Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dokter Gila di Dunia Apocalypse

Dokter Gila di Dunia Apocalypse

The villain | Bersambung
Jumlah kata
28.3K
Popular
100
Subscribe
26
Novel / Dokter Gila di Dunia Apocalypse
Dokter Gila di Dunia Apocalypse

Dokter Gila di Dunia Apocalypse

The villain| Bersambung
Jumlah Kata
28.3K
Popular
100
Subscribe
26
Sinopsis
PerkotaanAksiKiamatDokter GeniusZombie
Walaupun Dunia sudah hancur, wabah zombie di mana-mana, manusia saling membunuh, Aku akan tetap akan melakukan bedah kepada pasien ku! Bukan hanya manusia, tapi Makhluk menjijikkan sekalipun.
Bab: Ken Dokter Gila

​Sebuah gedung pencakar langit megah berdiri kokoh, menjulang menantang langit. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang tampak seperti cangkang tanpa isi. Ia adalah Dokter Ken.

​Dengan tatapan kusam, seolah jiwanya telah lama meninggalkan raga, Ken menatap sayu ke arah Rumah Sakit Utama Teras, tempat ia bekerja. Hari ini adalah giliran jaga siang, dan lebih penting lagi, hari ini ia dijadwalkan untuk melakukan operasi perdananya setelah masa pelatihan.

​“Hmm,” gumamnya singkat, menarik napas. Bukan sebuah ucapan, hanya deheman kering yang nyaris tak terdengar, laksana suara pasir bergeser di padang sunyi.

​Langkah kaki Ken terasa berat, seakan ia menyeret beban tak kasat mata menuju pintu rumah sakit. Begitu ia memasuki area parkir, para petugas keamanan yang berjaga segera berdiri tegak, membungkuk hormat.

​“Selamat pagi, Dokter!” sapa seorang satpam berbadan tegap dengan senyum ramah yang kontras dengan suasana suram Ken.

​“Hmm,” balas Ken, deheman bisu. Tatapannya datar, tak ada sedikit pun pantulan kehangatan yang menyambut sapaan mereka. Ia terus melangkah maju.

​Satpam tadi hanya bisa menggaruk pelipisnya, ekspresi heran tak dapat disembunyikan. “Seperti biasa, Dokter Ken tidak pernah bicara sepatah kata pun. Benar-benar aneh!” bisiknya pada rekan di sebelahnya. Ken adalah teka-teki berjalan di rumah sakit itu.

​Saat Ken melewati lobi, suasana segera berubah. Para pasien, perawat, dan dokter muda yang berada di sana serentak menoleh. Mereka menatapnya dengan campuran kekaguman dan ketertarikan yang nyaris terang-terangan. Wajah Ken memang di atas rata-rata—tampan, rahang tegas, dan tampak sangat muda untuk seorang dokter berusia tiga puluh tahun.

​“H-hai, Ken! K-kamu sibuk tidak? Aku… aku ingin mengajakmu makan siang bersama.”

​Sebuah suara lembut memecah keheningan lobi. Sosok Dokter Arin berdiri di depannya. Ia seorang wanita cantik dengan rambut hitam terurai, tubuh proporsional, dan senyum yang dapat meluluhkan siapa pun. Arin adalah salah satu dokter bedah terbaik, dan diam-diam, idola di rumah sakit itu.

​Ken berbalik, wajahnya yang suram dan dingin menatap Arin. Tatapannya biasa saja, seolah wanita secantik Arin hanyalah bayangan yang lewat.

​“Hmm.” Ia kembali berdehem, seolah ia benar-benar kesulitan merangkai kata.

​Namun, kali ini ia sedikit menggelengkan kepala. Gerakan kecil itu sudah cukup: ia menolak ajakan makan siang Arin.

​Ekspresi kekecewaan segera menyelimuti wajah Arin. “Yah! Padahal aku sudah repot-repot membuatkan bekal makan siang untukmu juga. Tapi tidak apa-apa,” katanya, walau suara getirnya tak bisa disembunyikan. “Mungkin lain kali kamu bisa.” Arin berusaha keras tersenyum tulus.

