

Gelap.
Itu hal pertama yang disadari Nareth.
Gelap yang bukan seperti malam biasa, gelap yang padat, berat, seperti kain tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia mencoba menarik napas, tetapi paru-parunya terasa seperti dipenuhi air. Ada panas menusuk di dada, lalu dingin yang merayap ke ujung jari.
Ia tersedak.
Udara akhirnya masuk, kasar, tajam, seolah seseorang menendang kembali nyawanya ke tubuhnya secara paksa.
“A-ah…!”
Suara itu bukan teriakan, lebih seperti napas terpotong yang keluar dari tenggorokan yang kaku.
Tubuhnya melengkung, dan matanya terbuka sangat cepat.
Ia melihat langit-langit tua. Kayu gelap. Retak. Debu jatuh perlahan seperti salju tipis. Lilin-lilin hitam berjejer mengelilinginya, api mereka menari seolah diterpa angin padahal ruangan itu tertutup rapat.
Nareth diam. Terbaring. Mengatur napas.
Hanya satu pertanyaan memenuhi kepalanya:
“Kenapa aku hidup?”
Karena ia ingat.
Sangat jelas.
Ia mati.
Ia bisa merasakan sisa sensasi itu, dingin yang menghancurkan tulangnya, suara jantungnya yang berhenti, kesadaran yang memudar perlahan. Dan sebelum semuanya gelap, ada suara lembut membisikkan namanya.
Sekarang, ia terbaring di tengah ruangan dengan simbol ritual di bawah tubuhnya.
Simbol itu menyala biru, denyutnya mengikuti irama jantungnya.
“Nggak… nggak mungkin.”
Ia duduk perlahan, tangan gemetar. “Aku… benar-benar hidup?”
Ia meraba dadanya. Masih hangat. Masih berdetak.
Tidak ada luka. Tidak ada darah.
Tidak ada tanda bahwa beberapa jam lalu ia seharusnya tidak bernapas lagi.
“Ini… gimana?”
Kegelapan di ruangan itu terasa lebih tebal dibanding biasanya. Seakan dinding-dinding kayu sedang menonton, mengamati kejanggalan yang berdiri di tengah-mereka: seorang manusia yang tidak seharusnya kembali.
Nareth berdiri perlahan. Lututnya goyah.
Setiap sudut ruangan terasa aneh, asing, padahal ini rumah bibinya, rumah tempat ia tumbuh besar.
Tapi sekarang… rumah itu seperti perut makhluk yang tidak ingin melepaskan isinya.
Nareth meraih salah satu lilin hitam.
Anehnya, saat ia mendekat, api lilin itu condong ke arahnya. Bukan karena angin, karena ia….
Seolah tubuhnya menarik cahaya.
“Ini… bukan normal.” Ia berbisik. Suaranya gemetar. “Aku seharusnya mati. Jadi kenapa…”
Pikirannya terhenti.
Di lantai, tepat di luar lingkaran ritual, ada benda yang ia ingat dengan sangat baik: sebuah buku kulit tua.
Buku itu terbuka. Halamannya memancarkan kilau samar.
Ia mendekat perlahan, jantungnya berdegup semakin cepat.
Di halaman itu tertulis:
“Ritus Requiem: Pengembalian tubuh ke wadah semula.
Efek samping: waktu hidup terbatas.”
Dan di bagian bawah halaman tertulis kalimat yang membuat seluruh darahnya membeku.
“Durasi kebangkitan: 11 jam.”
Lalu ada tambahan kalimat, tertulis dengan tinta lebih baru:
“Target: NARETH.”
“Apa…?”
Suara itu keluar begitu pelan, hampir tak terdengar.
Ia mundur beberapa langkah. Jari-jarinya bergetar hebat.
Ini bukan mimpi. Tulisan itu nyata. Halaman itu nyata.
Seseorang atau sesuatu telah menghidupkannya kembali.
Tapi hanya sementara.
Sebelas jam.
Hanya itu waktu yang ia punya.
Setelah itu… apa?
Ia mati lagi?
Tubuhnya membusuk?
Jiwanya hilang?
Nareth memegang kepalanya. Panik mulai merayap di tulang punggungnya.
“Siapa yang ngelakuin ini? Siapa… yang manggil aku balik?”
Haus mendadak menusuk kerongkongannya. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Tapi sebelum ia menyentuh gagang pintu, sesuatu menghentikannya.
Suara.
Bukan suara keras.
Bukan juga bisikan.
Tapi suara jam.
TUK.
TUK.
TUK.
Nareth menoleh.
Jam dinding tua di sudut ruangan bergerak. Padahal jam itu sudah rusak bertahun-tahun. Jarumnya melompat aneh, bergerak liar, sebelum akhirnya berhenti tepat pada angka 11.
Nafas Nareth tercekat.
“Jangan bilang…”
Seolah menjawab ketakutannya, jarum detik jam itu bergerak mundur.
Mundur.
TIK… TIK… TIK…
Sebelas jam.
Itu bukan durasi.
Itu hitung mundur.
Menuju kematian keduanya.
“Kenapa aku? Kenapa sekarang…?”
