

"Ya Allah, Nek... Nek bangun, Nek!
Raffi segera menghampiri Mbah Marni yang sudah tergeletak di samping meja kayu reog dengan
posisi tertelungkup.
Tangannya yang kotor dan kurus itu terlihat gemetar hebat saat mencoba
membangunkan neneknya berulang kali.
Ketakutan yang sama sejak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di usia enam tahun kini
menyeruak lagi.
Di hadapannya, satu-satunya keluarga yang ia punya tergeletak tak berdaya.
"Nek... Nek, bangun, Nek... Ini Raffi, Nek..." suaranya tercekat, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh ketakutannya sendiri.
Dari menepuk pipi yang mulai keriput, hingga menggoyangkan badan ringkih itu dengan hati-hati, sampai terus mengusap rambutnya yang sudah memutih sempurna, namun tak ada respons. Mbah Marni tetap saja tak mau membuka mata.
"Bagaimana ini?" Raffi benar-benar tak bisa berpikir jernih. Otaknya terasa buntu. Pemuda itu lalu berdiri untuk sesaat, menatap sekelilingnya dengan nanar, sebelum tiba-tiba langsung berlari keluar dan berteriak panik meminta tolong.
"Tolong! Tolong! Nenekku pingsan! Tolong...!" Raffi terus berlari keluar dari gang sempit itu,
mencoba mencari seseorang yang mungkin bisa membantunya.
Perlahan air matanya mulai mengalir deras,
bercampur dengan keringat yang membasahi wajahnya yang kotor.
Tanpa di duga, ekor matanya menangkap sekumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras warung yang biasa dijadikan tempat untuk saling mengobrol dan saling bergosip.
Raffi yang berlari dalam keadaan panik sempat terjatuh tersandung batu, membuatnya terjerembab ke aspal rusak yang berlubang di dalam penuh kerikil tajam.
Tanpa sengaja lututnya terkena batu tajam hingga berdarah. "Akh..." pemuda itu meringis kesakitan, tapi ia tak punya waktu meratapi lukanya.
Raffi bangkit kembali.
"Pak, Bu... Tolong! Nenek... Nenekku pingsan, Pak! Tolong!"
Namun, yang ia dapat hanya lirikan sinis dan dingin tanpa ekspresi dan belas kasihan. Mereka terus melanjutkan obrolan, seolah tak mendengar apa pun.
Pemilik warung yang sedang duduk menikmati kacang rebus justru menjawab dengan enteng, "Kalau nenekmu itu pingsan, ya biarkan saja, Raffi. Dia itu sudah tua. Dibawa ke rumah sakit pun hanya
menghabiskan uang."
"Benar. Lagian, kalau kau minta kami bantu, emang kau punya uang untuk mengganti bensin? Nanti malah kami yang nombok," sahut yang lain.
Raffi yang sudah ketakutan membayangkan kehilangan neneknya langsung berlutut di depan tiga wanita dan dua pria yang bekerja sebagai tukang ojek di daerah itu.
Ia menggenggam tangan mereka, memohon dengan air mata yang terus mengalir. "Aku mohon, Pak, Bu... Nanti berapa pun
biayanya akan aku ganti."
Salah satu tukang ojek tertawa sinis. "Raffi, kau itu masih kecil tapi keras kepala. Mau ganti uang kami? Kau dan nenekmu saja makan sekali sehari susah, kok mau bayar kami?!"
Mendengar itu, Raffi terdiam. Dalam kepalanya, bayangan-bayangan lama muncul begitu saja... begitu jelas, dan menyakitkan.
Seperti di saat ia harus mengumpulkan botol plastik dari selokan yang baunya sangat busuk, sementara mereka semua hanya menutup hidung dan memandanginya seperti sampah.
Bahkan di saat ia sama sekali tak mendapatkan uang, dan hanya bisa mengisi perutnya dengan air, Raffi tak pernah sekalipun meminta belas kasihan pada mereka.
Hingga ia tak punya pilihan selain memikirkan cara yang lain. Dan saat itu, ada seorang pemuda yang sering membuat konten hiburan di media sosial mendekatinya, dengan menawarkan sebungkus nasi jika Raffi bersedia ikut dalam video yang sudah jelas untuk mempermalukan dirinya sendiri.
