

Langit pagi itu pucat dan datar, seolah enggan memberikan semangat kepada siapa pun yang memandangnya. Di dalam rumah kecil berdinding semen yang warnanya mulai kusam, Zul Qodra berdiri mematung di depan pintu kayu tua kamarnya. Di sana, terbingkai rapi, tergantung secarik kertas yang seharusnya menjadi kebanggaan seorang lulusan diploma: ijazah D3 Teknik Listrik miliknya.
Ia menatap ijazah itu lama, seperti sedang menunggu jawaban dari benda yang tidak bisa bicara. Tetapi ijazah itu tetap sama saja seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya: diam, angkuh, dan entah mengapa terasa makin menjauh dari makna yang dulu ia kejar mati-matian.
Nama ZUL QODRA tercetak tebal, yang seharusnya menjadi tanda kemenangan setelah bertahun-tahun belajar di STM jurusan listrik lalu melanjutkan ke D3 Teknik Listrik. Namun setiap kali ia melihatnya, rasa getir justru semakin berat di dadanya. Di samping bingkai itu, di dalam map cokelat lusuh, tersimpan transkrip nilai yang tidak buruk, tapi juga tidak cukup kuat untuk membuat mata HRD menoleh dua kali.
“Nilai di bawah standar kami.”
Kalimat itu begitu sering ia dengar sampai-sampai rasanya seperti suara latar kehidupan sehari-hari.
Zul menarik napas panjang dan duduk di tepi ranjang. Udara di kamarnya terasa lembap, menyatu dengan perasaan sesak yang sudah menumpuk bertahun-tahun. Ia memejamkan mata, dan suara-suara masa lalu bermunculan begitu saja, suara teman-temannya yang dulu bilang:
“Yang penting lulus, Zul.”
“Nilai cuma angka.”
“Nanti di dunia kerja yang dilihat kemampuan.”
Nyatanya, dunia kerja yang ia hadapi tidak sebaik itu. Kemampuan memang penting, tetapi perusahaan akan membuka pintu hanya setelah melihat angka dan angka itulah yang membuat jalan Zul selalu buntu.
---
Pagi itu, Zul sudah menyiapkan diri untuk melamar ke sebuah perusahaan konstruksi yang sedang membuka lowongan teknisi lapangan. Walaupun lulusan listrik, ia yakin bisa. Ia terbiasa mengutak-atik mesin, peralatan, kabel, panel, semua hal teknis. Ia pernah bekerja di bengkel mesin, pernah menjadi tukang las, pernah ikut proyek bangunan, bahkan kadang menjadi juru masak di acara kampung jika ada orang yang butuh tenaga tambahan.
Zul tipe orang yang tangannya tidak pernah mau diam. Kreatif, cepat paham, dan punya banyak pengalaman lapangan dibandingkan banyak lulusan lain yang hanya belajar teori. Tetapi tetap saja, semua itu tidak tercantum di ijazah dan tidak tercatat di nilai.
Ia mengancingkan kemeja birunya, satu-satunya yang masih terlihat rapi untuk wawancara kerja.
“Bismillah… semoga hari ini lebih baik,” gumamnya.
Saat hendak keluar kamar, ibunya muncul membawa sepiring nasi dan telur dadar tipis. Wanita itu berwajah teduh, meski garis lelah tampak jelas di matanya.
“Makan dulu, Zul. Jangan pergi perut kosong,” katanya sambil tersenyum lembut.
Zul menerima piring itu. “Makasih, Bu.”
Ibunya duduk di depannya.
“Kamu ke perusahaan mana hari ini?”
“Yang di Jalan Raya Setiabudi, Bu. Katanya butuh teknisi lapangan.”
Ibunya mengangguk. “Semoga mereka lebih lihat kemampuan daripada nilai.”
Zul hanya tersenyum tipis. Ia tahu ibunya berusaha menenangkannya, tapi ia juga tahu betapa besar harapan wanita itu. Zul bukan hanya berjuang untuk dirinya, tapi juga untuk ibunya yang sejak dulu membanting tulang agar anaknya lulus sekolah dan kuliah.
---
Perjalanan menuju perusahaan itu membawa Zul melewati deretan gedung tinggi. Setiap bangunan ia amati dengan campuran rasa kagum dan getir. Ia tahu cara kerja kabel listrik di dalamnya. Ia bisa membaca rangkaian panel yang mengatur pasokan tenaga. Ia bahkan bisa memperbaiki generator yang rusak lebih cepat dari teknisi baru perusahaan mana pun.
Tapi semua itu tidak terlihat di ijazah.
Saat bus berhenti, ia melihat beberapa pekerja lapangan sedang memasang sistem kelistrikan bangunan baru. Tangannya gatal ingin ikut membantu, ingin menunjukkan bahwa ia mengerti persis apa yang sedang mereka kerjakan.
Seorang bapak tua di sampingnya bertanya, “Suka lihat yang begituan, Nak?”
Zul mengangguk. “Iya, Pak. Dulu sekolah saya jurusan listrik.”
