Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Perjanjian ghaib nenek turbo

Perjanjian ghaib nenek turbo

vinsmoke adi | Bersambung
Jumlah kata
42.8K
Popular
164
Subscribe
51
Novel / Perjanjian ghaib nenek turbo
Perjanjian ghaib nenek turbo

Perjanjian ghaib nenek turbo

vinsmoke adi| Bersambung
Jumlah Kata
42.8K
Popular
164
Subscribe
51
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalPesugihanKarya KompetisiDunia Gaib
putra adalah seorang pedagang ayam potong di pasar malam, hidupnya sangat sederhana, ihlas menerima Rizki sedikit ataupun banyak, sampai suatu hari putra menjalin hubungan asmara dengan seorang perempuan konglomerat, mereka saling mencintai, namun ayah tidak merestuinya, bahkan sampai menghina putra sebagai gembel miskin, karena penghina an itu, putra bertekad melakukan perjanjian gaib dengan nenek turbo di dalam goa angker , untuk penglaris dagangan. apakah putra akan berhasil...? atau malah dia akan menjadi istri nenek turbo yang canti jelita ..?
Bab 1

Tahun 2018.

Putra menatap ijazah SMA yang baru sehari dikasih sekolah. Kertas itu masih kaku, masih bau tinta, mungkin masih hangat dari mesin laminating—tapi bagi Putra, ijazah itu terasa seperti secarik tiket tanpa arah. Ia sampai mengangkatnya ke dekat lampu, berharap ada tulisan tersembunyi model-model peta harta karun. Tapi nihil. Hanya nama lengkapnya yang kepanjangan dan nilai-nilai yang nggak terlalu memalukan.

“Selamat datang di dunia nyata,” gumam Putra sambil memonyongkan bibir. “Dunia yang katanya keras tapi duitku cuma tujuh ribu.”

Ia meletakkan ijazah itu di meja, lalu menatapnya lama-lama. Ijazah itu seperti punya wajah—dan wajahnya terlihat seperti sedang nyengir jahat. Putra nggak tahu apakah dia stres, paranoid, atau memang ijazah SMA itu sebenarnya benda yang sangat jujur.

Hari-hari setelah kelulusan semakin absurd. Teman-teman Putra langsung berubah seperti manusia super. Ada yang pamer diterima kuliah lewat jalur prestasi, padahal prestasi satu-satunya adalah pernah juara lomba makan kerupuk. Ada juga yang mendadak kerja di pabrik, sambil upload instastory: “Bismillah, cari rezeki halal.” Sementara Putra? Dia cuma sibuk menyapu kamar dan menjaga kipas angin supaya tidak ambruk.

Setiap kali HP berbunyi, Putra berharap ada notifikasi lowongan kerja, tapi yang muncul justru broadcast WA dari grup keluarga: ucapan selamat pagi, foto bunga mawar ungu, atau video motivasi dari ustaz yang suaranya lebih merdu dari penyanyi dangdut.

Sementara itu, hidup Putra tidak banyak berkembang. Pagi: bangun. Siang: makan mie goreng. Sore: bengong. Malam: bengong tapi gelap. Begitu seterusnya.

Kadang ia merasa seperti tokoh utama anime isekai yang belum diteleportasikan.

Suatu hari, ibunya masuk kamar sambil membawa cucian.

“Put, kamu kok leyeh-leyeh wae? Temenmu itu, si Joni, udah kerja di toko bangunan. Gajinya lumayan lho.”

Putra menarik selimut sampai ke dagu.

“Joni itu ototnya tiga lapis, Bu. Saya? Angkat galon aja ngos-ngosan kayak habis dikejar kuntilanak.”

Ibunya mendelik. Putra langsung diam.

Sebenarnya Putra ingin sekali bantu ekonomi keluarga. Ayahnya kerja serabutan—kadang jadi tukang ojek, kadang kuli bangunan, kadang apa saja yang lagi butuh tenaga. Ibunya jual jajanan pasar setiap pagi. Mereka bukan keluarga yang kekurangan cinta, tapi kekurangan saldo.

Putra tahu beban itu ada di pundaknya. Tapi memulai sesuatu itu… susah sekali. IA takut salah langkah. Ia takut ditolak. Ia takut gagal. Kadang ia takut bangun kesiangan lalu hidupnya terlewat begitu saja.

Pagi itu, sambil duduk di meja belajar yang kakinya sudah miring sebelah, Putra menulis puisi dalam buku catatannya. Puisi itu keluar begitu saja, seperti muntahan perasaan yang tidak ia mengerti sendiri.

“Janji-janji di gedung tinggi,

Buat rakyat menunggu tanpa arti.

Sekolah penuh mimpi yang tersisa,

Tapi dunia nyata tak memberi tempat kita.”

Setelah menulis itu, Putra bengong. Ia sendiri bingung, “Ini puisi atau curhatan orang habis dighosting nasabah KUR?”

Ia terkekeh, tapi tawanya lemah, seperti tawa orang habis ikut tes CPNS lima kali dan tetap gagal.

Hari-harinya berjalan begitu monoton sampai suatu malam, ketika langit mendung dan suara jangkrik terdengar seperti sedang konser rock, sesuatu yang aneh terjadi.

Putra sedang duduk di tepi ranjang. Lampu kamar temaram, kipas angin bunyi tik-tik-tik seperti kode Morse. Ia memikirkan masa depan, memikirkan kerja apa yang cocok, lalu memikirkan kenapa hidup berat sekali padahal tubuhnya kurus.

Tiba-tiba—tok tok tok.

Ada suara ketukan pelan di jendela.