Ia melemparkan pandang ke sekeliling ruangan.
Lilin.
Simbol ritual.
Buku tua.
Jam berhenti pada angka 11.
Lalu satu hal lagi yang membuat lututnya hampir goyah.
Di lantai, di sisi ruangan, ada bekas tubuh.
Garis-garis samar di lantai kayu, tempat seseorang pernah terbaring cukup lama hingga meninggalkan bayangan gelap.
Bayangan tubuhnya sendiri.
Ia menggigit bibir. Nareth memundurkan langkah.
“Jadi… aku benar-benar mati di sini.”
Ketakutan yang selama ini hanya terasa dalam mimpi, kini terwujud nyata.
Dan ia bangkit di tempat yang sama.
Ia menelan ludah.
“Siapa yang berani ngelakuin ritual beg….”
Tiba-tiba udara menggigil.
Satu suara lembut bergema di ruangan itu.
“Nareth…”
Ia memutar tubuh begitu cepat hingga hampir tersandung.
Seseorang atau sesuatu berdiri di sudut ruangan, di batas antara bayangan dan cahaya lilin.
Tubuh perempuan.
Rambut panjang.
Gaun lusuh.
Mati.
Wajahnya pucat membiru, seperti mayat yang tenggelam di air dingin. Namun matanya… matanya adalah hal paling mengerikan.
Mereka kosong, tapi bergerak mengikuti gerakannya.
Dan Nareth mengenal sosok itu.
“Bi… bibi Rhea…?”
Sosok itu tersenyum, senyum miring yang tidak pernah ia lihat saat wanita itu masih hidup.
“Akhirnya kau bangun…”
Suara itu terdengar dari dua arah sekaligus. Seperti gema dalam mimpi.
Nareth terbelalak. “Bibi? Kamu… kamu hidup? Kamu…”
“Tidak.”
Jawabannya cepat, tajam, dan dingin.
Perempuan itu melangkah mendekat.
Tapi langkahnya tidak menimbulkan suara.
Tidak ada jejak.
Tidak ada bayangan.
Seperti boneka yang digerakkan sesuatu yang tak kasatmata.
“Tapi aku memanggilmu kembali…”
Senyum itu melebar.
“…karena kau harus menyelesaikan yang kubiarkan tak selesai.”
Jantung Nareth hampir berhenti.
“Selesaikan apa?!”
Perempuan itu berhenti hanya satu meter di depannya.
Wajah mayatnya hancur sebagian, ada retakan halus di kulit seperti keramik yang pecah.
“Kutukanmu.”
Nareth mundur.
“Aku nggak ngerti! Bibi, kalau ini kamu tolong berhenti. Kamu menakutkan.”
Sosok itu menunduk sedikit, wajahnya lembut sesaat.
Seakan ingatan hidupnya kembali.
“Kau selalu keras kepala…” bisiknya. “Tapi kau… anakku… satu-satunya.”
Air mata panas mengalir di pipi Nareth tanpa ia sadari.
Ia tidak siap melihat Rhea seperti ini.
Tidak siap menerima bahwa perempuan yang merawatnya sejak kecil kini berdiri sebagai bayangan terkutuk.
“Kenapa…” suara Nareth pecah, “…kenapa kamu bangunin aku?”
Sunyi.
Sosok itu mengangkat tangan. Telunjuknya menunjuk ke jantung Nareth.
Ada kilatan biru samar di dada Nareth.
Simbol kecil, berdenyut.
“Karena waktu di tubuhmu sudah berjalan.”
Suaranya pecah seperti kaca.
“Dan ketika hitungan mundur itu berakhir…”
Ia menatap dalam-dalam mata Nareth.
“…kau akan mati untuk kedua kalinya.”
Nareth terdiam. Membeku.
Sosok itu bergerak semakin dekat.
“Aku memanggilmu kembali… bukan untuk menyelamatkanmu…”
Matanya berubah hitam.
Suara lantainya retak.
Udara menjadi berat.
“…tapi untuk memperbaiki apa yang telah aku rusak.”
Tiba-tiba, tubuh Rhea pecah menjadi kabut hitam. Kabut itu menyelimuti ruangan, melilit kaki Nareth, naik perlahan ke pinggang.
Ia menjerit.
“BERHENTI! JANGAN!”
Kabut itu bergerak lebih cepat.
Sebelum semuanya gelap, suara itu membisik:
“Carilah Luna… sebelum jam itu berhenti.”
Lalu ruangan meledak oleh cahaya biru.
Udara menyembur keluar.
Kabut hilang.
Sosok Rhea lenyap.
Dan Nareth jatuh berlutut sambil terengah-engah.
Ruangan kembali hening.
Lilin padam satu per satu.
Jam berdetak mundur.
10 jam 59 menit.
Nareth mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata.
Ia hidup kembali.
Ia tidak tahu oleh siapa, untuk apa.
Tapi ia tahu satu hal:
Waktunya berjalan mundur.
Dan Luna, siapa pun dia, harus ditemukan sebelum hitungan itu mencapai nol.
Karena setelah itu…
tidak akan ada kebangkitan lagi.