

Taman kampus itu ramai oleh kehidupan. Sinar matahari menyelinap masuk ke dedaunan pohon ketapang besar, menciptakan pola sre—nge-nge di atas rumput hijau dan kelompok-kelompok mahasiswa yang sedang bersantai.
Suara tawa, debat seru tentang tugas, dan celotehan tentang rencana akhir pekan memenuhi udara, membentuk simponi kehidupan kampus yang begitu asing bagi Abi.
Dia duduk sendiri di sebuah bangku kayu paling ujung, terpisah dari pusat keramaian.
Dengan kaus abu-abu polos yang sudah sedikit pudar dan celana jeans yang telah menemaninya sejak SMA, ia seperti batu nisan yang hidup di tengah taman yang subur.
Pandangannya tertancap pada layar laptopnya yang terbuka, jemarinya sesekali mengetik dengan tenang, memanfaatkan jaringan Wi-Fi kampus yang cepat.
"Lihat tuh, si kuper . Kayaknya di dunia itu cuma ada diaaaa— dan laptopnya," desis Rani, mahasiswi jurusan Manajemen dengan tas branded tergeletak di sampingnya, kepada dua temannya, Dina dan Sari.
Mereka membentuk segitiga sempurna layaknya ibu ibu perumahan yang doyan gibah.
"Iya, dari dulu ya gitu. Aku sekelas sama dia di Kalkulus semester satu. Nggak pernah nyapa, nggak pernah kerja kelompok, dateng sendiri pulang sendiri. Kayaknya nggak punya teman deh," sahut Sari, menyipitkan matanya seolah sedang mengamati spesies langka.
Dina yang lebih kalem hanya menghela napas. "Jangan judge orang, Sar. Mungkin dia memang pendiam aja, tapi meski dia pendiam menurutku itu bukan masalah sih, gak ngefek aja dan—gak ada hubungannya menurutku sih ... soalnya dia ganteng."
"Pendiam atau nggak, itu kan bukan alasan untuk jadi anti-sosial,Din. Hidup kan butuh koneksi, idiiih ganteng, ganteng sih ganteng, tapi kalo kayak dia mah ..... ih maless ! Tampilannya aja kayak orang susah, ogah !" balas Rani, sambil melirik lagi ke arah Abi dengan ekspresi sedikit jijik. "Aneh."
Abi mendengar semuanya. Suara mereka terbawa angin dengan jelas. Kata-kata itu seperti panah tumpul yang berusaha menancap di perisainya yang sudah lama terbentuk.
Kuper, aneh, anti sosial. Layaknya mantra yang selalu diulang-ulang untuknya.
Dahulu, kata-kata itu menyakitkan.
Sekarang, itu hanya menjadi pengingat bahwa dia memang berbeda.
Mereka tidak tahu.Mereka tidak akan pernah bisa paham dunia yang sedang ia terjangi , benteng yang dia bangun, atau perang yang sedang dia hadapi setiap hari untuk sekadar bertahan hidup.
Mereka hanya mengenal "Abi", sebuah identitas palsu yang sengaja dia tampilkan.
Konsentrasinya kembali ke layar antarmuka sederhana yang dia desain sendiri . Sebuah portal laman biasa yang sengaja dibuat mirip aplikasi manajemen sebuah proyek membosankan.
Tapi, itu adalah jantung dari segalanya.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di sudut kanan bawah, berkedip dengan warna merah lembut. Itu adalah kode untuk pesanan prioritas tinggi.
Dia mengkliknya.
PESANAN BARU - PRIORITAS TINGGI
Untuk: Papa.
Klien: Mr. X (Member Platinum)
Permintaan: Tipe 'A', tinggi 160-165cm, rambut panjang.
Lokasi: The Lavender Hotel, Suite 304.
Waktu: 21.00.
Catatan: Klien meminta yang 'spesial' dan sudah melakukan pembayaran penuh di muka.
Jari-jarinya langsung menari dengan lincah dan penuh presisi di atas keyboard. Dalam beberapa detik, dia telah mengalihkan pesanan ke dalam sistem penugasan.
Aplikasi di ponsel para pekerjanya yang mereka pahami sebagai platform freelance legal untuk 'pendamping acara' atau 'model private' akan segera memberi notifikasi pada perempuan yang profilnya cocok.