​Tiba-tiba, seorang wanita lain menyambar dari samping. “Hai, Sayang!”

​Perempuan itu adalah Angel, seorang perawat cantik dengan seragam putih yang pas di badannya. Tanpa permisi, Angel langsung menggandeng erat lengan Ken, bergelayut manja seolah mereka adalah pasangan suami-istri.

​Digandeng mesra seperti itu, Ken tetap diam tak bergeming. Sorot matanya hanya tertuju pada jam dinding besar di ujung koridor.

​Arin yang melihat pemandangan itu, seketika disergap rasa cemburu. “Apa-apaan kamu, Angel?! Lepaskan tangan Ken! Lepasin, ih!” Arin mulai menarik lengan Angel dengan kesal.

​Angel mencibir, menarik lengannya dari Arin. “Kamu ini kenapa, Arin? Aku kan sedang bermanja-manja dengan suamiku.” Ia semakin menguatkan cengkeramannya di lengan Ken.

​“Suami?! Enak saja! Ken tidak suka denganmu! Cepat lepaskan!”

​Mereka mulai saling tarik-menarik. Ken, yang menjadi objek rebutan di antara dua wanita paling diminati di rumah sakit itu, hanya berdiri seperti patung yang tak peduli.

​DING! DING! DING!

​Lonceng besar jam dinding berdentang tiga kali, menandakan tepat pukul 12:00 siang.

​Tiba-tiba, Ken menghentikan gerakan para wanita itu. Dia melepaskan tangan Angel dengan sentakan pelan, lalu—ia menyeringai. Senyum itu lebar, tak terduga, dan sungguh menyeramkan.

​Semua orang yang menyaksikan perdebatan itu, termasuk Arin dan Angel, tiba-tiba merasa bulu kuduk mereka berdiri.

​“K-Ken! K-kamu kenapa?” tanya Arin, suaranya tercekat. Mereka belum pernah melihat ekspresi Ken yang seperti ini—seolah topeng datar yang selalu ia kenakan telah runtuh.

​Tatapan mata Ken berubah drastis, dari kusam menjadi penuh kilatan kegilaan yang tak terduga. Ia mengabaikan semua orang dan berjalan cepat menuju ruang operasi yang telah disiapkan.

​BAM!

​Ken menutup Pintu ruang operasi dengan kencang, meninggalkan semua orang di lobi dalam keheningan yang mematung. Pandangan mereka tentang Dokter Ken yang kalem, penyendiri, dan dingin, tiba-tiba berganti menjadi rasa ngeri yang mencekam.

​Mereka masih terdiam, mencerna perubahan ekspresi gila Ken, ketika tiba-tiba suara jeritan pasien dari dalam ruang operasi terdengar memekakkan telinga.

​“AAAARRGGHHH!” Jeritan itu mengerikan, melengking tajam, penuh rasa sakit dan ketakutan.

​Bukan hanya jeritan, tapi tak lama kemudian, tawa nyaring Dokter Ken juga ikut membelah udara.

​“HAHAHAHA! HAHAHAHA!” Tawa gila itu bergaung, menyebar horor ke seluruh koridor.

​Semua orang di sana hanya bisa menelan ludah. Tak ada yang berani bergerak, tak ada yang tahu harus berkata apa.

​“AAAARRGGHHH!”

“HAHAHA! HAHAHA!”

​Tepat satu jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Pasien itu keluar, wajahnya pucat pasi, matanya kosong—seakan jiwanya telah disedot habis. Tidak ada bekas luka fisik yang terlihat, tetapi kengerian mental yang ia bawa sungguh nyata. Entah hal gila apa yang telah dilakukan Ken di dalam sana.

​Pada akhirnya, keesokan harinya, Dokter Ken dipecat dari rumah sakit dengan tidak hormat. Pihak berwenang tidak dapat menangkapnya karena tidak ada bukti kekerasan fisik yang ditemukan pada tubuh pasien, namun perilaku brutal dan tawa gilanya sudah cukup menjadi alasan. Ken pun pergi, menghilang dari Rumah Sakit Utama Teras, membawa serta senyum misterius dan rahasia gila di balik operasi perdananya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca