Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Frekuensi Yang Hilang

Frekuensi Yang Hilang

apriliaqueencaca | Bersambung
Jumlah kata
58.2K
Popular
100
Subscribe
9
Novel / Frekuensi Yang Hilang
Frekuensi Yang Hilang

Frekuensi Yang Hilang

apriliaqueencaca| Bersambung
Jumlah Kata
58.2K
Popular
100
Subscribe
9
Sinopsis
PerkotaanSekolahCinta SekolahDunia Masa DepanSi Genius
Jari-jari Bima sudah kapalan, bukan karena pulpen dan rumus fisika, tapi karena menekan senar gitar yang kini dipaksa bisu. Di bawah ekspektasi ayahnya yang kaku, Bima adalah calon insinyur teladan di siang hari, dan musisi yang kehilangan nada di malam hari. Hidupnya adalah denting jam dinding yang monoton, dipenuhi tuntutan untuk menjadi orang lain. ​Hingga suatu sore yang basah, dia berbagi payung dengan Aluna. ​Gadis aneh yang lebih suka menatap hujan daripada berlindung. Gadis tenang yang melihat Bima—bukan sebagai anak emas, tapi sebagai pemilik sketsa jembatan runtuh di buku catatannya. Aluna adalah satu-satunya yang mengerti bahwa sesuatu yang dianggap "bukan apa-apa" terkadang berarti "segalanya". ​Pertemuan itu memutar kembali frekuensi yang lama hilang dalam diri Bima. Namun, di persimpangan antara mimpi ayahnya dan melodi hatinya, keberanian Bima diuji. Akankah dia selamanya menjadi gema dari keinginan orang lain, atau akankah dia akhirnya menemukan keberanian untuk memainkan lagunya sendiri?
Bab 1: Denting Jam dan Gitar Bisu

Denting jam dinding di kamar Bima terasa lebih menusuk malam itu, seolah setiap detiknya memanjangkan bayangan ketidaknyamanan yang menggelayuti seluruh ruangan. Pukul sepuluh malam. Seharusnya, Bima sudah tenggelam dalam lautan rumus fisika, mengejar ketertinggalan materi yang menurut Ayah sangat krusial. Namun, pandangannya justru terpaku pada sehelai bulu angsa yang entah dari mana mendarat di ambang jendela, bergetar pelan setiap kali angin malam menyentuh kaca. Bulu itu tampak begitu ringan, begitu bebas, kontras dengan beban yang menindih bahu Bima.

Di atas meja belajarnya, buku paket Fisika terbuka di bab Termodinamika. Grafik dan persamaan rumit menari-nari di halaman, tapi tak satupun yang mampu menembus benak Bima. Otaknya menolak bekerja sama. Ia merindukan alunan melodi, bukan logika yang dingin dan kaku. Jemari kanannya mengetuk-ngetuk meja secara ritmis, menciptakan ketukan yang hanya ia pahami, sebuah irama tanpa suara yang selalu berputar di kepalanya. Kapalan di ujung jari kirinya terasa tebal, sisa dari hari-hari yang ia habiskan memetik senar gitar, hari-hari yang kini terasa seperti mimpi yang sangat jauh.

Ia melirik ke sudut ruangan. Di sana, bersandar pada dinding, berdiri gitar akustik kesayangannya. Warnanya cokelat pudar, dengan goresan-goresan halus yang menceritakan petualangan-petualangan kecil yang pernah mereka lalui bersama. Senar-senarnya tampak kusam, tak dipetik selama berminggu-minggu, mungkin bahkan berbulan-bulan. Gitar itu adalah hadiah dari pamannya, hadiah yang tak pernah benar-benar disetujui Ayah. "Mainan," begitu Ayah menyebutnya, "yang membuang-buang waktu dan mengganggu fokus belajar." Bima ingat bagaimana ia pernah menghabiskan berjam-jam mencoba menciptakan melodi yang bisa menggambarkan perasaan hatinya, melodi yang tak pernah Ayah dengar. Malam ini, melodi itu terasa seperti rahasia yang terperangkap dalam dadanya, berjuang untuk dilepaskan.

Pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan, menimbulkan derit pelan yang mengagetkan Bima. Ia cepat-cepat menyingkirkan buku catatan kecilnya yang penuh sketsa akord dan lirik. Ayah berdiri di ambang pintu, siluetnya yang tinggi dan tegap memenuhi kusen. Pria itu tak perlu mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan matanya yang tajam sudah cukup. Tatapan itu beralih dari buku Fisika yang masih bersih, ke arah gitar di sudut, lalu berakhir pada wajah Bima. Ada kekecewaan yang tersirat di sana, kekecewaan yang sudah terlalu akrab bagi Bima.

"Sudah sampai bab berapa?" Suara Ayah berat, penuh dengan nada pertanyaan yang menuntut jawaban, bukan sekadar basa-basi.

Bima menunduk. "Termodinamika, Yah." Ia berusaha agar suaranya terdengar meyakinkan, padahal ia tahu Ayah pasti bisa melihat kebohongannya.

Ayah mengangguk, gerakan kepala yang singkat dan penuh pertimbangan. "Jangan main-main lagi, Bim. Ujian masuk tinggal tiga bulan. Tetanggamu, si Dani, sudah diterima di Singapura." Ada jeda singkat, jeda yang terasa seperti penekanan untuk sebuah ancaman tak terucap. "Kamu tahu betapa pentingnya ini, kan?"

Bima hanya bisa mengangguk pasrah. "Iya, Yah." Kata "iya" itu terasa hambar di lidahnya, seperti janji yang sudah ia langgar bahkan sebelum diucapkan sepenuhnya.

Ayah memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. Ia menutup pintu kamar Bima perlahan, menciptakan suara 'klik' yang mematikan suasana. Langkah kaki Ayah menjauh di koridor, suara sepatu pantofelnya menghilang ditelan kesunyian rumah. Bima merasa seolah seluruh oksigen di kamarnya tersedot habis. Keheningan itu kini terasa lebih berat dari sebelumnya, lebih menekan, lebih mencekik. Ia membenci dentingan jam, membenci dengungan lampu belajar, dan sangat membenci bau kertas buku Fisika yang seolah mengejek impiannya. Ia kembali menatap gitar di sudut, dan malam ini, gitar itu terasa lebih jauh, lebih tak terjangkau, seperti benda asing yang tak seharusnya ada di sana.

Keesokan harinya di sekolah adalah repetisi yang membosankan. Koridor dipenuhi hiruk pikuk suara tawa yang dipaksakan, obrolan tentang selebriti media sosial, dan gosip-gosip receh yang tak pernah sampai ke telinga Bima. Kantin adalah pusat keramaian itu, sebuah arena di mana semua orang berusaha tampil paling menonjol. Bima, seperti biasa, mencari perlindungan di pojok kantin, berbagi meja dengan Reza, teman sebangkunya yang selalu ceria.

Reza sedang asyik memamerkan sepatu barunya, berbicara cepat tentang bagaimana ia mengantre daring selama berjam-jam untuk mendapatkan edisi terbatas itu. "Gila, kan? Desainnya keren banget, Bim! Lo harus beli, ini wajib punya!" Reza mengayun-ayunkan kakinya, menunjukkan detail sepatu dengan antusias.

Bima hanya tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Dompet gue nggak sekuat itu, Za. Lagian, kayaknya nggak cocok sama gaya gue."

"Ah, elo mah! Minta bokap lo, lah. Lo kan anak emas!" Reza meninju pelan lengan Bima, tak menyadari betapa kata-kata itu menusuk hati Bima. Anak emas. Jika saja Reza tahu bagaimana rasanya menjadi "anak emas", terikat pada rantai ekspektasi yang tak bisa dilepaskan. Ia lebih merasa seperti pion yang sedang diatur di papan catur, tak punya kehendak sendiri.

Bima merasakan sesuatu yang pahit di tenggorokannya. "Gue ke perpustakaan dulu, Za. Ada tugas yang belum kelar," Bima bangkit, meninggalkan Reza yang tampak bingung dan sedikit kecewa.