Algoritma buatannya sederhana namun efektif. Dia si operator, seorang konduktor yang memastikan kereta berjalan tepat pada waktunya. Mereka semua mengenal operator ini dengan satu nama.
"Papa".
Dia juga mengirim kode akses khusus ke tim keamanannya sekelompok orang tangguh berwajah dingin yang dia rekrut dari dunia gelap forum online.
Mereka hanya mengenal Papa sebagai suara yang disamarkan dan teks-teks perintah di layar. Nama 'Abi' sendiri hanyalah sebuah topeng.
Tiba-tiba, bayangan menghalangi cahaya layarnya. Abi mengangkat kepala.
Andre, ketua kelasnya yang terkenal sok akrab dan terlalu percaya diri, berdiri di depannya dengan senyum lebar.
"Abi, lagi ngapain bro? Lagi ngerjain tugas?" tanya Andre sambil mencoba melihat isi layar laptop.
Untungnya, Abi sudah menutup jendela notifikasi itu dan yang terlihat hanya tampilan coding Python yang biasa.
Abi menjawab singkat, tanpa ekspresi."Iya."
"Wih, rajin banget. Kita lagi rencana mau nongkrong di Cafe D'Level nanti malem, mau ikut? Biar nggak melow sendirian terus," bujuk Andre, tapi nada suaranya terdengar seperti menjalankan kewajiban, bukan undangan tulus.
Rani dan kelompoknya memperhatikan dari kejauhan, penasaran.
"Nggak bisa. Ada urusan keluarga," tolak Abi halus, matanya kembali ke layar, memberikan sinyal percakapan telah berakhir.
"Oh, yaudah kalo gitu. kapan-kapan ya" ujar Andre, sedikit kecewa tetapi juga lega. Dia mengangkat bahu dan berbalik, bergabung kembali dengan kelompok Rani sambil berbisik, "Ditanya mau nongkrong aja ditolak. Emang beneran nyendiri, padahal aku niatnya traktir dia."
"Traktir dia?" Rani menyeringit sinis. "Buang-buang duit, And. Kayak dia bakal mau ngomong aja. Paling cuma ngangguk atau geleng doang. Lebih baik traktir kita yang bisa diajak ngobrol."
"Iya, nggak worth it,ah" sambung Sari. "Muka aja kayak orang lagi bawa beban sedunia. Diapain juga bakal bikin suasana jadi awkward."
"Hahaha"
Seorang teman laki-laki mereka yang lain menambahkan dengan suara keras sengaja, "Biarin aja, Bro. Mungkin dia lagi latihan buat jadi patung. Dari tadi geraknya cuma jari doang yang ngetik-ngetik gak jelas."
"Eww, jangan ngomong gitu dong," potong Rani berpura-pura jijik, "Nanti dia denger. Tapi... bener juga sih. Daripada ngajak dia, mending kita foto-foto aja. Dia mah... gak level lah buat diajak ke Cafe D'Level."
Kalimat-kalimat itu mengambang di udara, menusuk-nusuk dengan tumpul. Setiap kata adalah pengingat bahwa dalam dunia mereka, dia hanyalah gangguan visual, sebuah lelucon yang mudah dilupakan.
Ejekan mereka begitu... kecil. Sementara mereka sibuk mengukur nilai seseorang dari baju dan kemampuan bergaul.Ada ironi yang pahit dan getir dalam diamnya. Kekuatan sejati tidak perlu diumumkan. Kekuatan sejati bekerja dalam senyap, sementara mereka hanya jadi latar yang ribut.
Sebuah senyum tipis yang tak terlihat nyaris menyentuh bibirnya sebelum menghilang.
Abi mengabaikannya. Fokusnya kembali. Konfirmasi dari talent dan tim keamanan sudah masuk. Uang 85.000.000 telah mengalir lancar ke dalam rekening digital Papa yang berlapis enkripsi. Transaksi selesai. Semuanya berjalan mulus, tanpa jejak, tanpa wajah.
Dia menutup laptopnya dengan lembut, seperti seorang prajurit yang merapikan senjatanya sebelum bergerak. Saat berdiri dan berjalan meninggalkan taman, bahunya yang semula sedikit membungkuk di bangku kini tegak. Langkahnya berubah dari diam dan tidak menarik perhatian menjadi berirama dan penuh tujuan. Dia tidak sekali pun menoleh.
