Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Diburu di Tanah Mataram Kuno

Diburu di Tanah Mataram Kuno

Caberawit | Bersambung
Jumlah kata
51.9K
Popular
296
Subscribe
44
Novel / Diburu di Tanah Mataram Kuno
Diburu di Tanah Mataram Kuno

Diburu di Tanah Mataram Kuno

Caberawit| Bersambung
Jumlah Kata
51.9K
Popular
296
Subscribe
44
Sinopsis
18+FantasiIsekaiMisteriIsekaiRaja
Synopsis Di tengah bentrokan sengit antara pasukan Wangsa Sanjaya dan Sailendra di pelataran Candi Prambanan abad ke-8, sebuah kilatan misterius membuka celah ruang-waktu dan menelan Emily Carter—seorang asisten arkeolog dari abad ke-21. Tersesat tanpa memahami bahasa setempat, Emily langsung dianggap ancaman oleh Rakryan Saka Wicaksana, prajurit tangguh yang curiga ia adalah mata-mata Sailendra. Saka ingin memastikan jika wanita yang datang dari masa depan bukanlah ancaman bagi Kerajaan Sanjaya tapi ia justru difitnah oleh salah satu pejabat kerajaan (Mahesa Wulung) hingga posisinya terancam dilengserkan. Ditambah dengan wanita asing yang mengaku sebagai pembawa pesan dari dewa membuat suasana makin tegang. Raja ingin Saka membuktikan bahwa pejabatnya berkhianat dan juga Emily yang mengaku sebagai pembawa pesan dari dewa. Belum sempat Saka membuktikan Emily diculik oleh seseorang yang menggunakan teknik beladiri seperti pasukan bayangan yang dilatih oleh Saka. Suasana makin mencekam saat Saka menemukan Emily yang dipaksa melakukan sumpah pengingat darah oleh Mahesa Wulung. Saka berusaha keras menghancurkan mantra kuno dengan bantuan manusia ular. Namun saat ingin kembali ke kerajaan Sanjaya melalui portal teleportasi dan membuktikan kejahatan Mahesa wulung pada Raja, mereka di serang oleh pasukan Sailendra yang memang sudah diatur oleh Mahesa Wulung. Saka memilih untuk lari membawa mahesa wulung bersama emily dan manusia ular. Tapi ditepi portal Emily justru mendorong Saka hingga terhisap portal dan ia menghadapi pasukan Sailendra yang di pimpin oleh Bhanu Prakosa. Emily ingin mencari jalan pulang di wilayah Sailendra namun Saka tidak pernah tahu niat wanita itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Saka dan Emily akan bertemu kembali setelah wanita asing itu bertemu dengan Bhanu Prakosa ?
Kilatan dariCandi

Langit Mataram sore itu menggantung rendah, awan kelabu bergerak pelan seolah ikut menahan napas.

Udara berat dan lembap, sarat dengan bau tanah bercampur darah.

Di pelataran luas Candi Prambanan, dua barisan pasukan berdiri berhadap-hadapan, jarak di antara mereka hanya sejengkal tanah berdebu.

Dedaunan kering yang terbawa angin beterbangan di antara kaki para prajurit, lalu terinjak dan hancur tanpa belas kasihan.

Mata mereka membara, genggaman pada gagang senjata kian erat.

Bukan perang besar yang disiapkan berbulan-bulan, melainkan bentrokan yang meletup tiba-tiba akibat hasutan pihak-pihak yang menghendaki keretakan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra.

Namun di tengah debu, peluh, dan darah, setiap benturan pedang tetap berarti hidup atau mati.

Tidak ada prajurit yang peduli apakah ini perang resmi atau sekadar baku hantam kehormatan—bagi mereka, yang penting adalah menang atau pulang sebagai mayat. Mengabdi sampai titik darah terakhir adalah sebuah kehormatan.

Di barisan depan Sanjaya, seorang pria tegap menunggang kuda hitam yang mengerang rendah.

Zirah perunggu yang ia kenakan memantulkan cahaya redup matahari sore, membuatnya terlihat seperti patung prajurit dari cerita wayang yang dihidupkan kembali.

Sorot matanya tajam, memantulkan api semangat dan kebanggaan seorang bangsawan.

Dialah Rakryan Patih Saka Wicaksana, Pangeran Muda sekaligus Senapati Agung.

Tangan kanannya mengangkat tombak panjang, bulu-bulu merah di ujungnya berkibar tertiup angin, memberi aba-aba pada pasukannya untuk maju.

Di seberang, berdiri Senapati Bhanu Prakosa dari Wangsa Sailendra.

Tubuhnya besar, wajahnya keras, dan tatapannya seperti baja.

Sejak lama, ia menjadi rival abadi Saka—bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam setiap kisah yang diceritakan para penyanyi istana, di mana nama mereka kerap muncul berpasangan seperti dua singa yang tak pernah mau tunduk satu sama lain.

Benturan pertama terdengar.

Dentang besi beradu memenuhi udara, disusul teriakan dan lolongan kesakitan.

Pasukan Sanjaya bergerak seperti gelombang ombak yang menghantam batu karang, mendorong mundur barisan Sailendra sedikit demi sedikit.

Debu mengepul, bercampur dengan aroma besi dari darah yang mengucur di tanah.

Di tengah hiruk pikuk itu, Saka sempat menoleh ke arah Candi Prambanan.

Sekilas ia melihat sesuatu yang membuat alisnya berkerut.

Dari pintu utama candi, sebuah kilatan cahaya aneh memancar, seperti petir yang terjebak di dalam batu hitam.

Cahaya itu bukan cahaya obor, bukan pula pantulan senjata.

Namun ia menepis rasa penasaran itu—pertempuran belum selesai.

Dengan serangan terakhir yang memecah barisan lawan, Sanjaya berhasil memukul mundur pasukan Sailendra.

Sorak kemenangan mulai terdengar, namun kilatan itu muncul lagi, kali ini lebih terang, seperti hendak meledakkan udara di sekitarnya.

Prajurit terdekat mundur beberapa langkah, sebagian menatap takjub, sebagian lagi memasang posisi bertahan.

Lalu, dari dalam candi, sosok seorang wanita melangkah keluar.

Tubuhnya sedikit terhuyung, seolah baru saja ditarik dari pusaran tak kasat mata yang kini memudar.

Penampilannya membuat seluruh prajurit terdiam—bukan kain batik, lurik, atau songket yang membalut tubuhnya, melainkan pakaian asing: celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjang yang putih, atasan hitam tanpa lengan, dan kemeja flanel kotak-kotak yang diikat sembarangan di pinggang.

Di bahunya tergantung ransel hitam, sarat benda-benda aneh; salah satunya kotak berkilat yang memantulkan cahaya sore, entah senjata atau alat sihir. Sebuah topi asing menutupi kepalanya, sementara kaca hitam yang menempel di matanya membuat wajahnya makin sukar ditebak.

Bagi prajurit abad ke-8, ia terlihat bukan manusia biasa—entah utusan dewa, siluman, atau kutukan yang lahir dari perut candi.

Mata wanita tersebut membesar, menyapu pemandangan di sekelilingnya.

Puluhan prajurit bersenjata lengkap menatap balik padanya, sebagian dengan kebingungan, sebagian dengan kecurigaan.

Mulutnya sedikit terbuka, dadanya naik turun cepat.

Bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar.

Saka menurunkan tombaknya.

Beberapa prajurit Sanjaya melangkah maju, tapi ia mengangkat tangan memberi isyarat untuk menahan diri.

Dari kejauhan, Bhanu Prakosa juga melihatnya dan mulai bergerak, menapaki tanah berdebu menuju sosok itu.

Wanita itu mundur setapak, lalu mulai berbalik, hendak berlari.

Dengan satu hentakan pada perut kudanya, Saka memacu binatang itu dan memotong jalannya.

Sorot mata Pangeran Muda itu tajam, penuh ancaman sekaligus rasa ingin tahu yang membara.

“Beraninya kau muncul di tengah medan perangku. Katakan siapa tuanmu, atau kepalamu jatuh di tanah ini.”suaranya berat, tegas, dan dalam bahasa yang sama sekali tak dimengerti oleh wanita itu.

Wanita itu menelan ludah, mundur selangkah.

Kepalanya berdenyut nyeri, seolah kata-kata Saka adalah pukulan yang menembus pikirannya.

Namanya adalah Emily Carter, asisten arkeolog dari abad ke-21… yang entah bagaimana, kini terdampar di abad ke-8.

Emily memegang topi yang bertengger dikepalanya, mencoba meredakan pusing yang menggelayuti otaknya.

Namun sebelum sempat berpikir panjang, sebilah pedang telah teracung di lehernya.

Saka menunduk dari pelana kudanya, mendekat, napasnya teratur namun dingin.

Emily mulai sadar bahwa dirinya telah melakukan perjalanan waktu—setidaknya secara logika.

Namun hatinya masih menolak, menjerit bahwa semua ini hanyalah mimpi aneh.

Dan kini, sebuah pedang dingin nyaris menebas lehernya.

Baru sampai di masa kuno, langsung mati—betapa ironis.

'Memangnya aku datang hanya untuk mengantar nyawa.'

'Tidak! Aku tidak boleh mati secepat ini. Apalagi ditangan manusia kuno.'

Ia melirik ke arah pasukan Sailendra, lalu melihat sesuatu yang membuatnya nekat.

Debu masih belum benar-benar reda ketika Emily tiba-tiba melambaikan tangan ke arah pasukan Sailendra.

Bukan karena ia berharap ada yang menolongnya—otaknya hanya mencari cara apa pun untuk mengalihkan perhatian sang prajurit berkuda di depannya.

“Ayo, lihat ke sana manusia kuno… alihkan pandanganmu,” batinnya panik, telapak tangannya berkeringat.

Gerakan itu memang tampak jelas, terlalu jelas, seperti isyarat rahasia. Namun bagi Emily, itu hanyalah upaya nekat agar Saka sejenak lengah dan ia bisa mencari celah untuk kabur.

Saka yang berdiri di atas pelana langsung memicingkan mata.

"Apa maksudnya? Mengapa ia memberi tanda pada musuhku?" pikir Saka, rahangnya mengeras. Saka menoleh tapi bukan hanya melihat Bhanu tapi juga melihat siluet hitam yang lebih dulu menghilang dibalik pasukan Sailendra--sosok yang tidak asing, namun ingatannya tidak memberikan informasi lebih?

Dari kejauhan, Bhanu Prakosa juga melihat lambaian itu.

Keningnya berkerut, hatinya diliputi keraguan.

"Apakah gadis aneh itu melambai padaku? Apa maksudnya? Apakah dia orang utusan Mahesa untuk menyelamatkanku… atau hanya orang gila yang kebetulan datang?"

Namun, ia cepat mengesampingkan pikirannya.

Ada hal yang lebih penting: menyelamatkan pasukannya yang tersisa.

Saka kini tampak meninggalkan barisan untuk mengejar gadis itu—kesempatan langka yang baik untuk mundur.

Bhanu memberi aba-aba, dan sisa pasukan Sailendra pun bergerak mundur, lenyap di balik kabut debu sore.

Disisi lain saat Saka mengalihkan pandangan menuju pasukan Sailendra, Emily berlari tanpa menoleh, langkahnya menghantam tanah kering penuh akar.

Jantungnya berdegup tak terkendali.

Ia tak mengerti bahasa orang-orang itu, sekadar lari pun tidak akan membuatnya selamat. Lelaki di atas kuda itu jelas lebih cepat dan berpengalaman mengejar. Saka sempat terpaku melihat Banu Prakosa sibuk menarik mundur pasukan namun ia segera berbalik ketika derak langkah kaki Emily menjauh darinya.

'sial dia menipuku.'

Emily memsuki hutan. ia meraih tas, membuka ritsletinga dengan cepat, jari-jarinya gemetar. Pandangannya menyapu isi tas—senter kecil, botol air, kamera, dan beberapa perkakas arkeologi.

“Harus ada sesuatu… sesuatu untuk mengalihkan dia…tapi yang mana?” desisnya putus asa. Tangannya akhirnya meraih satu benda, jemarinya menggenggam erat—tepat saat langkah Saka terdengar semakin dekat.

Lanjut membaca
Lanjut membaca