Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Satu Cinta Dua Sahabat

Satu Cinta Dua Sahabat

INeeTha | Bersambung
Jumlah kata
57.7K
Popular
100
Subscribe
21
Novel / Satu Cinta Dua Sahabat
Satu Cinta Dua Sahabat

Satu Cinta Dua Sahabat

INeeTha| Bersambung
Jumlah Kata
57.7K
Popular
100
Subscribe
21
Sinopsis
PerkotaanSekolahPecundang Karya KompetisiCinta Sekolah
Raka Mahardika adalah siswa teladan yang selalu menyenangkan orang lain, menyembunyikan kerapuhannya di balik senyum. Di sisi lain, Reno Aryasatya, mantan anggota geng motor, menjalani hidupnya dengan keras dan impulsif. Keduanya jatuh cinta pada gadis yang sama: Naina Aryani, ketua OSIS yang tangguh dan cerdas, yang memiliki trauma pada 'cowok manis' dan lebih percaya pada mereka yang jujur dengan sisi gelapnya. Bersetting di kota Surabaya, kisah ini menelusuri bagaimana persahabatan tak terduga antara Raka dan Reno menjadi fondasi bagi mereka untuk melawan racun dari keluarga, teman, dan masa lalu. Mereka harus belajar bahwa keberanian bukan tentang tidak pernah takut, tetapi tentang bertindak meski diliputi rasa takut, demi melindungi apa yang paling berharga.
1. Senyum yang Menyembunyikan Luka

Terik matahari Surabaya tak kenal ampun, mengubah aspal lapangan parkir menjadi fatamorgana yang bergetar. Keringat membasahi kerah seragam Raka Mahardika, menempelkan kain putih itu ke tengkuknya. Di sekelilingnya, riuh tawa dan deru knalpot motor menjadi musik latar penutup hari, tetapi Raka masih di sini, di depan ruang guru, menumpuk lima bundel kertas ulangan ke dalam kardus.

"Sudah, Raka. Cukup segitu saja, sisanya biar Ibu yang bawa," suara Bu Anisa, guru Sejarah yang paling dihormati, memecah lamunannya.

Raka menggeleng pelan, senyum yang sudah menjadi refleks terpasang di wajahnya. "Gak apa-apa kok, Bu. Sekalian aja, enteng ini."

"Kamu ini, dari dulu gak pernah berubah. Selalu mau bantu, padahal bukan piketmu, kan?" Bu Anisa menepuk pundaknya pelan, tatapannya penuh apresiasi. "Anak-anak lain udah pada cabut ke mal, kamu malah masih di sini angkut-angkut kertas."

"Ya kan biar kerjaan Ibu cepet beres juga," jawab Raka, mengangkat kardus itu dengan sedikit getar di lengannya. Bebannya bukan hanya soal bobot kertas, melainkan akumulasi lelah yang menumpuk sejak pagi. "Ibu mau taruh ini di mobil?"

"Iya, tolong ya, Nak. Kuncinya ada di kantong Ibu, tolong ambilkan sekalian. Tangan Ibu penuh ini."

"Siap, Bu."

Raka meletakkan kardus itu sejenak, merogoh saku rok Bu Anisa dengan hati-hati, dan menemukan kunci mobilnya. Sebuah tugas kecil, sebuah permintaan tolong yang tak pernah bisa ia tolak. Ia berjalan mendahului gurunya, membelah kerumunan siswa yang masih bergerombol di koridor. Setiap pasang mata yang menyapanya, ia balas dengan senyum dan anggukan sopan. Anak Emas Sekolah, begitu julukannya. Siapa yang tidak kenal Raka? Siapa yang tidak suka pada Raka?

"Wih, Raka! Pahlawan kesiangan lagi beraksi, nih!" seru sebuah suara dari arah mading. Aldi, teman sekelasnya, melambai dengan cengiran lebar. Di sebelahnya, Fira terkikik sambil membetulkan poninya.

Raka hanya tersenyum tipis. "Biasa, di."

"Lapo, Rek? Kok kayak kuli panggul gitu?" Fira menimpali, matanya menelisik kardus yang dibawa Raka.

"Bantuin Bu Anisa bentar," jawabnya singkat, terus berjalan menuju parkiran guru.

"Weh, tunggu sik, Ka!" Aldi berlari kecil menyusulnya, langkahnya ringan tanpa beban. "Ada perlu penting ini, menyangkut hidup dan mati."

Raka berhenti, sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berujung. Ia menatap Aldi, berusaha menjaga senyumnya agar tidak luntur. "Penting gimana?"