Perpustakaan. Itu adalah bentengnya. Tempat di mana ia bisa bernapas lega dari semua hiruk pikuk dan tuntutan. Perpustakaan sekolah adalah oase kesunyian, dengan aroma buku tua dan debu yang menenangkan. Bima mengambil tempat paling belakang, di sudut yang tersembunyi, di antara rak-rak buku sejarah yang jarang disentuh. Ia pura-pura membuka buku paket sejarah, halaman-halaman yang penuh dengan foto candi-candi kuno. Tapi di balik sampul buku itu, ia mengeluarkan buku catatan kecilnya. Halaman-halaman yang seharusnya berisi catatan pelajaran, malah penuh dengan sketsa tangan, diagram akord, dan baris-baris lirik yang belum selesai.

Ia mulai menulis, mencoba menuangkan perasaan tertekannya semalam. Dinding kamar ini lebih tinggi dari langit. Ia berhenti. Klise. Ia mencoretnya kasar. Otaknya terasa kosong, tak ada inspirasi yang muncul. Sejak kapan ia kesulitan menulis? Dulu, lirik-lirik mengalir begitu saja, seolah pena itu memiliki kehidupannya sendiri.

Saat itulah ia pertama kali memperhatikannya.

Ia tidak tahu siapa nama gadis itu. Mungkin anak kelas sebelah, atau bahkan adik kelas. Ia duduk sendirian di dekat jendela besar, tempat favorit anak-anak populer untuk berfoto dengan latar belakang pepohonan di luar. Tapi gadis ini tidak sedang berfoto. Ia sedang membaca. Sebuah buku yang tebalnya tidak wajar untuk ukuran bacaan anak SMA. Sampulnya polos, berwarna biru gelap, tanpa ilustrasi menarik.

Bima memperhatikannya dari balik buku sejarahnya. Gadis itu tampak tidak terusik oleh apa pun. Ketika segerombolan siswi lewat sambil tertawa keras, ia bahkan tidak mengangkat kepalanya. Matanya tetap fokus pada setiap baris tulisan. Ia membalik halaman dengan sangat perlahan, seolah setiap kata di dalamnya adalah harta karun yang tak ternilai. Ada sesuatu yang tenang dalam caranya duduk, cara cahaya matahari sore menerpa rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai. Ia tampak seperti siluet yang terukir sempurna dalam bingkai jendela, terpisah dari hiruk pikuk dunia luar.

Bima tidak sadar dia menatap terlalu lama, terlalu dalam, sampai gadis itu, seolah merasakan ada yang mengawasinya, mengangkat wajah. Mata mereka bertemu. Hanya sedetik. Jantung Bima berdebar kencang. Ia terkejut. Mata itu tidak seperti mata gadis lain yang pernah dilihatnya. Tidak genit, tidak menghakimi, tidak penasaran berlebihan. Hanya... menatap balik. Tenang dan dalam. Bima buru-buru menundukkan kepala, wajahnya terasa panas. Ia kembali menatap buku sejarahnya, tapi sekarang gambar candi Borobudur tampak kabur, digantikan oleh bayangan mata tenang itu.

Selama sisa hari itu, Bima tidak bisa berkonsentrasi. Sosok gadis di perpustakaan itu terus muncul di benaknya. Ia tidak cantik seperti Rania, sang primadona sekolah. Ia biasa saja, malah cenderung sederhana. Tapi ketenangannya terasa ganjil, aneh, dan sekaligus memikat di lingkungan sekolah yang serba heboh ini. Ada sesuatu yang tak terucap, sebuah rahasia yang seolah tersimpan di balik mata tenang itu.

Bel pulang berbunyi, memecah kesunyian sore. Seperti biasa, Bima tidak terburu-buru. Ia membiarkan koridor sepi dulu. Ia tidak suka berdesakan atau mendengarkan obrolan tak penting. Saat ia akhirnya berjalan menuju gerbang, langit yang tadinya cerah sudah menggelap. Awan kelabu menggantung rendah, dan udara terasa dingin. Dan hujan turun. Bukan gerimis, tapi hujan deras khas kota mereka yang datang tiba-tiba, seolah menumpahkan seluruh kesedihan langit.

Semua orang berlarian panik mencari tempat berteduh. Teriakan dan suara langkah kaki bersahutan. Bima membuka tasnya. Payung lipat biru tua selalu tersedia di sana, ritual kecil yang ditanamkan ibunya sejak ia kecil. "Tidak ada alasan untuk basah dan sakit," begitu kata ibunya. Ia membuka payung itu, suara 'kresek' dari kain nilonnya samar-samar terdengar di antara gemuruh hujan, dan mulai berjalan menembus derasnya air.

Di pos satpam, di pinggir gerbang sekolah, ia melihat gadis perpustakaan itu. Berdiri sendirian di tepi, membiarkan tempias membasahi ujung sepatunya dan sedikit mengenai seragamnya. Ia tidak tampak panik atau kesal karena terjebak. Ia hanya berdiri di sana, menatap lurus ke arah hujan, seolah ia adalah bagian dari pemandangan itu. Wajahnya tenang, tak tergoyahkan.

Bima berhenti beberapa meter darinya. Jantungnya berdebar sedikit, iramanya tak beraturan. Otaknya menyuruhnya jalan terus. Nanti kamu telat. Jangan cari urusan. Jangan bicara dengan orang asing. Tapi kakinya tidak bergerak. Ada dorongan aneh, sebuah daya tarik tak kasat mata, untuk melakukan sesuatu.

Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian. Ia berjalan mendekat. "Kamu nggak bawa payung?" Suara Bima terdengar lebih serak dari yang diduganya, nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan.

Gadis itu menoleh. Lagi, mata tenang itu menatapnya. Ia tidak tampak terkejut atau terusik. "Saya suka hujan."

Jawaban yang aneh, dan tak terduga. Bima merasa bodoh. "Kamu bakal basah kuyup," katanya lagi, terdengar kurang yakin.

Gadis itu tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat. "Memang itu tujuannya."

Bima terdiam. Ia merasa semakin bodoh. Ia salah tingkah, tak tahu harus berkata apa lagi. Ia berbalik, siap melangkah pergi, menerima kekonyolannya.

"Tunggu," suara gadis itu lembut, namun cukup untuk menghentikan Bima. "Tapi sepertinya ibuku tidak akan suka kalau seragamku basah." Ada sedikit nada geli di suaranya, sebuah kejutan kecil bagi Bima.

Bima menoleh kembali. Gadis itu sekarang menatapnya, ada sedikit keraguan di wajahnya, atau mungkin hanya kilatan humor yang tertahan.

"Rumahmu... jauh?" tanya Bima, menawarkan gagang payungnya yang basah oleh tetesan hujan.

"Kompleks di seberang sana," katanya, menunjuk ke arah jalan.

"Satu arah denganku." Bima menggeser payungnya agar mereka berdua bisa berlindung di bawahnya. Payung itu terasa sempit, namun tidak terlalu sempit. "Ayo."

Gadis itu ragu sejenak, menimbang-nimbang, lalu melangkah mendekat. Ruang di bawah payung itu terasa sempit. Bima bisa mencium aroma samar darinya. Bukan parfum yang menyengat seperti gadis-gadis lain, melainkan sesuatu yang bersih, seperti sabun, dan samar-samar... aroma kertas buku. Aroma yang menenangkan.

Mereka berjalan dalam diam. Satu-satunya suara adalah derap sepatu mereka di trotoar yang basah oleh genangan air dan gemuruh hujan yang jatuh di atas kain nilon payung. Bima berusaha keras untuk berjalan normal, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Bahu kanannya mulai basah karena ia berusaha memberi ruang lebih banyak untuk gadis itu. Ia merasakan kehangatan aneh di pipinya, bukan karena cuaca dingin, tapi karena kedekatan yang tak terduga ini.

"Kamu Bima, kan?"

Bima terkejut ia tahu namanya. "Iya. Kamu?"

"Aluna."

"Aluna," Bima mengulang nama itu dalam hati. Nama yang terasa mengalir dan tenang, seperti ombak laut yang pelan. "Nama yang bagus."

"Ibuku seorang penyair. Setidaknya, dia berpikir begitu," jawab Aluna. Nada suaranya datar, Bima tidak bisa memastikan apakah itu lelucon atau fakta.

"Kamu suka baca buku tebal," kata Bima, mencoba memulai percakapan lagi, mencoba memecah keheningan yang nyaman namun juga sedikit canggung.

Aluna meliriknya. Matanya yang tenang menatap langsung ke matanya. "Kamu memperhatikanku di perpustakaan."

Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan, diucapkan tanpa nada menuduh. Wajah Bima kembali memanas. "Maaf. Aku tidak bermaksud..."

