak sendiri. Dia mengepalkan tangan kanannya. Hawa panas berkumpul di kepalannya, berpendar samar berwarna oranye. Saat Tuyul itu hampir sampai, Bima menghantamkan tinjunya lurus ke depan.
"MAKAN NIH!"
BLARR!
Bukan bunyi pukulan biasa. Itu seperti ledakan petasan. Tuyul itu tidak hanya terpental; ia terhempas ke belakang seolah ditabrak truk, menghantam pagar jembatan, dan… poof! Makhluk itu lenyap menjadi asap hitam yang berbau belerang, lalu hilang tertiup angin.
Hening.
Bima masih dalam posisi meninju, napasnya memburu. Dia menatap tangan sendiri yang masih berasap tipis.
"Apa… barusan itu apa?"
Di depannya, panel biru transparan itu muncul lagi, tenang seperti tidak ada yang terjadi.
[Misi Darurat Selesai.]
[Selamat datang, Penjaga Bima Aditya. Perjalanan Anda menjaga keseimbangan Nusantara dimulai sekarang.]
[Saldo Daya Roh Awal: 10 Poin.]
Bima menatap panel itu, lalu menatap langit Jakarta yang gelap dan penuh polusi. Dia tertawa pelan, sedikit histeris.
"Gue cuma mau beli mi instan, woy..."