

Sudah lebih dari seminggu sejak aku mengundurkan diri dari kantor. Tidak ada hal dramatis waktu itu. Aku menyerahkan surat pengunduran diri, berbicara sebentar dengan atasan, lalu keluar dari ruangan seperti biasa. Selesai.
Tujuh tahun bekerja di kota membuatku terbiasa dengan rutinitas. Datang pagi, pulang petang, duduk di depan layar, rapat tanpa arah, lembur tanpa hasil. Semuanya berjalan lurus tanpa makna. Lama-lama aku sadar kalau aku cuma berjalan karena takut berhenti, bukan karena masih punya tujuan.
Di kamar kos, malam sebelum pulang, aku menatap langit kota dari jendela lantai dua. Lampu-lampu kendaraan menyala seperti barisan semut berkilau. Dulu aku suka pemandangan itu. Sekarang rasanya hambar. Aku mencoba membayangkan bagaimana rasanya menghirup udara desa lagi—bau tanah, suara jangkrik, jalan berdebu. Entah kenapa, semua itu tiba-tiba terasa lebih menenangkan daripada kehidupan yang katanya “mapan”.
Aku tidak punya alasan lain untuk tinggal. Ayah dan ibu sudah lama meninggal. Ayah, Topan Sucipto, meninggal saat aku masih kuliah karena sakit paru-paru. Ibu, Nurbaiti, meninggal tiga tahun setelahnya karena komplikasi. Adikku, Fitri Nurmala, kerja di Semarang dan jarang pulang. Rumah di desa kosong. Kadang tetangga membersihkan, tapi tidak ada yang benar-benar menempatinya.
Mungkin aku cuma ingin diam sebentar, di tempat yang dulu pernah membuatku merasa hidup.
---
Aku berangkat pagi-pagi dengan motor bebek tua. Jaket jeans dan tas kecil berisi baju cukup dua hari. Udara pagi kota masih dingin, tapi pikiranku tenang. Semakin jauh dari gedung-gedung, rasanya semakin ringan.
Menjelang siang, jalanan mulai berganti. Aspal halus berubah jadi batu kerikil, lalu tanah padat. Pohon jati berdiri di kanan kiri. Angin yang lewat membawa aroma daun dan kayu basah. Aku pelan-pelan menurunkan kecepatan, menikmati setiap belokan yang seolah masih aku kenal.
Di tikungan menuju batas desa, ada warung kecil di pinggir jalan. Aku berhenti, membeli air mineral dan duduk sebentar di bangku bambu depan warung. Seorang bapak paruh baya menatapku sambil tersenyum ramah.
“Dari mana, Mas?” tanyanya.
“Dari kota, Pak. Mau pulang ke Sukamaju.”
“Wah, desa situ ya? Dulu saya sering antar galon ke sana. Jalannya sekarang udah agak mendingan, tapi masih tanah.”
Aku tertawa kecil. “Dari dulu kayaknya nggak pernah bener-bener berubah, ya.”
Bapak itu ikut tertawa. “Iya, yang berubah cuma orangnya.”
Aku pamit dan melanjutkan perjalanan. Tak lama, plang kayu bertuliskan “Dusun Sukamaju” muncul di depan. Catnya sudah pudar, tapi masih bisa terbaca. Aku memperlambat motor. Jalan menurun di depanku masih sama seperti dulu—tanah merah, sedikit licin di beberapa titik. Di kanan ada sawah luas, di kiri deretan rumah dengan pagar bambu.
Beberapa anak kecil bermain bola di tepi jalan. Bola plastiknya hampir kena motorku. Salah satu dari mereka berteriak, “Maaf, Om!”
Aku tertawa, melambaikan tangan. “Nggak apa-apa, hati-hati ya!”
Mereka kembali bermain, tertawa lepas. Dulu aku juga begitu, main bola di jalan sampai baju penuh debu dan dimarahi ibu karena nggak mandi.
Beberapa meter lagi, aku melihat seorang ibu sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Aku hampir lewat, tapi ibu itu menatapku lama, lalu tersenyum.
“Lho... ini Zaki, to?”
Aku berhenti, menurunkan masker. “Iya, Bu. Masih ingat, ya?”
“Masih, Nak! Ya Allah, udah lama banget kamu nggak keliatan. Ibukmu dulu sering cerita tentang kamu.”
Aku menelan ludah pelan. “Iya, Bu... Saya baru sempat pulang sekarang.”
“Ya sudah, nanti mampir, ya. Rumahnya masih yang di ujung situ kan?”
Aku mengangguk. “Iya, Bu. Makasih.”
Ibu itu tersenyum lagi, lalu kembali ke jemuran. Aku menyalakan motor pelan, melanjutkan perjalanan sambil menahan sesuatu di dada yang tiba-tiba terasa berat.
Di jembatan kecil dekat sungai, aku berhenti sebentar. Jembatan itu dulu dari kayu, sekarang sudah disemen tapi masih sempit. Di bawahnya, air jernih mengalir pelan. Ada anak-anak mandi di sana, memercikkan air sambil tertawa. Aku tersenyum kecil, mengingat betapa sering aku dulu ikut main di tempat itu. Pohon waru di tepi sungai masih berdiri, hanya batangnya kini jauh lebih besar.
Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh. Seorang pria berumur empat puluhan menatapku, lalu matanya membesar.
“Eh... ini Zaki, ya?”
Aku menatapnya sebentar, mencoba mengingat. Wajahnya agak asing.
“Aku, Mas. Tapi maaf, saya kayaknya lupa...”
“Wajar. Aku Darto. Dulu kita sering main bola di lapangan dekat sekolah. Aku kelas enam, kamu masih kelas empat.”