“Kerja di listrik juga?”
“Belum tetap, Pak. Masih cari-cari.”
Bapak itu mengangguk pelan. “Susah ya? Orang sekarang lebih percaya angka daripada tangan yang terampil.”
Zul tersenyum getir. “Iya… begitu, Pak.”
---
Sesampainya di perusahaan, Zul masuk ke ruang resepsionis. Seorang wanita rapi menyambutnya.
“Ada yang bisa dibantu?”
“Saya mau melamar sebagai teknisi lapangan.”
“Boleh lihat berkasnya?”
Zul menyerahkan mapnya.
Alis wanita itu naik tipis saat membaca transkripnya.
Ia tersenyum profesional, tapi Zul sudah tahu apa artinya.
“Silakan tunggu, Pak Zul.”
Di ruang tunggu, pelamar lain terlihat percaya diri membawa map tebal berisi sertifikat. Zul hanya membawa pengalaman nyata yang tidak tertulis di kertas mana pun: memasang instalasi listrik, memperbaiki mesin, mengelas rangka, hingga membuat mural untuk toko tetangga.
Tiga puluh menit kemudian, HRD memanggilnya. Ruangan dingin oleh AC, suasana kaku.
“Pak Zul, kami sudah baca berkas Anda,” kata HRD itu.
“Boleh cerita kenapa Anda tertarik menjadi teknisi lapangan?”
Zul menjelaskan semua kemampuannya. Suaranya hidup ketika bicara soal kelistrikan, kabel, panel, sistem grounding, juga pengalaman bangunan dan mesin. HRD itu mendengarkan, tetapi tatapannya tidak terlalu hangat.
Pada akhirnya ia berkata:
“Masalahnya nilai akademik Anda di bawah standar minimal. Kami butuh dasar teori yang kuat.”
Zul ingin tertawa mendengarnya. Teori?
Ia bisa membuat rangkaian panel dari nol.
Ia bisa memperbaiki genset tanpa buka buku manual.
Ia bisa membaca arus dan beban hanya dengan melihat wiring.
Tapi dunia tidak mau melihat itu.
Ia hanya mengangguk sopan. “Baik, Pak. Terima kasih.”
---
Keluar dari gedung itu, langkah Zul seperti kehilangan berat. Ia duduk di taman pinggir jalan, membuka map cokelat itu lagi. Nilai-nilai itu bukan bohong. Nilai itu jujur tapi dunia tidak peduli bahwa kemampuan sebenarnya tidak selalu tersimpan di angka.
Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya.
“Gimana, Zul? Diterima?”
Jari Zul gemetar saat mengetik.
“Belum rezeki, Bu.”
Tak lama kemudian ibunya membalas:
“Gapapa Nak. Pulang pelan-pelan. Ibu masak sayur kesukaanmu.”
Zul menahan napas panas yang naik ke mata.
---
Dalam perjalanan pulang, kenangan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya bermunculan satu per satu.
Bekerja di bengkel mesin, napasnya berbau oli setiap hari.
Menjadi tukang las, tangannya penuh bekas percikan api.
Membantu proyek bangunan, badannya pegal setengah mati.
Menggambar seni mural, kakinya pegal berdiri seharian.
Memasak di acara kampung, tangannya sering teriris pisau.
Dapat job instalasi listrik rumah, bayaran murah hasil mau kelas elite, garansi tiga bulan..
Tidak satu pun pekerjaan itu ringan. Tapi semuanya ia lakukan. Ia tidak pernah menolak belajar apa pun.
Namun tetap saja, ketika meminta upah sedikit lebih besar, jawabannya sama:
“Belajar bersyukur, Zul.”
“Kamu lulusan listrik tapi kerja kayak gini aja.”
“Yang mau digaji kecil banyak.”
Selalu begitu.
Ilmunya dipakai, kemampuannya digunakan, tapi dirinya tidak dihargai.
---
Malam itu Zul pulang dengan langkah berat. Ibunya menyambutnya dengan senyum sedih yang ia sembunyikan sebaik mungkin.
“Kamu sudah berusaha, Nak,” kata ibunya lembut.
“Allah tidak buta.”
Zul menunduk. “Zul cuma… capek, Bu.”
Ibunya mengusap bahunya. “Istirahatlah. Besok coba lagi.”
Zul masuk kamar dan kembali menatap ijazah itu. Dalam remang cahaya, kertas itu mirip bayangan masa lalu. Dulu ia bangga. Sekarang ia hanya bingung.
Namun di tengah kecapekan itu, ada sesuatu yang tumbuh. Sesuatu yang kecil, tapi terasa nyata tekad untuk tidak terus hidup berdasarkan cara dunia melihatnya.
Jika dunia menilai lewat angka, ia akan menunjukkan dirinya dengan cara lain.
Jika pintu terus tertutup, ia akan mencari pintu yang lain.
Jika jalan buntu, ia akan membuat jalannya sendiri.
Hari itu bukan akhir.
Justru baru benar-benar menjadi permulaan.