Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Cinta dalam Genggaman Cendana

Cinta dalam Genggaman Cendana

Layla Ant | Bersambung
Jumlah kata
46.2K
Popular
118
Subscribe
49
Novel / Cinta dalam Genggaman Cendana
Cinta dalam Genggaman Cendana

Cinta dalam Genggaman Cendana

Layla Ant| Bersambung
Jumlah Kata
46.2K
Popular
118
Subscribe
49
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeKonglomeratBalas DendamPria Miskin
Arjuna Maheswara, seorang developer muda yang terlilit hutang 5 miliar dan dihujani aib setelah pernikahannya batal, terpaksa menerima tawaran Ratna Sastrowardoyo, taipan Cendana Group yang dingin dan ambisius. Pernikahan kontrak dua tahun ini adalah solusi Ratna untuk memblokir perebutan kekuasaan dari anak-anak tirinya, Daniel dan Sofia. Arjuna, yang awalnya hanya pion, menemukan dirinya terjerumus dalam sangkar emas Cendana, di mana ia harus berhadapan dengan intrik korporasi, sabotase internal, dan pertempuran politik keluarga yang kejam. Meskipun awalnya membenci situasinya, Arjuna secara bertahap membuktikan kecerdasannya, kepemimpinannya, dan loyalitasnya, mengubah statusnya dari suami sewaan menjadi aset berharga. Tanpa disadari, hubungan antara Arjuna dan Ratna berkembang melampaui formalitas kontrak, memunculkan perasaan rumit di tengah badai krisis pengambilalihan perusahaan yang dipicu oleh Daniel dan Sofia. Mereka harus bersatu, mempertaruhkan segalanya, bukan hanya untuk menyelamatkan Cendana, tetapi juga untuk masa depan hubungan mereka yang tak terduga.
1.Puing-puing Lima Milyar

Desingan mikrofon itu masih menggantung, bergema memantul di dinding *ballroom* yang megah, menusuk telinga Arjuna seperti ribuan jarum. Setiap tatapan, setiap bisikan yang entah datang dari mana, terasa seperti ludah yang menghujam tepat di wajahnya.

Panggung pernikahan yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, kini berubah menjadi altar pengorbanan harga diri. Meja-meja bundar yang dihiasi bunga segar dan lilin mahal, seolah berubah menjadi meja-meja juri yang menghakimi. Aroma melati yang semestinya semerbak cinta, kini terasa seperti bau kematian.

“Arjuna?” Suara itu tiba-tiba memecah kebisuannya, lembut namun tegas, datang dari samping.

Arjuna tersentak, menoleh. Seorang wanita paruh baya, rapi dalam setelan blazer abu-abu gelap, berdiri di sampingnya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi simpati, hanya profesionalisme yang dingin.

Rambutnya disanggul tinggi, kacamata bertengger di hidungnya yang mancung. Dia memegang sebuah amplop cokelat berukuran sedang.

“Saya Asisten Nyonya Sastrowardoyo,” katanya, suaranya pelan, hampir berbisik, namun memiliki otoritas yang tak terbantahkan. Tidak ada basa-basi, tidak ada belasungkawa atas aib yang baru saja ia alami.

“Ada pesan untuk Anda.”

Arjuna merasakan darahnya mendidih. Pesan? Di tengah kekacauan ini? Apakah ini semacam ejekan? Atau mungkin mantan tunangannya, si bajingan itu, masih belum puas dan mengirim orang untuk mempermalukannya lebih jauh?

“Pesan apa?” tanya Arjuna, suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia berusaha menahan gemetar di tangannya.

Wanita itu hanya mengulurkan amplop itu, tidak memaksa, namun tatapannya seolah berkata, *ambil saja, kau tak punya pilihan*.

“Nyonya Ratna mengundang Anda ke ruang VIP di lantai dua. Sekarang.”

Ruang VIP? Untuk apa?

Arjuna merasa bingung. Otaknya masih berputar-putar mencoba memproses rentetan peristiwa yang baru saja menghancurkan hidupnya. Pembatalan pernikahan, tatapan jijik dari para tamu, dan sekarang, seorang asisten misterius dengan amplop berisi undangan.

“Saya rasa, saya tidak bisa,” Arjuna mencoba menolak, meskipun suaranya lebih terdengar seperti sebuah permohonan. Ia hanya ingin kabur, menghilang dari muka bumi.

Asisten itu mengangkat satu alisnya, ekspresi yang nyaris tak terlihat namun cukup untuk membuat Arjuna merasa semakin kecil.

“Ini sangat mendesak, Tuan Arjuna. Ini menyangkut… masa depan Anda.”

Masa depan? Apa lagi yang bisa lebih buruk dari saat ini? Arjuna menatap amplop itu, lalu kembali menatap wanita itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak bisa diartikan, sebuah campuran antara perintah dan ancaman yang terselubung. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia meraih amplop itu.

“Terima kasih,” gumam Arjuna, tanpa sadar.

Asisten itu hanya mengangguk tipis.

“Nyonya Ratna menunggu Anda. Jangan buat beliau menunggu terlalu lama.” Lalu, ia berbalik dan melangkah pergi, menghilang di antara kerumunan tamu yang masih berbisik-bisik.

