

Ruang konsultasi Dimas sebenarnya cuma ruko sempit, tapi papan namanya sudah seperti klinik premium.
“Dimas Santoso, Konsultan Energi Gaib & Teknologi Mistis.”
(Wi-Fi tersedia.)
Di sofa VIP, duduk seorang pria berjas biru mengilap, gelang batu akiknya penuh satu tangan. Ia memperkenalkan diri sambil menarik napas dramatis.
“Saya Arta Wibisono. Kolektor batu akik kelas internasional.”
Dimas mengangguk sok paham, padahal di kepalanya cuma satu kalimat.
*Lho, batu akik masih ngetren ya?*
Arta menunduk, suaranya seperti mau menangis. “Batu akik koleksi saya… suka pindah sendiri saat malam.”
Dimas refleks menatap sepupunya, Rio. Rio cuma balas lirikan seolah berkata'jangan ketawa.'
Arta lanjut, makin serius. “Dulu saya pikir pencuri. Tapi CCTV menunjukkan… batu itu jalan sendiri. Pelan. Kayak siput. Tapi… elegan!”
Dimas terdiam. Ia mencoba terlihat profesional, walau otaknya mulai memutar teori.
*Santet? Portal gaib? Atau… baterai jalan?*
Akhirnya, Dimas mengeluarkan salah satu alat andalannya.
Senter kepala, dua laser pointer, dan stetoskop bayi.
Rio menahan muka, kayak ada tulisan di atas kepalanya. 'Malu saya, sumpah.'
Arta memandang serius, sama sekali tidak curiga. “Apakah itu alat deteksi energi gaib tingkat tinggi?” tanya Arta.
Dimas menarik napas, mencoba terlihat bijak. “Tidak semua yang gaib harus terlihat menakutkan.”
Padahal sebenarnya alat itu cuma sisa diskon toko online.
Ritual dimulai. Dimas memperhatikan batu akik yang mencurigakan, lalu menempelkan stetoskop bayi seperti memeriksa jantung pasien.
Rio memijat pelipis. Arta menatap penuh harapan.
Tiba-tiba… senter kepala Dimas nyala sendiri.
Laser pointer juga mendadak hidup, membentuk garis merah tepat ke batu akik.
Batu itu bergetar. Lalu… pelan-pelan maju lima sentimeter.
Arta berteriak, “ITU! ITU GERAK LAGI!”
Rio spontan memeluk Dimas.
Dimas bingung. Ia menatap alatnya, lalu pada batu yang bergerak.
Ia hanya bisa berbisik pelan. “Saya juga bingung, Pak.”
Batu akik itu berhenti tepat di ujung meja, mirip kucing mau lompat tapi malas.
Getarannya pelan, gemesin… tapi tetap meresahkan.
Arta menunduk penuh wibawa, seolah batu itu sedang menyampaikan pesan internasional. “Lihat! Dia ingin bebas! Dia haus… panggilan leluhur!”
Rio pelan, berbisik “Mas, ini batu atau anak kucing dikutuk jadi mineral?”
Dimas hanya bergumam, “Fokus dulu, Dokter Kerikil.”
Dimas akhirnya mencoba trik lain. Ia mendekatkan laser pointer kedua ke batu, pura-pura seperti ahli geologi spiritual. Cahaya merah menyorot permukaan akik.
Tiba-tiba…
BRUK!
Batu itu meloncat… jatuh dari meja… lalu pelan-pelan merayap kembali ke kaki Dimas.
Seperti numpang ngecas.
Dimas langsung mundur tiga langkah sambil mengangkat celana ke lutut, gaya ibu-ibu takut kecoak. “Pak, ini bukan ingin bebas. Batu ini nempel sama saya!”
Arta terkejut. “Apa itu pertanda saya harus menyerahkannya pada Anda, Guru?”
Rio buru-buru maju, menangkis. “Oh tidak, tidak. Guru Dimas sudah full booking batu bulan ini.”
