Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
The Forbidden Ring

The Forbidden Ring

Arez Zakira | Bersambung
Jumlah kata
31.0K
Popular
100
Subscribe
38
Novel / The Forbidden Ring
The Forbidden Ring

The Forbidden Ring

Arez Zakira| Bersambung
Jumlah Kata
31.0K
Popular
100
Subscribe
38
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalPahlawanKekuatan SuperSupernatural
Nara Bramantyo, pemuda serabutan yang hidupnya dipenuhi kegagalan, selalu merasa dirinya hanyalah “orang biasa yang tak akan berarti apa-apa.” Namun segalanya berubah ketika ia tanpa sengaja menerima sebuah cincin misterius bernama Aetherion dari seorang gelandangan tua yang sedang diburu organisasi gelap bernama Umbra Corp. Cincin itu menyatu dengan tubuhnya dan memberikan kekuatan tak terduga. Meski awalnya ketakutan, Nara perlahan belajar menggunakan kekuatan tersebut untuk menolong orang-orang di kota Atlantica.Namun Umbra Corp terus memburu cincin itu, percaya bahwa Aetherion adalah kunci untuk membuka portal energi purba. Ketika kota hampir hancur akibat percobaan gila mereka, Nara yang dulu tidak percaya diri kini berdiri di garis depan, memaksimalkan kekuatan cincin melalui tekad dan keberaniannya. Dengan pertarungan sengit dan tekad yang tumbuh dari kegagalan masa lalu, Nara berhasil menyelamatkan Atlantica dan menjelma menjadi simbol harapan masyarakat membuktikan bahwa pahlawan bisa lahir dari seseorang yang dulu dianggap tidak berarti.
Gelandangan Misterius

Malam itu kota Atlantica tampak lebih muram dari biasanya. Langit diselimuti awan kelabu, dan gerimis tipis turun seperti bisikan dingin yang menyalip langkah para pejalan kaki. Lampu-lampu jalan memantul di atas aspal basah, menciptakan garis cahaya kuning yang patah-patah, sementara suara kendaraan yang melintas menjadi latar bagi pikirannya yang kalut.

Nara Bramantyo baru saja pulang dari pekerjaan serabutannya hari itu, mengantar paket, memperbaiki komputer rusak, dan menjadi kuli bongkar muat dadakan. Pekerjaan apa saja ia ambil, asalkan bisa membuatnya bertahan satu hari lagi.

Ia menghela napas panjang sambil merapatkan jaketnya yang sudah kusam.

"Satu hari lagi lewat… tapi tetap hidup gue gini ginih aja" gumamnya.

Dompetnya hampir kosong. Hanya tersisa selembar uang lusuh yang ia rencanakan untuk membeli makan malam, mungkin nasi goreng pinggir jalan atau roti isi murah di minimarket.

Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang di pinggir trotoar.

Seorang pria tua, berambut kusut dan tubuhnya diselimuti mantel compang-camping, duduk bersandar pada tiang lampu. Perutnya berbunyi pelan, terdengar jelas di tengah kesunyian malam. Tangannya yang kurus memegangi perut seolah menahan rasa lapar yang sudah terlalu sering ia rasakan.

Nara mematung sesaat.

Ada banyak orang yang berlalu-lalang, namun tak seorang pun melirik ke arah pria tua itu. Dan entah kenapa, pemandangan itu menusuk perasaan Nara lebih dari biasanya.

"Kasihan banget…" desisnya pelan.

Ia menatap dompet tipisnya. Hanya tersisa uang itu.

Untuk makanannya sendiri.

Untuk tenaganya besok.

Untuk bertahan hidup.

Ia menghela napas, lalu tersenyum kecil, seperti memutuskan sesuatu yang sudah lama ada di dalam dirinya.

"Ya sudahlah paling besok masih bisa cari kerjaan lain" ucapnya, mencoba bercanda dengan dirinya sendiri.

Setelah membeli seporsi makanan hangat dari kedai terdekat, ia berjalan kembali ke pria tua itu.

"Pak, makan dulu," ucapnya sambil menyodorkan bungkusan makanan. "Kayaknya Bapak butuh ini lebih dari saya."

Pria tua itu menatapnya dengan mata yang sudah keruh namun penuh kehangatan. Tangannya gemetar saat menerima bungkusan itu.

"Anak muda…" suaranya parau, "…kenapa kau melakukan ini? Padahal kau sendiri tampak kesusahan."

Nara tersenyum.

"Karena saya keinget Bapak saya di kampung pak"

Pria tua itu menatapnya lama, begitu lama sampai Nara merasa seperti dilihat tembus sampai ke hati. Kemudian, perlahan, senyum kecil merekah di wajah keriput itu.

Ia membuka bungkusan makanan itu dengan rasa syukur yang sulit disembunyikan. Setiap suapan ia makan perlahan, seakan takut makanan itu hanya mimpi.

Setelah beberapa menit, pria itu merogoh sesuatu dari dalam mantel kumalnya. Sebuah cincin usang, berwarna perak kusam, dengan ukiran simbol yang tak dikenali Nara. Tampak sangat tua tapi memancarkan aura yang aneh, seperti hangat dan dingin di waktu bersamaan.

Pria itu mengulurkan cincin tersebut.

"Ambillah."

Nara mengangkat alis. "Hah? Buat saya? Nggak usah Pak saya ikhlas kok. Itu cuma makanan"

"Ini bukan balasan," pria itu memotong dengan suara tegas tapi lirih.

"Ini adalah ucapan terima kasih. Dan lebih dari itu, ini adalah amanah."

Cincin itu tampak biasa saja, namun ketika Nara menyentuhnya, ada sensasi seperti aliran listrik kecil menjalar di ujung jarinya.

"Pak, ini kayaknya mahal, saya nggak bisa menerimanya"

Pria tua itu menatapnya, matanya berubah sedikit berkilau, seperti memantulkan cahaya lampu jalan.

"Dunia ini sedang berubah, cincin ini memilihmu."

Ia tersenyum.

"Semoga kau menggunakannya dengan hati yang sama seperti saat kau memberi makanan padaku."

Nara menelan ludah, bingung sekaligus canggung. Tapi ia akhirnya mengambil cincin itu.

"Terima kasih Pak, saya akan jaga baik-baik."

Namun ketika ia menatap lagi ke arah pria tua itu, pria itu sudah tidak ada.

Lenyap begitu saja dari tempatnya duduk, tanpa suara langkah, tanpa bayang. Hanya sisa bungkusan makanan yang masih tergeletak, utuh, seperti tidak pernah disentuh.

Angin malam tiba-tiba terasa lebih dingin.

Nara menatap cincin di tangannya. Ukiran samar pada permukaannya berdenyut pelan, seperti detak jantung.

"Apaan, sih ini?"

Nara menatap cincin itu sekali lagi sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Benda itu terasa dingin, namun seperti berdenyut pelan seolah hidup. Ia mengabaikannya. Mungkin hanya sugesti karena suasana malam yang aneh barusan.

"Udahlah… besok mikir lagi," gumamnya sambil mempercepat langkah.

Gerimis mulai mereda, menyisakan aroma tanah basah dan dingin yang menusuk. Angin dari jalan raya membawa suara klakson dan gemuruh mesin kendaraan yang tak pernah berhenti. Lampu-lampu gedung menjulang tinggi di kejauhan, memantulkan cahaya ke langit seperti menantang kegelapan.

Namun bagi Nara, semua kemegahan itu tidak ada artinya.

Ia hanya seorang perantau dari desa kecil di pinggiran wilayah barat.

Beberapa tahun lalu, ia datang ke kota Atlantica dengan harapan besar, hidup baru, kesempatan baru, masa depan yang lebih cerah. Ia membayangkan bisa bekerja tetap, membantu orang tuanya, bahkan punya tabungan.

Namun kenyataan kota jauh berbeda dari bayangannya.

Jalanan keras.

Kesempatan sedikit.

Persaingan besar.

Dan Nara bukan anak dari orang terkenal atau pengusaha besar.

Ia hanya mengambil pekerjaan apa pun yang bisa membayar hari itu saja. Dari angkat barang, bersihin gudang, menjadi kurir, sampai reparasi kecil-kecilan. Kadang ia dapat uang, kadang tidak. Kadang dibohongi, kadang dieksploitasi.

Tapi ia tetap bertahan karena kembali pulang tanpa hasil hanya akan membuatnya merasa lebih gagal dari sebelumnya.

Setelah berjalan hampir tiga puluh menit, Nara tiba di sebuah gang sempit yang remang-remang. Di ujung gang itu berdiri sebuah bangunan dua lantai dengan cat terkelupas dan pintu besi yang sudah berkarat sedikit.

Ia membuka pintu yang berderit pelan dan menaiki tangga sempit menuju lantai dua. Di lorong itu, pintu-pintu kamar berdempetan, dihiasi bunyi televisi dari kamar tetangga, suara anak kecil menangis, dan aroma mie instan yang menguar.

Kamar Nara berada di pojok—nomor 2C.

Ia memasukkan kunci dan membuka pintu kecil itu.

Sebuah kamar berukuran 3x3 meter, dengan kasur tipis di lantai, kipas angin tua, rak buku kecil, dan meja lipat. Sederhana. Murah. Pengap. Tapi sudah dua tahun ini menjadi satu-satunya tempat ia bisa menyebut "rumah".

Begitu pintu tertutup, Nara menghempaskan diri ke kasur tipisnya.

"Capek banget" keluhnya pelan.

Setelah beberapa saat, ia teringat pada cincin itu. Ia mengambilnya keluar dari kantong jaket dan meletakkannya di atas meja lipat.

Cincin itu tampak lebih jelas sekarang di bawah cahaya redup bohlam kamar. Warna peraknya kusam, namun ukiran simbol lingkaran dan garis-garis halusnya seperti bergerak pelan, mengikuti cahaya.

"Cincin apaan sebenernya?" Nara memiringkan kepala, mencoba mengingat wajah pria tua tadi.

Tatapannya, kata-katanya, bagaimana bisa hilang begitu saja di pikiran Nara.

"Udah kayak adegan film," Nara bergumam sambil tertawa hambar.

Tiba-tiba perutnya berbunyi keras.

"…dan sekarang gue malah nggak ada uang buat makan."

Ia memejamkan mata, setengah kesal setengah pasrah, sebelum akhirnya membaringkan diri.

Hening menyelimuti kamar kecil itu.

Malam semakin larut.

Lampu jalan dari luar menyorot sedikit menembus jendela kecilnya, menciptakan pola kuning pucat di lantai.

Namun satu hal mengganggu pikirannya sebelum tidur:

sensasi dingin dari cincin itu seolah memanggil.

Lanjut membaca
Lanjut membaca