Putra beku. Ini bukan efek ketakutan biasa. Ini ketukan yang jelas, tiga kali, teratur. Bukan suara angin. Bukan suara buah mangga jatuh. Bukan suara kucing tetangga. Bukan.

Ini suara seperti… ada seseorang yang memanggil pelan.

Putra menoleh perlahan, bahkan bulu kuduknya ikut menoleh.

Tok.

Kali ini lebih pelan, tapi berdampak jauh lebih seram.

Jantung Putra berdebar seperti drum di acara 17-an.

Ia bangkit, mendekat ke jendela dengan langkah sangat hati-hati. Kalau lantai rumah itu punya perasaan, mungkin lantainya juga ikut tegang.

“Siapa?” bisiknya.

Tidak ada jawaban.

Ia menyibak sedikit tirai. Tidak ada seseorang, tetapi… bayangan pohon jambu di depan rumah terlihat goyang dengan ritme aneh. Angin malam lembut, tapi bayangannya seperti menghentakkan badan.

Putra menelan ludah.

“Wah, ini fix bukan angin normal…”

Ia menutup tirai cepat-cepat, lalu memundurkan badan seperti ninja pemula yang belum punya skill.

Di kepalanya bermunculan berbagai kemungkinan.

Maling?

Tetangga iseng?

Makhluk halus?

Atau… cicak jatuh dan memantul? (Ya, Putra sering berpikir tidak masuk akal saat panik.)

Ia mencoba meyakinkan diri.

“Paling cuma angin… angin… angin jahat…”

Putra lalu menarik selimut, menutupi seluruh tubuh kecuali mata. Namun matanya tak bisa lepas dari jendela. Ketukan itu tidak muncul lagi, tapi rasa “dipandang” tetap ada seperti ada sesuatu di luar yang menunggu.

Perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ketukan itu bukan sekadar suara. Rasanya seperti… panggilan.

---

Besok paginya, Putra bangun dengan mata panda level final boss. Ia hampir tidak tidur. Begitu buka pintu kamar, ibunya langsung berseru:

“Lho, kamu kenapa? Mukanya kok kayak abis dikepret bantal karung?”

Putra menguap panjang.

“Semalem ada yang ketok jendela…”

Ibunya memotong cepat:

“Itu pasti kucing! Sudah, jangan mikir yang aneh-aneh.”

Padahal Putra tahu, itu bukan kucing. Kucing kalau ketuk jendela biasanya pakai kepala, dan suaranya tidak se-teratur itu. Tapi Putra malas berdebat karena pagi itu ia harus ikut ayahnya ke pasar untuk bantu angkut barang.

Setelah mandi seadanya (airnya dingin level kulkas), Putra berangkat dengan motor ayahnya yang knalpotnya berisik seperti suara toa masjid.

Di perjalanan, pikiran Putra melayang-layang. Bukan tentang kerja, bukan tentang masa depan, tapi tentang ketukan itu. Ia merasa aneh. Ketakutan itu seperti masih menempel.

Sesampainya di pasar, Putra membantu ayahnya mengangkat karung bawang. Tapi ia melakukannya sambil melamun, sampai-sampai hampir salah menaruh karung di atas kepala seorang ibu-ibu.

“HEI, NAK! Mau nimbun saya?” bentak ibu itu.

“Maaf, Bu! Saya masih loading…”

Ayahnya menatapnya sambil geleng-geleng kepala.

“Kamu ini kenapa? Mukamu pucat kayak belum gajian sebulan.”

Putra hanya mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan.

Dan anehnya, di antara keramaian pasar yang penuh suara orang teriak, harga yang ditawar, dan aroma bawang menusuk, Putra sempat mendengar sesuatu.

Tok.

Tok.

Tok.

Suaranya samar, tapi sangat mirip ketukan malam tadi.

Putra langsung menoleh ke segala arah.

Namun tidak ada yang mengetuk apa pun.

Ia merinding. Kali ini lebih kuat daripada semalam.

Seolah ada sesuatu yang mengikutinya.

---

Malam harinya, saat Putra hendak tidur, ia membuka jendela sedikit untuk melihat apakah bayangan pohon jambu masih bergoyang. Angin malam masuk, membawa suara serangga.

Lalu…

Tok.

Tok.

Tok.

Jantung Putra langsung seperti menabrak dada.

Ia membeku.

Suaranya sama.

Ritmenya sama.

Tapi kali ini… suaranya berasal dari dalam kamar.

Putra menatap lemari kayu tua di sudut ruangan.

Tok.

Tok.

Tok.

Dari sana.

Dengan tangan gemetar, Putra mendekat. Ia tidak tahu apakah ia sedang berani atau sedang bodoh. Setibanya di depan lemari, ia menahan napas, membuka pintunya… perlahan.

Dan…

di dalam lemari…

…tidak ada apa-apa.

Hanya baju-baju, celana, dan kardus bekas berisi kenangan tugas sekolah.

Putra hampir tertawa lega.

Tapi tiba-tiba, dari bawah kasur—

TOK.

Kali ini keras.

Kali ini jelas.

Dan Putra langsung melompat naik ke ranjang seperti kucing ketakutan.

“UDAH! Aku menyerah! Mau siapapun kamu, jangan mulai horornya dulu! Hidupku aja udah cukup horor!”

---

Putra tidak tahu, malam itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya, membuka pintu takdir yang selama ini ia hindari.

Besok… sesuatu akan muncul.

Dan Putra akan dihadapkan pada pilihan konyol

antara menjadi manusia gagal selamanya atau terlibat dalam sesuatu yang bahkan lebih absurd dari hidupnya yang menganggur.

---

Lanjut membaca
Lanjut membaca