Arjuna berdiri sendirian di tengah panggung yang kini terasa seperti gurun pasir. Amplop di tangannya terasa berat, seolah berisi seluruh beban dunia. Ia merobek segelnya dengan hati-hati, tangannya masih gemetar. Di dalamnya, ada beberapa lembar dokumen.

Matanya menyapu deretan angka dan nama. Lima miliar rupiah. Jaminan properti. Nama orang tuanya. Dan sebuah nama perusahaan yang familiar: Cendana Group.

Sebuah pukulan telak menghantamnya. Lima miliar. Itu adalah jumlah hutang yang ia miliki, yang diakibatkan oleh investasi bodong mantan tunangannya. Hutang yang ia kira sudah ditangguhkan—atau setidaknya, akan ia cari cara untuk melunasinya secara perlahan. Tapi sekarang, rinciannya ada di sini, di amplop ini, seolah-olah ditagih secara langsung.

*Lima miliar? Bagaimana bisa? Aku sudah kehilangan segalanya. Harga diriku, masa depanku… apa lagi?*

Ia ingat pesan singkat yang masuk ke ponselnya, sekitar lima jam yang lalu, saat ia masih sibuk dengan persiapan akhir pernikahan. Sebuah notifikasi transfer bank. Transfer terakhir dari rekening tunangannya, dengan jumlah yang nyaris tidak berarti jika dibandingkan dengan total hutang yang ia tanggung.

*“Maaf, Arjuna. Aku tidak bisa lagi,”* begitu isi pesan singkat terakhir dari mantan tunangannya, yang kini terngiang lagi di kepalanya.

*“Dana terakhir sudah kutransfer. Semoga kau bisa mengurus sisanya.”*

Sisa? Sisa apa? Lima miliar itu bukan sisa, itu adalah bencana! Ia telah menanggung semua kerugian demi menutupi aib tunangannya, demi menjaga nama baiknya di mata keluarga. Tapi ia ditinggalkan, bukan hanya dengan hutang, tapi juga dengan aib yang jauh lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Kini, amplop ini adalah pengingat yang kejam. Cendana Group. Salah satu konglomerat terbesar di negeri ini. Mereka adalah krediturnya. Dan Ratna Sastrowardoyo, CEO Cendana, adalah dewi kematian yang kini memegang takdirnya.

Arjuna merasakan dua dorongan kuat yang bergejolak di dalam dirinya. Pertama, keinginan untuk melarikan diri. Untuk menghilang, membuang amplop ini, dan tak pernah lagi menoleh ke belakang. Biarlah hutang ini jadi kutukan, ia akan memulainya dari nol, di tempat yang tak ada seorang pun mengenalnya. Harga dirinya sudah hancur, apalagi yang bisa hilang?

*Kabur saja, Arjuna. Tinggalkan semua ini. Mulai hidup baru. Kau tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.*

Tapi dorongan kedua datang, dingin dan pragmatis. Nama orang tuanya tertera di dokumen jaminan hutang itu. Aset mereka. Rumah mereka. Jika ia kabur, semua itu akan disita. Orang tuanya akan hancur, bukan hanya finansial, tetapi juga mental. Mereka tidak pantas menerima ini. Mereka sudah cukup menderita karena keputusan bodohnya.

*Tidak. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku harus melindungi mereka.*

Sebuah percikan api kecil menyala di dasar hatinya yang hancur. Bukan api amarah, melainkan api tanggung jawab. Harga dirinya memang telah hancur, namun naluri untuk melindungi keluarganya masih utuh. Ia harus menghadapi ini. Ia harus tahu seberapa dalam ia terjerumus.

“Baiklah,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya sedikit lebih mantap.

“Aku akan hadapi.”

Dengan langkah gontai, Arjuna meninggalkan panggung. Ia berjalan melewati tatapan-tatapan aneh, bisikan-bisikan yang kini tak lagi ia pedulikan. Kakinya melangkah naik ke lantai dua, menuju area VIP yang ditunjukkan oleh asisten tadi. Setiap anak tangga terasa seperti beban berton-ton, setiap hembusan napas terasa berat.

Koridor di lantai dua lebih sepi, karpet tebal meredam suaranya. Ada beberapa pintu kayu jati yang kokoh, dengan ukiran detail yang rumit—ciri khas Cendana Group, perusahaan furnitur dan properti mewah. Arjuna berhenti di depan pintu paling ujung, ada plat kecil bertuliskan ‘VIP Lounge’.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh. Ini bukan lagi tentang pernikahan yang gagal, ini tentang kelangsungan hidup keluarganya. Ini adalah babak baru, yang lebih gelap, lebih kejam.

Dengan tangan yang kini lebih mantap, ia meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Pintu itu terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti tirai beludru merah dan aroma tembakau cerutu yang pekat. Di tengah ruangan, di balik meja mahoni berukir indah, seorang wanita duduk. Sosok yang akan mendefinisikan sisa hidupnya.

Nyonya Ratna Sastrowardoyo.

Lanjut membaca
Lanjut membaca