

Hujan turun deras banget malam itu, sampai-sampai Kael nggak bisa bedain mana keringat, mana air hujan.
Yang dia tahu cuma satu: dia harus terus lari.
Suara langkah-langkah di belakangnya makin dekat.
“Kejar terus! Jangan kasih jeda!” teriak seseorang.
Kael ngumpat pelan.
Serius deh… hidup gue kapan pernah tenang?
Sejak seminggu terakhir, selalu ada hal aneh yang ngejar-ngejar dia. Orang-orang asing yang tiba-tiba nongol di tempat yang nggak masuk akal. Tatapan aneh. Sensasi panas di tubuhnya yang muncul gitu aja.
Tapi hari ini… semuanya meledak bareng-bareng.
Kael belok masuk ke halaman gudang tua di pinggir kota. Pintu besinya kebuka setengah, berderit waktu dia dorong. Di dalam bau karat nyengat, campur debu basah.
Dia tutup pintunya perlahan, mencoba ngatur napas.
Baru beberapa detik kemudian, kepalanya tiba-tiba nyut keras.
“Aduh… mulai lagi.”
Panas merayap dari tengkuk ke belakang mata. Rasanya kayak seseorang nyalain kompor di dalam tengkoraknya.
Kael nahan dinding.
Saking sakitnya, pandangannya goyang.
Lalu…
Segalanya berhenti.
Serius berhenti.
Hujan yang tadi kelihatan di pintu gudang sekarang membeku di udara kayak kristal kaca.
Angin hilang.
Suara hilang.
Dunia kayak dipencet tombol pause.
Kael bengong.
“Gila… ini apaan lagi?”
Udara di tengah gudang retak pelan kayak kain yang disobek dari sisi lain. Cahaya emas keluar, makin lama makin terang sampai Kael harus nutup mata.
Ada suara muncul dari sana.
Dalam. Nyentuh tulang. Berat tapi tenang.
“Kael…”
Kael langsung merinding.
Itu bukan suara manusia.
Cahaya itu lalu ngegumpal, membentuk siluet tinggi kayak sosok bersayap. Wajahnya kabur, tapi auranya kayak… sesuatu yang nggak seharusnya ada di dunia manusia.
Kael mundur setengah langkah.
“Lo siapa?”
Suara itu ngisi seluruh ruangan.
“Namaku Seraphel.”
“Dewa Mahatinggi terakhir dari Alam Ilahi.”
Kael melongo.
Lo tau nggak rasanya pengen ketawa karena absurd tapi nggak bisa karena takut?
Yap. Itu dia sekarang.
“Dewa? Seriusan?”
“Dan kau…”
“Pewarisku.”
Sekejap, panas di tubuh Kael meledak.
Bukan kayak terbakar—tapi kayak ada sesuatu yang dibangunin dari tidur panjang.
Garis-garis emas muncul di kulitnya, mengalir dari lengan ke dada, lalu ke leher. Mereka bergerak pelan, berdenyut kayak hidup.
Kael hampir jatuh saking kagetnya.
“Apa ini?! Gue kenapa?!”
“Itu kekuatanmu. Warisan yang selama ini tersegel.”
Cahaya Seraphel mulai retak-retak, seperti sinyal buruk.
“Dengarkan, Kael. Mereka yang mengejarmu bukan manusia biasa.”
“Mereka pemburu ilahi. Musuh lamaku.”
“Dan mereka akan terus mengejar sampai lo mati.”
Kael nahan napas.
Ini udah kelewat gila.
“Carilah Gerbang Sanctum.”
“Di sana semua jawaban menunggumu.”
Cahaya itu pecah kayak gelembung yang meletus.
Suara Seraphel tinggal sisa samar:
“Bangkitlah… pewarisku.”
Dunia kembali bergerak.
BRSSHHHH—hujan mengguyur lagi.
Suara langkah-langkah keras masuk gedung.
Tiga pria itu nerobos masuk dan langsung nemuin Kael.
Mata mereka menyala samar.
Wajah mereka dingin kayak nggak punya jiwa.
“Dia sudah aktif,” kata salah satu.
“Hancurkan sebelum stabil.”
Kael mau kabur, tapi tubuhnya malah bergerak sendiri. Energi panas di dalamnya bergulung kayak siap meledak.
Pria pertama nyerang dengan pisau.
Refleks Kael muncul duluan sebelum otaknya mikir.
Tangannya naik.
Cahaya emas meletup.
DUAAARRR!
Gelombang energi mentalin pria itu sampai nabrak kontainer besi dan bikin penyok kayak kaleng minuman.
Dua lainnya kebanting ke belakang.
Kael diam.
Napasinya tercekat.
Hatinya naik turun nggak jelas.
Dia liat tangannya sendiri masih bergetar ringan dan bersinar samar.
“Apa…”
Kael menelan ludah.
“Apa yang baru aja gue lakuin…?”
Di luar, petir nyambar.
Dan nun jauh di suatu tempat, di puncak menara hitam raksasa, sepasang mata perlahan terbuka.
Suara seraknya merayap keluar seperti kabut dingin.
“Warisan Seraphel… telah bangkit.”
Kael masih berdiri kaku, tangan terangkat setengah, napas ngos-ngosan.
Energi emas di tubuhnya pelan-pelan mereda, tapi sensasinya masih terasa kayak jutaan semut listrik jalan di bawah kulit.
Tiga pria yang tadi ngejar dia sekarang tergeletak di lantai. Yang paling dekat bahkan nyangkut di kontainer besi yang sekarang penyok parah.
Kael ngerjain itu barusan.
Dia.
Dan dia sendiri nggak ngerti gimana.
“Aduh… gue dalam masalah besar banget, ya?” gumam Kael pelan.
Belum sempat mikir panjang, salah satu dari mereka pria botak yang mental paling jauh ngerasain sesuatu. Mata pria itu terbuka sedikit, dan tatapan kosongnya berubah jadi… beringas.
Kael mundur setapak.
“Eh… jangan bangun, dong. Serius.”
Pria itu bangun dengan gerakan patah-patah kayak zombie tapi jauh lebih cepat. Urat di lehernya menonjol, mata merah bercahaya seperti bara.
“Warliyaaa…!”
Bahasanya aneh. Distorsi. Nggak manusiawi.
Kael langsung pasang kuda-kuda seadanya.
Duh, ini dia belum pernah latihan bela diri, apalagi melawan manusia yang kayak dimasuki setan.
Pria itu maju dengan kecepatan nggak wajar.
Kael refleks angkat tangan lagi, berharap hal tadi kejadian lagi
Tapi nggak.
Nggak ada cahaya.
Nggak ada energi mentalin orang.
Yang ada cuma…
tubuh Kael yang tetap manusia biasa.
“SERIOUS?!” Kael nyelotak.
Dia lompat ke samping, nyaris kena hantaman makhluk itu. Kontainer yang kena pukulan langsung amblas ke dalam, kayak kena palu Thor.
Kael melotot.
“Oke. Kalo itu kena gue, gue udah gepeng kayak stiker.”
Makhluk itu berbalik, siap nyerang lagi.
Kael buru-buru lari ke belakang rak besi, nyari apapun yang bisa dipake.
Tangannya meraih pipa besi panjang yang udah karatan.
“Lumayan lah…”
Makhluk itu melompat dan Kael ayun pipa itu sekuat-kuatnya.
DRRAAK!
Pipa itu patah.
Makhluknya malah makin marah.
Kael: “Oke, not effective.”
Makhluk itu narik Kael dari kerah baju dan ngangkat dia kayak boneka. Nafas Kael tersengal, kakinya nggantung di udara.
“War… liaaaa…”
Kael udah mau pasrah waktu sesuatu di dadanya nyetrum keras.
Bukan kayak energi meledak tadi, tapi…
Kayak saklar.
Klik.
Simbol-simbol emas muncul lagi tapi samar.
Mata Kael memantulkan warna emas tipis.
Dan tiba-tiba dunia jadi lambat.
Bukan berhenti tapi melambat seolah dia punya waktu buat mikir.
Kael ngeliat tangan makhluk itu mencengkeram lehernya…
menghitung jeda waktu serangannya…
dan tahu persis kapan dia harus bergerak.
Kael ngerasain tubuhnya jauh lebih ringan.
Lebih cepat.
Dia dorong lengan makhluk itu dengan tenaga yang tadi nggak dia punya dan…
berhasil lepas.
Kael mendarat dengan berat, ngambil napas panjang.
Matanya menyipit.
“Sekarang giliran gue.”
Dia nggak ngerti dari mana keberanian itu datang.
Kael maju.
Langkahnya cepat, presisi, kayak tubuhnya punya rencana sendiri. Pukulan pertamanya kena rahang makhluk itu keras banget sampai tangan Kael panas.
Makhluk itu kejungkel ke belakang, nabrak pilar beton sampai retak.
Kael ngeliatin tinjunya.
“Gila… ini gue yang ngelakuin?”
Makhluk itu bangun lagi, tapi goyah.
Kael nggak nunggu.
Dia dorong telapak tangannya ke depan dan kali ini energi emas meledak tapi kecil, kayak percikan petasan yang fokus di satu titik.
BLAAK!
Makhluk itu akhirnya tumbang. Benar-benar mati.
Kael berdiri terengah-engah.
Tangan bergetar.
Pikiran berantakan.
Di luar, suara sirene polisi kedengeran samar.
Jauh tapi datang mendekat.
Kael mengumpat.
“Ah, bagus. Sekarang polisi juga.”
Dia ngeliat tubuh makhluk-makhluk itu.
Mereka bukan manusia biasa.
Dan kalau polisi liat ini?
Dia bisa dicurigai terlibat pembunuhan tiga “orang normal”.
Kael sadar dia cuma punya satu pilihan.
Kabur.
Dia keluar dari gudang lewat pintu belakang, lari melewati gang yang gelap.
Hujan masih deras, tapi entah kenapa tubuhnya lebih kuat sekarang. Napasnya stabil. Langkahnya ringan.
Tapi sebelum dia jauh, suara yang aneh banget muncul dari arah gudang.
Suara retakan udara.
Kael menoleh sedikit.
Cuma sedikit.
Dan dia liat…
Siluet tinggi berselimut bayangan muncul di dalam gudang.
Matanya merah tajam.
Tidak ada suara.
Cuma satu kalimat yang melintas di pikiran Kael waktu makhluk itu ngeliatin pintu tempat dia lari:
“Yang tadi itu cuma level rendah.”
Kael merinding sampai ujung rambut.
“Gue…”
Dia menelan ludah.
“…bener-bener masuk ke masalah yang bukan level manusia.”
Lalu dia lari tanpa menoleh lagii