Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
ASMARA DARAH

ASMARA DARAH

Elin Rhenore | Bersambung
Jumlah kata
51.6K
Popular
200
Subscribe
48
Novel / ASMARA DARAH
ASMARA DARAH

ASMARA DARAH

Elin Rhenore| Bersambung
Jumlah Kata
51.6K
Popular
200
Subscribe
48
Sinopsis
18+PerkotaanAksiGangsterMafiaBalas Dendam
Alex menculik Olivia untuk membalas dendam keluarganya. Namun kedekatan yang seharusnya menghancurkan gadis itu justru menghancurkan dirinya sendiri—membangkitkan rasa yang tak seharusnya ia miliki. Di antara jeratan masa lalu dan tuntutan darah, Alex terjebak antara membunuh musuhnya… atau melindungi putrinya. Ketika Olivia menghilang dan dinikahkan demi politik keluarga, obsesi Alex berubah menjadi kegilaan. Ia kembali mencarinya, kali ini bukan sebagai tawanan, tetapi sebagai satu-satunya kelemahan yang membuatnya rela mengkhianati dendam yang ia jaga seumur hidup. Dalam dunia yang dipenuhi pengkhianatan, kekuasaan, dan darah yang belum terbalas, Alex harus memilih: menuntaskan balas dendamnya—atau kehilangan satu-satunya wanita yang mampu memporak-porandakan hatinya
PROLOG

Di ruang tengah sebuah rumah danau, para anak lelaki dan ayah mereka duduk melingkar, berusaha menciptakan sedikit keriangan dengan bermain ular tangga. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah nyala lilin yang bergoyang-goyang ditiup angin yang berhasil menyelinap lewat celah-celah dinding kayu, membuat bayangan wajah mereka menari samar di lantai.

Sementara itu, anak perempuan yang cantik tengah membantu sang ibu di dapur. Mereka menyiapkan makan malam yang hampir terlewatkan karena listrik tak kunjung menyala sejak badai mulai mengamuk. Bau masakan hangat yang perlahan memenuhi ruangan menjadi satu-satunya hal yang menenangkan di tengah hiruk-pikuk malam yang tak bersahabat.

"Ayah kapan listriknya menyala?" Bocah lelaki paling kecil bertanya, tak sabar karena tak suka jika harus bermain dengan cahaya yang redup.

"Kau sudah lihat pembangkitnya?" tanya sang ibu.

"Kau ingin aku melihatnya?" Sang ayah hanya mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.

Saat ini mereka sedang berlibur, berniat untuk menikmati satu musim di rumah danau milik keluarga mereka. Tapi siapa sangka tiba-tiba mereka harus terjebak badai dan listrik mati. Beruntung, mereka selalu punya ide untuk membuat suasana yang mencekam menjadi lebih santai.

"Oh Ayolah, Sig! Jangan bergurau, minta anak buahmu memeriksa-" ucapannya terhenti begitu saja ketika mereka mendengar suara tembakan berkali-kali.

Suara itu letupan keras yang memecah malam menggema dari arah luar. Satu tembakan. Disusul lagi. Kemudian satu lagi.

Berkali-kali.

"Ayah!" Ketiga anak mereka berteriak ketakutan.

Dentuman itu terdengar begitu dekat, seolah berasal dari tepi danau yang hanya beberapa langkah dari pintu depan. Lilin kecil di meja hampir padam karena getaran yang entah berasal dari angin atau dari rasa ngeri yang menyusup ke tulang mereka

“Ayah ….”

Para anak lelaki menghentikan permainan, dadu terhenti di tengah gulirannya. Sang ibu secara refleks meraih lengan putrinya, menariknya lebih dekat. Sig bangkit perlahan, wajahnya menegang, mendengarkan setiap detik yang terasa seperti menahan napas bersama-sama.

" "Sig, apa yang terjadi?!"

Tembakan itu kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya. Suaranya menggema di dinding kayu, membuat jantung mereka seperti berhenti sesaat. Secara spontan mereka semua merapatkan tubuh ke lantai, seolah lantai dingin itu satu-satunya tempat aman ketika entah siapa sedang melepaskan peluru di luar sana.

"Liz, bawa anak-anak pergi ke atas!"

Tanpa banyak bertanya, sang ibu meraih ketiga anaknya dan mengajak mereka menuju tangga. Langkah mereka hati-hati dan terburu-buru sekaligus, napas mereka tak beraturan. Namun belum sempat kaki mereka menginjak anak tangga pertama, suara letusan lain terdengar. Kali ini lebih tajam, lebih mematikan.

Tubuh Liz tersentak. Ia limbung, lalu terjatuh ke lantai dengan keras. Darah mengalir cepat memenuhi lantai ruang keluarga, warnanya mencolok di antara bayang-bayang lilin yang bergetar. Anak-anak menjerit, suara mereka tercekik oleh ketakutan yang menelan seluruh rumah danau itu.

Ruangan seketika menjadi sangat sunyi, seolah badai di luar pun ikut menahan napas. Hanya suara detak jam dan hujan yang memukul jendela, bersaing dengan aroma darah yang mulai menyengat.

Dan di tengah semua itu, Sig baru menyadari bahwa mereka bukan lagi sekadar terjebak badai. Mereka sedang diburu.

"Ibuu! Tidak!" Teriak si sulung, dia kehilangan kontrol dirinya. Hampir melepaskan adik-adiknya sampai sebuah tembakan kembali terdengar dan menyadarkannya, bahwa ada nyawa lain yang harus dia lindungi. Sulung membawa adik-adiknya naik ke lantai atas rumah tersebut, sedikit menyeret si bungsu yang menangis sesenggukan.

"Tidak!! Eliza!"

Teriakan Sigmund memecah malam yang sudah dipenuhi badai. Tanpa berpikir panjang, ia menerjang ke arah bayangan penembak itu. Gerakannya kasar, didorong oleh amarah dan kepanikan yang menelan akal sehatnya. Begitu ia keluar dari perlindungan dinding, suara letusan langsung menyambutnya.

Baku tembak tak terelakkan.

Udara di sekitar mereka seperti bergetar setiap kali peluru meluncur, mencabik gelapnya malam. Suara tembakan berdentum berulang, saling bersahutan sampai terdengar seperti irama marching band yang mengiringi kehancuran. Setiap dentum membawa ancaman, setiap kilatan api dari moncong senjata seperti penanda siapa yang akan tumbang berikutnya.

Peluru-peluru panas itu menembus udara dan tubuh tanpa ampun. Cipratan tanah, serpihan kayu, dan teriakan tertahan bercampur menjadi satu. Sigmund terus menembak sambil merunduk, mencoba mendekat, mencoba menghentikan sosok yang telah merenggut Eliza begitu cepat. Tangannya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena kemarahan yang membara..

Di sisi lain, Steinar muda berusaha untuk menjaga adik-adiknya agar tetap aman. Ia menemukan sebuah ruangan yang dia kira akan membuat mereka aman. Setidaknya untuk malam ini.

"Alex, Emili, kita harus bersembunyi di sini, jangan buat suara mengerti?"

"Kakak, bagaimana dengan ayah? Apa yang akan terjadi dengan ayah?" rengek si bungsu Alex.

"Sssstt, ayah akan datang menyelamatkan kita. Sekarang kau tutup telingamu dengan tangan, jangan dengarkan apapun, jangan buat suara lagi. Mengerti." Si Sulung Steinar menarik kedua adiknya, memasukkan keduanya ke dalam kamar.

"Alex, kau bersembunyilah disini," Emilia menarik adiknya untuk masuk ke dalam lemari besar yang terdapat dalam kamar tersebut. Alex kecil menurut pada kakaknya, dia masuk ke dalam lemari selagi Emilia menutup lemarinya.

"Mereka disini!" Terdengar teriakan seorang pria dari arah tangga disusul dengan langkah kaki yang berlari mengarah pada kamar tempat bersembunyi anak-anak itu.

"Kita harus bersembunyi!" Emilia menarik lengan Steinar yang menjaga pintu masuk. Steinar menggeleng perlahan, tak bisa membiarkan pintu mudah diterobos oleh para penyerang tak dikenal itu.

"Kau bersembunyilah, Emili. Cepat!"

Brak

Brak

Brak

Pintu digedor oleh para penyerang. Steinar berusaha untuk menahan pintu tersebut agar tidak terbuka. Dia menoleh pada Emili, meminta Emili untuk segera bersembunyi. Gadis itu menggeleng, bukan bersembunyi ia mendekati kakaknya turut membantu Steinar memegang gagang pintu dan menahan pintu dengan tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan?!" desis Steinar sembari melotot ke arah Emilia.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, kakak." balas Emilia.

Sekuat tenaga, keduanya tetap menjaga pintu tersebut. Namun, mereka hanyalah remaja yang tak memiliki kekuatan layaknya pria dewasa. Penyerang itu dengan mudah mendobrak pintu, membuat kedua anak itu terjungkal ke lantai.

Terdapat tiga pria dengan topeng yang menutupi hampir seluruh wajah kecuali mata dan hidung mereka. Salah seorang di antaranya mendekat pada Emilia, menjambak rambut cokelat terangnya. Ke dua penyerang yang lain menyandera Steinar.

"Lepaskan dia! lepaskan adikku!" teriak Steinar, dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

"Kalian akan merasakan kehancuran malam ini, keluarga Redstone tidak akan pernah terdengar lagi namanya di kota ini." ucap penyerang yang menjambak rambut Emilia.

"Siapa yang menyuruh kalian?!" Steinar tahu para penyerang itu pasti salah satu dari pesaing ayahnya. Hanya saja dia tidak tahu siapa yang menyerangnya.

"Kau anak kecil, diam saja!" hardik pria yang mencengkram lengan Steinar dengan kuat.

“Lihat baik-baik, bagaimana aku akan mempermalukan keluargamu!”

Emilia didorong ke ranjang, tubuh kecilnya disergap ketakutan, ketika mata cokelatnya bertemu dengan milik pria bertopeng itu tubuhnya gemetar hebat, Emilia semakin tersudut, tangan pria itu merobek pakaiannya, menunjukkan tubuhnya yang sama sekali belum bisa dikatakan matang sebagai seorang gadis. Namun Pria itu tak peduli, dia merusak mimpi indah Emilia sebagai seorang gadis kecil, tubuhnya hancur oleh perlakuan biadab pria itu yang diiringi oleh tawa dari pria yang lainnya.

Tak sanggup lagi melihat adiknya menjadi bulan-bulanan nafsu bejat pria itu, Steinar terus berusaha meronta untuk melepaskan diri, dia menginjak kaki salah seorang pria yang mencengkram lengannya, ketika terbebas dia menerjang pria yang hendak menyakiti Emilia.

“Tidak akan kubiarkan kau melukai adikku, brengsek!”

Duar!

Suara keras pistol itu menggaung ke seluruh sudut kamar, Alex pun tersentak, dari lubang lemari dia mengintip, keringat membasahi seluruh tubuhnya, matanya nanar menatap Steinar roboh tak berdaya dengan darah mengalir membanjiri karpet bulu hingga warnanya yang kuning gading, menjadi merah pekat. Rintihan kesakitan menarik perhatian Alex, ia mengalihkan pandangannya ke atas ranjang, melihat kekejaman pria-pria bertopeng itu. Mata Alex bertemu dengan milik Emilia yang menatapnya dengan pandangan kosong, jiwa Emilia telah membeku.

“Kakak…” gumam Alex dengan suara yang tertahan. Tangannya mengepal erat, bocah enam tahun itu memendam amarahnya, hingga melakukan kebodohan. Tangan kecilnya mendorong pintu lemari, dia berlari menerjang pria yang sedang menikmati setiap rintihan yang keluar dari bibir Emilia. Menggunakan gigi susunya dia menggigit tangan pria itu.

“Lepaskan aku! Kau bocah iblis!”

Pria yang lainnya menarik tubuh kecil Alex, yang lainnya menodongkan pistol tepat ke kepalanya. Mengancam bocah kecil itu, jika bergerak sedikit saja maka peluru panas akan menembus kepalanya yang mungil. Namun, siapa sangka jika keberanian anak itu lebih dari singa dewasa, dia meronta-ronta, menggerakkan seluruh tubuhnya agar terbebas. Nahasnya, bersama dengan suara halilintar yang menyambar sebuah tembakan meletus, suaranya teredam oleh kilat, tubuh kecil itu pun tak berdaya terkulai di lantai.

“Sialan! Tuan Rudolph tidak akan mengampuni kita, bagaimana ini bos?”

Pria yang dipanggil bos itu membuka topengnya, menunjukkan wajah bengisnya kepada para bawahannya. Dia merapikan kembali celananya, berjalan ke arah bawahannya itu.

“Tidak, dia akan senang.” Dia berjongkok tepat di depan wajah Alex yang sekarat, menepuk wajah berlumur darah itu, “Sebelum malaikat kematian menjemputnya, dia harus menyaksikan kakaknya memuaskanku.”

Pria itu melambaikan tangannya ke bawahannya, “Kalian urus yang ada di bawah!” Dia berdiri, kembali ke ranjang dengan niat untuk menjadikan Emilia sebagai budak nafsunya. Gadis yang sudah tak berdaya itu, hanya bisa pasrah ketika setiap jengkal tubuhnya dicumbu dengan kasar oleh pria itu.

Samar-samar, Alex memandang wajah itu... pria yang telah menghancurkan keluarganya dalam satu malam saja. Dia akan mengingat wajah itu selamanya, jika dia bisa bertahan hidup.

Bersambung

Lanjut membaca
Lanjut membaca