

"Ini surat cerai tanda tangan sekarang juga!"
Kertas itu melayang jatuh ke kaki Tejo, ia memungut, mata Tejo membulat lalu berkedip.
"Cerai? Desi, apa maksudmu?" tanya Tejo tak mengerti.
Bukannya disambut setelah pulang bekerja Desi istrinya yang baru saja dilantik sebagai PNS mengenakan seragam coklat krem, melempar selembar surat perpisahan.
Desi memutar bola matanya malas, masih berdiri anggun di depan pintu kontrakan.
"Kamu sadar nggak sih? Kita beda derajat, Mas, kamu cuman jadi kuli bangunan, sementara aku?"
"Aku wanita sarjana pendidikan tinggi, malu aku setiap kali jalan sama kamu, teman-teman aku tanyain, suami kamu pekerjaannya apa? Aku cuma bisa ngeles!"
Tejo masih berusaha berpikiran positif mungkin saja Desi sedang mencoba memberikan kejutan. "Desi, duduk dulu,.kamu mungkin lelah."
Desi menepis tangan Tejo hampir menyentuh bahunya, menatapnya jijik.
"Jauh-jauh, Mas, kamu bau matahari, udahlah aku nggak suka basa-basi yang intinya kita cerai! C-E-R-A-I aku eja kalau kamu nggak bisa baca surat itu."
Bibir Tejo keluh, ia masih berusaha berpikir sejenak Namum sebelum Tejo kembali bertanya, sebuah langkah sepatu bergema dari belakang, seorang pria berjas rapi turun mendekati Desi.
Desi tersenyum manis merangkul tangan pria itu. "Inilah calon suamiku," ucap Desi tanpa ragu, "Mapan sederajat denganku."
Emosi Tejo meledak. Wajahnya memerah, napasnya memburu.
Begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri dengan senyum angkuh di samping Desi, darahnya mendidih.
Tanpa pikir panjang, Tejo menerjang, tinju kerasnya mendarat di pipi pria itu hingga tubuhnya terhuyung, membentur pintu kontrakan.
“Berani-beraninya kamu merusak rumah tanggaku!” raung Tejo, matanya liar, tangannya kembali terangkat siap menghajar lagi.
Pria itu tersentak, berusaha melawan, tapi tenaga Tejo yang terlatih dari kerja kasar jauh lebih kuat.
Satu hantaman lagi membuat jasnya kotor, wajahnya lebam seketika.
Desi menjerit, berlari menahan tubuh Tejo. “Cukup! Mas Tejo hentikan!” Suaranya melengking, tangan kecilnya menahan dada suaminya.
Tejo terengah-engah, matanya berkaca-kaca, kepalan tangannya masih gemetar di udara.
Dadanya naik-turun menahan marah dan sakit hati yang bercampur aduk.
“Kenapa, Desi?” suaranya parau, penuh luka.
“Kenapa kamu melakukan ini? Bukankah selama ini aku yang membiayai kuliahmu? Aku rela kehujanan, pulang larut malam, makan mie instan berhari-hari semua supaya kamu bisa kuliah. Supaya hidup kita bisa lebih baik!”
Air matanya hampir pecah. Suara Tejo bergetar, tapi nadanya masih menggema di ruangan kontrakan mertuanya itu.
“Tapi hari ini apa yang aku dapat? Kamu malah tega membuangku begitu saja di depan mataku."
“Mas Tejo, jangan pernah merasa jasamu membiayai kuliahku itu berarti besar.” Bibirnya melengkung miring.
“Itu kewajibanmu sebagai suami! Dan tahu nggak? Setiap kali aku duduk di kelas, aku selalu malu. Malu karena ingat di rumah aku punya suami yang cuma kuli bangunan bau keringat!”
Kata-kata itu bagai pisau menghujam dada Tejo.
Desi melanjutkan, lebih tajam lagi. “Aku tidak pernah bangga jadi istrimu."
"Aku menyesal menikah denganmu! Dan sekarang, aku sudah dapat lelaki yang jauh lebih pantas. Mapan, terhormat, sederajat. Kamu? Hanya penghalang dalam hidupku.”
Melepaskan genggaman Tejo dengan kasar, lalu meraih tangan pria berjas itu. Tatapannya penuh kemenangan.
“Mulai hari ini, Mas Tejo, anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Kamu bukan siapa-siapa lagi buatku!”
Tejo berdiri kaku. Seluruh tubuhnya gemetar, surat cerai yang masih tergenggam di tangannya terasa berat, seolah kertas itu berubah jadi batu yang menghantam jantungnya.
Belum sempat Tejo melangkah pergi, suara pintu kamar terbuka keras. Dari dalam muncul Riati, mertua yang sejak awal tak pernah merestui pernikahan itu. Wajahnya merah padam mendengar keributan.
Riati menunjuk wajah Tejo dengan telunjuk gemetar, matanya menyalang.
“Sejak awal kamu memang tidak pantas, Tejo! Cuman numpang di rumah ini!” bentaknya, suaranya tajam menusuk.
Riati mendekat dengan langkah mantap, suaranya meninggi.
“Desi, bagus, Nak. Akhirnya kamu sadar dan mau melepaskan suami dekilmu ini. Lihat saja! Badannya bau, kulit hitam terbakar matahari, tiap hari hanya mengaduk semen. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik.”
Riati meludah ke lantai, tepat di dekat kaki Tejo.
“Ciuh! Tejo, kamu itu hanya jadi bahan tertawaan dalam tujuh turunan keluarga kami! Semua sarjana, berpendidikan, terhormat."
"Sementara kamu? Membaca saja masih terbata-bata, apalagi bicara soal ilmu dan status.”
Suara tawanya pahit, penuh hinaan. “Apa kata orang kalau seorang sarjana, seorang PNS terhormat, bersanding dengan kuli bangunan rendahan sepertimu?"
"Bukan pernikahan, itu aib keluarga, Tejo! Kamu dengar? AIB!”
Tejo menatap kertas cerai itu sekali lagi. Tangannya gemetar, dada sesak, tapi akhirnya Tejo meraih pulpen dan menandatanganinya.
“Baik kalau ini memang keinginan kalian, aku turuti. Mulai sekarang, aku bukan siapa-siapa lagi untukmu, Desi!”
Desi tersenyum puas, menggandeng pria barunya keluar dari kontrakan
Dengan hati hancur, Tejo memutuskan pulang ke kampung halamannya.
Tadi pagi Tejo mendapatkan telepon dari kampung kalau Kakeknya meninggal dunia.
Tejo jadinya bekerja setengah hari saja, Tetapi, saat sampai di rumah kontrakan yang didapatkan permintaan perceraian istrinya.
Keluarga besar sudah berkumpul. Paman Surya, kakak ayah Tejo yang dituakan, duduk di kursi utama yang bertugas membacakan amanat wasiat kakek mereka.
Slamet, kakak pertama Tejo, mendapat sebidang sawah luas menghadap sungai.
Parjo, kakak kedua, mendapatkan wasiat rumah permanen yang cukup megah.
Juminten, satu-satunya kakak perempuan, kebagian dua petak kebun cengkeh yang sedang berbuah.
Ragil, adik bungsu, mendapatkan sebidang tanah dekat pasar.
Tejo menunggu gilirannya dengan hati cemas namun penuh harapan. Ia tak mengharapkan harta besar, hanya sesuatu yang bisa menjadi pegangan hidup baru setelah perceraian.
Paman Surya menyebut namanya, yang diberikan hanyalah sebuah kitab tua, usang, dengan sampul menguning dan aroma kertas lapuk yang menusuk hidung.
Seisi ruangan mendadak hening, lalu pecah gelak tawa.
“Kasihan, Tejo!” ejek Slamet. “Yang lain dapat sawah dan rumah, kamu cuma dapat buku rongsokan.”
“Warisan buruk, yang lain dapat uang, cuman Tejo dapat kitab kuno, Kakek,” tambah Parjo sambil tertawa.
Juminten menutup mulut menahan cekikikan, sementara Ragil terang-terangan berkata, “Kakek pasti sengaja mempermainkanmu.”
Hinaan itu menusuk hati Tejo. Ia ingin protes, tapi wibawa Paman Surya membuatnya terdiam. Dengan wajah menunduk, ia menerima kitab menguning setengah lapuk.
Tejo menyeret langkah kakinya ke kamar, masih memegang kitab tua itu dengan erat.
“Kenapa cuma aku yang tidak dapat harta Kakek? Apa aku anak pungut?!” gerutunya sambil melempar kitab itu ke ranjang.
"Setelah diselingkuhi dan dibuang istri,.Kakek, pun juga tak adil denganku, entah takdir mana yang harus aku syukuri."
Begitu kitab itu mendarat, sesuatu yang aneh terjadi. Halaman-halaman tua bergerak sendiri, membuka dengan perlahan seolah ada tangan tak terlihat yang menariknya.
Tejo terperanjat, tubuhnya menegang.
Kilau kekuningan muncul dari dalam halaman, menerangi kamar yang sebelumnya gelap.
Tejo merunduk, menatap lebih dekat. Simbol-simbol aneh bergetar di permukaan kertas, seakan hidup, mengundang Tejo menyentuhnya. bulu kuduk berdiri.
“Apa ini?” bisiknya, suaranya nyaris tercekat.
Jarinya menyentuh salah satu simbol, cahaya itu tiba-tiba memancar lebih terang, menyorot wajah Tejo.