"Tidak apa-apa," potong Aluna. "Saya juga memperhatikanmu. Kamu menggambar di buku catatanmu. Sketsa jembatan yang runtuh."

Sekarang giliran Bima yang terkejut. Ia melihat Bima sedetail itu? Jantungnya berdebar lebih kencang, tapi bukan karena gugup. Rasanya... aneh. Dilihat. Benar-benar dilihat, bukan hanya sebagai "anak emas" atau calon insinyur, tapi sebagai dirinya sendiri. Perasaan itu bercampur aduk antara rasa malu dan kelegaan.

"Itu... bukan apa-apa," elak Bima, merasakan suaranya sedikit gemetar.

"Bukan apa-apa biasanya berarti segalanya," kata Aluna, dengan nada yang dalam dan penuh makna.

Mereka sampai di gerbang kompleks perumahan Aluna. Hujan mulai sedikit mereda, hanya menyisakan gerimis tipis yang jatuh perlahan.

"Aku sampai sini," kata Aluna, melangkah keluar dari bawah payung, membiarkan gerimis kecil menyentuh rambut dan wajahnya.

"Oh. Oke." Bima merasa sedikit kecewa, tidak ingin perbincangan singkat ini berakhir.

Aluna merapikan rambutnya yang sedikit lembap. "Terima kasih untuk payungnya, Bima."

"Sama-sama," jawab Bima, menahan diri untuk tidak mengatakan hal lain yang mungkin terdengar bodoh.

Gadis itu berbalik dan mulai berjalan masuk ke kompleks. Bima masih berdiri di sana, memegang payung, merasakan bahu kanannya yang basah kuyup. Ia memperhatikannya berjalan menjauh sampai sosoknya hilang di tikungan jalan yang diselimuti kabut tipis sisa hujan. Ia berdiri di sana beberapa saat, membiarkan sisa gerimis membasahi wajahnya. Ia merasa aneh. Perasaan ringan yang asing, seolah ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya.

Ia melanjutkan perjalanannya pulang. Bahu kanannya basah kuyup, tapi dia tidak kedinginan. Ketika ia sampai di rumah, ia mendengar suara Ayah berbicara di telepon dari ruang kerja. Keras. Mungkin tentang pekerjaan, mungkin tentang ambisi, mungkin tentang Dani yang di Singapura.

Bima naik ke kamarnya dalam diam. Ia meletakkan tasnya. Buku Fisika masih terbuka di meja, menunggu. Rumus-rumus itu masih menunggunya. Ia duduk di kursi belajarnya. Dengungan lampu itu masih ada. Tapi malam ini, rasanya berbeda. Malam ini, dengungan itu tidak lagi terasa begitu menusuk, melainkan seperti bassline yang samar, menunggu melodi yang akan datang.

Ia tidak membuka buku fisika. Pandangannya beralih ke sudut ruangan. Ke gitar cokelat pudar itu.

Ia teringat kata-kata Aluna. Bukan apa-apa biasanya berarti segalanya.

Perlahan, Bima bangkit. Ia berjalan ke sudut ruangan. Jari-jarinya yang kapalan menyentuh badan gitar yang dingin. Debu tipis masih menempel di senarnya, tapi kini debu itu terasa seperti selimut yang harus ia singkap. Ia mengangkat gitar itu. Rasanya pas di pelukannya, seperti bagian tubuhnya yang hilang, bagian dirinya yang terlupakan.

Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Ia tidak peduli jika Ayah mendengarnya. Ia tidak peduli tentang ujian masuk atau Dani yang di Singapura. Untuk sesaat, semua tekanan itu menghilang.

Jari kanannya memetik senar E. Pelan. Suara itu, frekuensi rendah yang hangat, menggetarkan seluruh ruangan. Suara itu sudah lama hilang. Dan malam ini, suara itu kembali.

Bima menarik napas dalam. Lalu, ia mulai memainkan melodi baru yang berputar di kepalanya. Melodi yang dulu terasa getir, tapi kini ada nada baru di dalamnya. Nada yang tidak bisa ia jelaskan. Nada yang terasa seperti bau hujan, mata yang tenang, dan sebuah janji yang tak terucap.

Lanjut membaca
Lanjut membaca