Aldi menepuk pundak Raka akrab, terlalu akrab. "Gini lho, Rek. PR Fisika dari Pak Bowo itu lho, aku blas gak mudeng, Cuk. Mumet pol kepalaku. Koen kan dewa-nya Fisika."

Firasat Raka terbukti benar. Di dalam kepalanya, sebuah kata sederhana terbentuk dengan jelas: *tidak*. Kata itu terasa begitu asing, begitu berat, seolah terbuat dari timah panas yang siap membakar lidahnya jika diucapkan.

"Oh, yang bab momentum itu?" Raka bertanya, suaranya terdengar lebih tenang daripada badai di dalam dadanya.

"Nah, itu dia!" Aldi menjentikkan jarinya. "Aku lihat catetanmu kemarin, rapi banget. Rumusnya juga lengkap. Aku pinjem semalem ya? Eh, gak usah pinjem deh." Aldi berhenti sejenak, memasang wajah memelas yang sudah sering ia gunakan. "Sekalian kerjain punya aku, ya? Please. Cuma lima soal kok. Besok pagi aku traktir es teh di kantin."

Lima soal. Hanya lima soal. Tapi Raka tahu, lima soal Fisika dari Pak Bowo bisa memakan waktu dua jam jika ingin jawaban yang sempurna. Dua jam dari waktu istirahatnya yang sudah terkikis habis.

"Gimana, Ka?" Fira ikut mendekat, menyenggol lengannya. "Kasihan lho Aldi ini. Nanti nilainya anjlok lagi, bisa gak naik kelas dia."

"Iya, Ka. Tulungin ya? Koen kan pinter sekaligus baik hati," Aldi menambahkan, menekan tepat di titik kelemahan Raka.

Raka menelan ludah. Kata *tidak* itu kembali muncul, lebih besar, lebih mendesak. Ia ingin sekali meneriakkannya. *Tidak, aku capek. Tidak, kerjakan sendiri. Tidak, aku juga butuh istirahat.* Tapi yang keluar dari mulutnya adalah melodi yang sudah sangat ia hafal.

"Oh, ya udah," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Sini bukunya. Nanti malem aku kerjain."

Wajah Aldi dan Fira langsung cerah. Seolah matahari baru saja terbit khusus untuk mereka.

"Seriusan, Ka?! Wah, penyelamat emang koen, Cuk!" Aldi langsung menyodorkan buku tulisnya yang lecek. "Makasih banyak lho, ya! Utang budi aku sama kamu."

"Makasih ya, Raka!" Fira tersenyum manis. "Kamu emang temen paling baik sedunia."

Raka hanya mengangguk, menerima buku itu dengan tangan yang terasa berat. Ia selipkan di antara tubuh dan kardus yang ia dekap. Setelah Aldi dan Fira berlalu sambil tertawa riang, meninggalkannya sendirian di tengah koridor yang mulai sepi, senyum di wajah Raka akhirnya luruh. Tergantikan oleh ekspresi lelah yang begitu dalam, yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

Ia melanjutkan langkahnya ke parkiran, membuka bagasi mobil Bu Anisa, dan meletakkan kardus itu dengan hati-hati.

"Terima kasih banyak ya, Raka. Kamu benar-benar sudah menolong Ibu," kata Bu Anisa tulus saat Raka mengembalikan kuncinya.

"Sama-sama, Bu," jawab Raka, kembali memasang senyum andalannya. "Saya permisi pulang dulu."

Langkahnya terasa gontai menuju parkiran siswa. Panas Surabaya sore itu seakan menyedot sisa-sisa tenaganya. Ia duduk di atas jok motornya, tidak langsung menyalakannya. Ia hanya diam, menatap gerbang sekolah yang ramai. Semua orang tampak punya tujuan, punya energi. Sementara dirinya merasa kosong. Baterainya habis.

Untuk apa semua ini? Untuk disebut 'baik'? Untuk disukai semua orang? Rasanya seperti memainkan sebuah peran dalam drama yang tak pernah berakhir, dan ia mulai lupa bagaimana rasanya menjadi dirinya sendiri. Lelah ini bukan lelah fisik, melainkan lelah jiwa yang terkikis sedikit demi sedikit setiap kali ia mengorbankan dirinya untuk ekspektasi orang lain.

Getar di saku celananya membuyarkan lamunannya. Ia merogoh ponselnya. Sebuah pesan singkat dari Ibunya menyala di layar. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang, sebuah refleks yang selalu muncul setiap kali nama 'Ibu' tertera di notifikasi. Dengan napas tertahan, ia membuka pesan itu.

Tolong jemput adikmu di tempat les sekarang. Dan jangan sampai Ibu kecewa dengan nilai raportmu minggu depan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca