

Bab 1.Mendadak Jatuh Miskin
Suasana tegang sedang berlangsung di kediaman Tuan Johan Regantara. Beberapa orang jurusita negara sedang menghitung semua aset untuk dilelang bulan depan!
“Kalian harus segera pindah dari mansion ini!” ucap Jurusita lantang.
“Tidak bisa! Masalahnya belum selesai!” bantah Tuan Regantra sangat shock.
“Dengar, semua asset Tuan Johan Regantara sudah disita negara! Regantara Group sudah dinyatakan pailit!” ucap Jurusita pada Tuan Johan Regantara dan Marina istrinya.
Tuan Johan pun terduduk lemas hingga napasnya sesak.
“Mas! Mas jangan pingsan, tolong pak! Suami saya kena serangan jantung!” pekik Marina panik.
Petugas Jurusita melengos. “Maaf Bu, kami di sini hanya bertugas menghitung asset Regantara Group saja!”
“Tapi, Pak…, please!”
“Perkara kondisi Tuan Johan, silakan hubungi keluarga terdekat saja. Permisi!”
Sebuah moge Harley DRK Special memasuki halaman depan mansion.
Seorang pemuda tampan, berambut agak gondrong, gegas membuka helm saat melihat dua orang tamu tak dikenalnya buru-buru keluar dari dalam rumah.
Hatinya tak tenang, terlebih ia mendengar suara tangis sang mama meminta tolong.
“Tolong suamiku! Panggilkan ambulans!”
Arga Regantara gegas mengejar dua tamu tadi dengan wajah marah.
“Hei Kalian berhenti!” seru Arga kasar.
Dua jurusita terlalu asyik melihat data di ponselnya hingga mengabaikan kemunculan Arga di sana. Keduanya menoleh.
“Kamu siapa? Tidak sopan!”
“Kalian apain papa gua, sampai mama gua teriak minta tolong?!” maki Arga emosi sebelum tahu duduk persoalannya.
Kedua jurusita saling pandang lalu menoleh pada moge Harley yang baru terlihat olehnya.
“Ini motormu?” tanyanya tajam.
“Mau apa lo sama motor gua? Sana! Jangan sentuh motor gua!” tegur Arga marah seraya menepis tangan si Jurusita yang sedang memeriksa kondisi motor.
Jurusita mengabaikan kemarahan Arga, ia menoleh pada rekannya.
“Periksa, apa ada datanya di laporan itu?”
Kening Arga mengerut. “Kalian ini siapa, sih? Dateng ke rumah gua bikin nyokap nangis-nangis!”
Jurusita tidak peduli pada Arga, dan masih merogoh data laporan mengenai motor Arga.
“Ada, tertera! Ini, satu unit Harley Davidson RKS senilai 988 juta!”
“Cepat ambil kuncinya! Motor itu juga disita!” ucap si Jurusita kasar dengan mata tajam menatap Arga.
“Hargai orang tua,dek! Belajar sopan santun, keluargamu, tuh, sekarang sudah jatuh miskin!”
“A-pa? Nggak mungkin!” Arga mulai panik
“Mansion ini sudah bukan milik keluarga Regantara, besok pagi sudah harus dikosongkan!”
Arga Regantara terga-gap. “Apa maksudnya? Jangan main sita-sita saja!”
“Arga… nak, tolong papa, nak!” teriak Nyonya Marina dari dalam. Suaranya terdengar menyayat.
Arga tambah bingung. Dia belum menyadari sepenuhnya kondisi keluarganya saat ini. Dia masih menunggu jawaban dari kedua jurusita.
“Sudahlah, ini bukan urusanmu, dek! Sana, bantu mamamu! Itu lebih penting! Papamu sudah bangkrut!” ucap si Jurusita seraya merebut kunci moge dari tangan Arga.
“Bangkrut? Ti-dak mungkin! Ma… Pa!” ucap Arga terbata lalu berteriak seraya berlari ke dalam.
Suasana rumah Arga tampak sepi, matanya mencari para pembantu ke sekeliling ruangan. Tak terlihat satupun.
“Arga,” ucap Nyonya Marina sendu. “Bantu papamu, Nak.”
Arga berlari menghampiri Tuan Johan yang terkulai lemah di sofa. Arga melihat tulisan ‘milik negara’ pada sofa mahal yang sedang diduduki kedua orang tuanya.
“Arrgh!” teriak Arga kesal meninju sofa berkali-kali.
“Pa? Kenapa papa bisa pailit? Apa yang salah?” teriak Arga marah dengan sudut mata basah.
“Papa kena tipu orang, Nak,” ucap Tuan Johan dengan suara tersengal. Napasnya masih sesak.
Perlahan Arga berlutut di hadapan Tuan Johan yang berbaring di sofa.
“Katakan, Pa! Siapa orangnya? Selagi masih ada Arga, nggak akan Arga biarkan papa ditipu orang!” ucapnya marah seraya mengguncang lengan Tuan Johan.