Dimas mengangguk cepat, seolah memang sibuk hanya untuk menangani kerikil berkepribadian.
---
Saat itu juga…
Batu di lantai bergetar pelan, lalu… meluncur ke arah pintu.
Membentur alas sepatu Dimas, lalu berhenti.
Seperti minta dibawa pulang.
Dimas menatap Arta, bingung antara takut atau harus men-charge batu itu.
Arta menatap penuh haru. “Dia memilih Anda. Tolong rawat dia.”
Dimas refleks menjawab cepat. “Saya? Maaf, saya… alergi bahan tambang.”
Rio nyaris pingsan menahan tawa.
---
Akhir konsultasi pak Arta.
Arta akhirnya ditenangkan, dibujuk kalau batunya hanya “mencari kestabilan energi sementara”. Biaya konsultasi? Biasa, paket VVIP.
Ketika Arta pergi, Dimas dan Rio menutup pintu.
Keduanya menatap batu yang masih diam di lantai, seperti benih masalah masa depan.
Rio pelan. “Mas… kalau malam dia minta susu, kita gimana?”
Dimas memeluk dirinya sendiri, gelisah. “Kita blokir aja dulu… energinya.”
Mereka menaruh batu itu di wadah bekas kue kering yang ada gambarnya nastar.
Elegan? Tidak. Aman? Sama-sama belum tahu.
Wadah ditutup rapat.
Laser pointer padam sendiri.
Batu pun diam.
Dan entah kenapa… dari dalam wadah terdengar ceklek, seperti notif HP.
Klien berikutnya....
Studio musik itu tampak mewah. Dindingnya dilapisi busa hitam bertekstur, lampu LED ungu-neon mengelilingi langit-langit, dan seorang idol tampan pingsan dengan posisi konyol—mulut sedikit menganga, rambut masih rapi kayak habis difoto majalah.
Di sebelahnya berdiri produsernya, panik, berkeringat, sambil memegangi bawang putih seperti mikrofon darurat.
“Mas Dimas, tolong! Semalam dia baru kesurupan… kali ini malah drop tanpa alasan! Tadi cuma latihan nada tinggi, eh… auranya turun!” jerit produser sambil menunjuk idol yang terbaring dramatis.
Dimas menatap sang idol, wajahnya datar seperti memandang sepatu diskon.
Lalu dia bertanya dengan nada serius. “Ini kesurupan… atau overpitch?”
Produser menghela napas, frustasi. “Kami udah manggil psikolog, ustaz, dokter THT, bahkan vokal coach tiga negara! Tidak ada yang berhasil!”
Dimas mengangguk, lalu membuka koper ritual miliknya.
Isinya? Bukan dupa. Bukan sesajen. Bukan juga kitab mistis.
Yang terlihat justru kipas lipat, lakban emas, handphone jadul, dan bubble tea tanpa topping.
Rio, sepupu Dimas sekaligus asisten setenangnya lemari es, ikut melihat isi koper itu dan berkata pelan, “Mas… itu boba-nya buat apa?”
Dimas menjawab mantap, seolah memiliki ilmu seribu tahun. “Untuk penawaran jiwa. Spirit suka minuman manis. Kayaknya.”
Rio mematung.
Produser menatap dengan harapan dan ketakutan.
Dimas mendekat ke idol, meletakkan bubble tea itu di samping kepalanya. Lalu dia menepuk-nepuk pipi sang idol pelan sambil berkata tegas. “Bangun. Ada endorsement yang menanti.”
Tiba-tiba, idol itu terbangun dengan kilauan cahaya redup.
Mata terbuka pelan… dan dia langsung menggumam.
“Brand… skincare…”
Produser langsung berteriak gembira, “Dia kembali!!!”
Dimas menghela napas lega… tanpa tahu apa yang baru saja terjadi.
Rio menatap serius, seperti menemukan teori besar.
“Mas… kayaknya uang itu benar-benar penangkal makhluk gaib.”
Dimas nyengir kecil.
“Ritual saya… emang berbasis ekonomi.”