Raffi ingat jelas bagaimana suara tawa pemuda itu saat ia pura-pura terjatuh, bersedih, dan menangis dengan mengais sampah di depan kamera. Ia terpaksa menerima penghinaan itu hanya demi sesuap nasi untuknya dan nenek.
Dan kini, ia melihat orang-orang kembali menertawakannya lagi di saat neneknya kritis.
Dunia yang sama yang tetap membuatnya terus berlutut, seolah meminta Raffi tetap diam, menjadi sampah dalam kemiskinan.
Raffi perlahan berdiri dan mengepalkan tangan. "Kalian benar-benar jahat! Kalian tak punya hati sama sekali!" ucapnya pelan, penuh dengan emosi.
Salah seorang pria mendorong Raffi cukup keras, "He.. Kau itu anak kecil dengan orang tua tidak ada sopan-sopannya!"
Tubuhnya hampir jatuh ke belakang, namun sebuah tangan keriput menahannya dengan cepat. "Astagfirullah, ada apa ini?"
Raffi segera menoleh. Wajah teduh dan tatapan hangat Mbah Wanto membuat hatinya sedikit menghangat di tengah dunianya yang terasa begitu kejam. "Mbah, tolong bantu aku, Mbah. Nenek pingsan di kamar."
Mbah Wanto tanpa ragu menarik tangan Raffi. "Ayo cepat, di mana Mbah Marni? Kita bawa ke rumah sakit sekarang."
~~~~
Kini Raffi dan neneknya sudah duduk di becak tua milik Mbah Wanto. Kakek itu mengayuh sekuat tenaga menembus kepadatan jalan menuju rumah sakit terdekat.
Begitu sampai, Mbah Wanto langsung menggendong Mbah Marni masuk dan melakukan pendaftaran. Raffi terlihat mengikuti dari belakang tanpa banyak bicara.
Saat neneknya dibawa ke ruang perawatan, Mbah Wanto mendekati Raffi yang mondar-mandir di depan pintu. "Raffi, kakek cuma bisa bantu sampai di sini. Untuk pendaftaran sudah kakek lunasi,
tapi yang lain..." Pria tua itu tampak menunduk.
Raffi langsung menggenggam tangan keriput itu. "Tidak apa-apa, Kek. Saya sudah sangat
berterima kasih."
Mbah Wanto tersenyum tipis. "Ya sudah, jaga nenekmu baik-baik. Kakek pulang dulu,"
Beberapa jam kemudian, dokter keluar memberi kabar bahwa Mbah Marni hanya perlu dirawat beberapa hari.
Raffi merasa lega. Namun rasa lega itu lenyap seketika saat ia melihat biaya yang
harus dibayarnya. Untung saja rumah sakit itu memberi waktu dua hari untuk melunasinya.
Malam hari di mana Mbah Marni sudah tertidur pulas, Raffi memilih untuk keluar dari rumah sakit, sekedar berjalan menyusuri trotoar tanpa arah.
Hujan turun lagi dengan cukup deras, sesekali petir menyambar langit. Namun Ia tak peduli. "Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mendapatkan uang tujuh ratus ribu dalam dua hari?" gumamnya lirih.
Tanpa sadar ia berhenti di bawah tiang listrik dekat taman kota yang sepi. Ia mendongak ke langit dengan memejamkan kedua mata.
Membiarkan air hujan membasahi wajahnya.
Suara guntur menggelegar keras, sangat dekat. Raffi terlonjak kaget dengan membuka matanya lebar-lebar.
Saat itu juga, sebuah garis putih menyambar dari langit, turun cepat ke arahnya.
JEDDER!!!
Dentuman keras menggema, detik itu juga tubuh Raffi terasa terbakar hebat. Ia jatuh terlentang, tubuhnya bergetar hebat, dadanya naik turun cepat menghantam trotoar, "Akh...!" pekiknya.
Ia merasakan sakit yang begitu luar biasa, seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. “Tidak… aku tidak boleh mati sekarang."
Raffi sadar bahwa dirinya baru saja tersambar petir.
Beberapa detik kemudian tubuh pemuda itu kembali terdiam. Namun di saat ia yakin kematian sudah di depan mata, suara berat dan agung menggema dalam kepalanya. “Bangunlah… Nak!”
****