Napas Tuan Johan makin tersengal. “Papa kurang kenal, Nak. Ma, hubungi adikmu. Malam ini kita harus pindah.”
Arga terduduk di lantai. Dia mulai histeris.
“Papa! Arga nggak mau miskin! Arga nggak bisa hidup miskin, Pa!”
Nyonya Marina menggeleng, dia memilih mengabaikan putranya yang shock berat.
“Mama harus bawa papa ke dokter, Arga. Kamu tunggu di sini, sampai Om Daud datang. Kita akan menumpang sementara di rumahnya sampai dapat kontrakan.”
“Apa? Numpang? Nggak bisa, Ma? Mama, kan, tahu gimana juteknya Samsul sama aku!” Arga langsung protes.
Dia ingat betul akan Samsul putra Om Daud, yang selalu iri kepadanya selama ini. Mereka sering berseteru tanpa sepengetahuan kedua orang tua mereka selama ini.
“Untuk sementara saja, Arga! Mama sama papa nggak punya pilihan!”
Tak lama setelah kepergian Nyonya Marina membawa Tuan Johan ke rumah sakit, sebuah mobil sedan kelas menengah masuk ke halaman depan mansion Regantara.
Tiga orang bergegas turun dari mobil sedan itu.
“Arga? Di mana, Lo?” tanya seorang remaja laki-laki dengan raut wajah sinis seraya masuk ke dalam mansion.
“Jangan berteriak, Samsul! Mungkin saja Arga masih di kamarnya!” ucap seorang lelaki berusia 37 tahun pada putranya.
“Kamar? Ngimpi! Papa lupa kalau mansion ini sudah disita!” ucap Samsul dengan lantang.
“Kabarnya semua kunci rumah ini sudah dipegang jurusita. Lihat aja barang-barang ini sudah dilabeli. Malam ini mau diangkut semua!”
Arga mendengar suara itu, dan segera mendatangi sumber suara. Seperti yang dia duga, Samsul datang.
Maka, setelah Samsul menjelaskan mengenai barangnya yang disita, ia langsung menyambutnya dengan tidak ramah.
“Mau apa kalian kemari?” tanya Arga malas.
Dia sengaja menunjukkan batang hidungnya pada adik bungsu mamanya, Om Daud. Juga pada Samsul, sepupunya yang sombong.
“Pantas saja, lo langsung kabur dari sekolah! Kayaknya lo takut ketahuan sama anak-anak kalau lo sudah jadi orang miskin sekarang, Ga!” ejek Samsul terang-terangan.
“Samsul!” tegur Om Daud agak marah. “Jaga ucapanmu, jangan bikin Arga makin sedih.”
Arga mendengkus.
“Udah, deh! Kalian pergi saja sana! Jangan pura-pura baik. Gue sama mama kagak butuh bantuan kalian!” ucap Arga sengit.
Om Daud menahan sabar. Dia mendekati Arga.
“Mama kamu sudah banyak membantu Om dulu. Sekarang, biar Om yang bantu kalian. Ayo ikut pulang ke rumah Om.”
Arga menggeleng.
“Nggak, Om! Aku nggak bisa tinggal bareng Samsul. Dari pada bikin rumah Om nggak tenang. Om pulang saja. Soal mama biar aku nanti yang urus. Makasih niat baiknya, Om!” ucap Arga tegas.
Raut wajah Om Daud langsung berubah masam.
“Kamu jangan keras kepala, Arga! Om berniat baik. Sudahlah, kamu sekarang ini memang sedang dalam kondisi sulit!”
Arga masih diam tak menanggapi.
“Nurut aja sama Om. Ikut Om pulang. Malam ini rumah akan digembok sama jurusita. Tuh, di luar, para polisi mulai berjaga.”
Arga berpikir keras. Dia mencoba berpikir cepat.
“Om, serius. Aku nggak bisa tinggal sama Om. Soal bantuan mama dulu, jangan diinget-inget, deh! Mama bantu orang nggak butuh balas budi! Silakan Om pulang saja!” tegas Arga sekali lagi.
Dia masih menjaga harga dirinya meski sudah jatuh miskin.
Samsul mencebik. “Payah lo! Sudah tahu miskin masih aja sombong! Sadar, Arga! Lo itu sudah jadi gembel!”
Tangan Arga mengepal marah. Dia menatap tajam Samsul.
“Tutup mulut lo, Samsul! Gua tonjok ntar kalo kagak bisa diem! Mulut lo bau bangke! Sialan!”
“Eh belagu! Dasar gembel! Sadar, Ga! Miskin lo sekarang. Inget, orang miskin dilarang ngegas kalo ngomong!” jawab Samsul seraya maju menghampiri Arga.
Bugh!
Tinju Samsul diarahkan ke perut Arga. Namun meleset. Arga berkelit lalu tangannya menarik tinju Samsul dan memitingnya ke belakang.
“Biar miskin Gua masih punya harga diri! Gua cuma miskin, Samsul! Bukan PENGEMIS!”
Tiba-tiba….
“Permisi! Maaf Silakan ribut diluar! Kalian bisa merusak asset negara!”