Di setiap langkahnya ketika menjauhi keramaian, topeng "Abi si mahasiswa kuper" mengelupas sedikit demi sedikit. Ejekan mereka tertinggal, tak berdaya, digantikan oleh rasa kepuasan yang membara di dadanya, sebuah pengingat bahwa dalam permainannya, dialah yang memegang kendali.
---
Perjalanan pulang dengan angkutan umum adalah ritual penyamarannya. Dia menyukai anonimitas yang diberikan kerumunan dalam bus itu, dan ia pun turun di halte tepat di depan The Grand Astoria, salah satu hotel bintang lima termewah di kota.
Penjaga pintu yang sudah hafal dengan wajah Abi dan tas sederhananya hanya memberi anggukan hormat kecil.Abi membalas dengan anggukan singkat dan langsung menuju lift eksklusif yang membawanya ke lantai suite paling tinggi.
Dia bukan tamu. Dia adalah penghuni tetap, membayar sewa bulanan dengan uang tunai yang tidak pernah menimbulkan pertanyaan.
Kamar suitenya adalah dunia lain. Sebuah ruang hidup luas dengan panorama kota yang memanjang hingga cakrawala, tempat tidur king size berbalut kemegahan, dan perabotan minimalis yang berkelas.
Ini adalah kantor, benteng, dan sangkar emas Papa. Di sinilah dia merancang sistemnya, mengelola 'bisnis'-nya, dan menjalani kuliah online.
Begitu masuk, dia melemparkan tasnya ke sofa kulit putih yang empuk. Suara Lagu metal -Asking Alexandria memecah seisi ruangan , diputar melalui speaker canggih yang terhubung dengan ponselnya.
Dia melepas sepatu dan kausnya, lalu berjalan ke kitchenette untuk menuangkan segelas air mineral dingin ke dalam gelas kristal.
Hidupnya adalah paradoks yang sempurna.
Di kampus, dia adalah Abi yang kuper , pendiam, dan hampir tak terlihat, seorang mahasiswa biasa yang dianggap kekurangan uang. Tapi di balik pintu suite ini, dia adalah Papa, otak dari sebuah operasi bawah tanah yang menghasilkan uang puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya.
---
Senja mulai menyibakkan tirai cahaya keemasannya. Dari balik jendela besar, ia menatap kerlip lampu kota yang mulai bermunculan di bawah.
Baginya, uang itu bukan untuk foya-foya atau pamer seperti Rani dan teman-temannya. Dana itu adalah jaring pengamannya,sebuah jalan untuk lepas dari jerat kemiskinan dan mengikis kenangan kelam tentang ayahnya yang pemabuk serta ibu yang meninggalkannya tanpa alasan.
Ponselnya bergetar. Bukan pesanan, tapi notifikasi dari sistem keamanannya."Papa, talent telah tiba di lokasi. Situasi aman. Tim dalam posisi. Menunggu perintah selanjutnya."
Abi mengangguk sendiri. Semua beres. Dia adalah dalang yang tak terlihat.
Dia mematikan lampu utama, hanya menyisakan lampu temaram di sudut ruangan yang menerangi barisan buku-buku programmingnya.Bayang-bayang tubuhnya terpantul di kaca jendela, menyatu dengan gemerlap kota di luar.
Seorang pemuda introvert yang mengendalikan segalanya dari balik layar, tak terlihat, tak dikenal, dan mulai menikmati rasa kesepian yang ia ciptakan sendiri.
Di tengah kesendiriannya yang ia pilih, sebuah notifikasi lain muncul, bukan dari sistemnya, tapi dari aplikasi pesan kuliah. Seorang perempuan dari angkatannya, yang biasanya tidak pernah menyapanya, tiba-tiba mengirim pesan.
"Abi, aku mau ketemu. Aku itu tahu soal...Papa."
Malam semakin larut. Dari balkon suitenya, Abi bisa melihat lampu neon The Lavender Hotel di kejauhan, tempat salah satu 'talent'-nya sedang melayani klien.
Sementara di layar ponselnya, pesan dari perempuan itu masih terbaca, mengancam seluruh tembok yang ia bangun dengan susah payah.
Dunia terus berputar, dan dia ada di pusatnya, seorang dalang yang tak terlihat yang kini merasakan tali pertama mulai terurai.