Aku langsung teringat. “Wah, iya! Mas Darto! Sekarang tinggal di sini juga?”
“Iya, kerja di bengkel kecil dekat balai desa. Lho, kamu sekarang di mana?”
“Baru resign dari kerjaan di kota. Pingin pulang aja dulu, istirahat.”
“Bagus, Ki. Kadang pulang itu bukan berarti mundur.”
Aku hanya tersenyum. Kalimatnya sederhana, tapi dalam sekali kedengarannya. Kami sempat ngobrol sebentar sebelum aku pamit lagi.
Menjelang sore, aku akhirnya sampai di rumah. Halamannya masih luas tapi rumput sudah tinggi. Pohon jambu yang kutanam bersama ayah waktu SD masih berdiri di depan. Daunnya rimbun, beberapa buahnya sudah kemerahan. Aku parkir motor di bawahnya, lalu memandangi rumah kayu itu lama.
Pintu depan masih bisa dibuka dengan kunci lama. Begitu kubuka, bau debu langsung tercium. Aku masuk pelan. Meja, lemari, kursi rotan—semuanya masih di tempat yang sama. Di dinding, foto keluarga masih tergantung. Wajah ayah dan ibu menatap dari balik bingkai.
Aku mendekat, membersihkan sedikit debu di permukaan kaca.
“Halo, Yah, Bu... aku pulang,” ucapku pelan.
Tidak ada jawaban tentu saja, tapi anehnya aku merasa lebih tenang.
Dari luar, terdengar suara orang memanggil. “Zaki?”
Aku menoleh ke pintu. Bu Rini, tetangga depan rumah, berdiri sambil membawa ember berisi daun singkong.
“Bu Rini! Sehat, Bu?”
“Alhamdulillah. Kamu ini lama banget nggak keliatan. Ibukmu pasti seneng kamu balik.”
Aku tersenyum. “Iya, Bu. Saya kangen rumah.”
“Rumahmu masih bagus. Kadang saya yang bersihin depan sini, sayang kalau kotor.”
“Wah, makasih banyak, Bu. Saya nggak nyangka masih diperhatiin.”
“Ya gimana, kamu kan dulu sering main di sini. Ya udah, nanti malam makan di rumah, ya. Saya masak sayur asem.”
Aku tertawa kecil. “Boleh, Bu. Nanti saya mampir.”
Bu Rini berlalu sambil tersenyum. Aku menutup pintu lagi dan menatap sekeliling. Rumah ini sederhana, tapi hangat.
Aku ke kamar lamaku. Rak buku masih ada, beberapa novel tua masih tersusun. Di meja belajar, ada pensil dan penggaris berdebu. Aku mengambil satu, memutar di tangan. Entah kenapa benda sekecil itu bisa membawa kembali begitu banyak kenangan.
Aku duduk di ranjang lama. Suara ayam dan anak-anak dari luar terdengar samar. Di kejauhan, suara adzan asar mulai berkumandang. Udara sore masuk lewat jendela, membawa aroma tanah dan daun kering.
Aku keluar lagi ke teras. Dari situ aku bisa melihat jalan desa yang mengarah ke jembatan tadi. Beberapa orang lewat, sebagian menoleh sekilas lalu melambaikan tangan.
“Zaki ya?” teriak seorang bapak yang lewat dengan sepeda.
“Iya, Pak!”
“Wah, udah lama banget, to! Sekarang balik kampung?”
“Iya, Pak. Pingin di sini dulu.”
“Bagus. Sekarang di kota tuh sumpek!” katanya sambil tertawa. Aku ikut tertawa kecil.
Aku menyeduh kopi sachet di dapur, lalu duduk di teras lagi. Menikmati sore yang pelan, sederhana, tapi rasanya nyata. Dari sini aku bisa melihat atap sekolah dasar di kejauhan, di balik pohon besar. Sekolah itu masih berdiri. Di sanalah semuanya dulu dimulai, masa kecil, teman-teman, dan satu nama yang sampai sekarang masih tersimpan di sudut ingatan.
Aku menarik napas panjang.
“Mungkin besok aku ke sana,” gumamku.
Matahari turun perlahan. Suara burung mulai hilang, digantikan jangkrik dan katak dari sawah belakang rumah. Aku diam lama, menatap langit yang memerah di ujung barat.
Di kota, sore selalu lewat begitu saja. Di sini, waktu terasa lebih sabar.
Aku menyalakan lampu minyak di ruang tengah. Cahaya kuningnya memantul di dinding kayu. Di meja kecil, masih tergantung kalender lama bertahun 2007. Tahun saat ibu meninggal. Aku berdiri, menurunkannya dari paku, lalu menaruh di meja.
Entah dorongan dari mana, aku mengambil buku catatan tua dari lemari. Sampulnya rusak, tapi masih bisa ditulis. Di halaman pertama, aku menulis tanggal hari ini dan satu kalimat sederhana:
“Hari ini aku pulang. Mungkin ini awal dari sesuatu yang belum selesai.”
Aku menutup buku itu. Di luar, suara jangkrik makin keras. Aku tersenyum kecil, lalu merebahkan tubuh di ranjang. Kasurnya tipis dan agak berdebu, tapi entah kenapa aku merasa nyaman.
Sebelum mataku tertutup, pikiranku masih memutar wajah-wajah masa lalu, teman-teman sekolah, guru yang galak tapi baik, dan seorang anak perempuan yang dulu selalu duduk di depan kelas, dengan pita putih di rambutnya.
Aku belum tahu kenapa ingatan itu muncul malam ini, tapi aku tahu satu hal:
Besok aku akan ke sekolah itu.
Mungkin di sana, aku bisa menemukan kembali bagian dari diriku yang tertinggal.