Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
TERSESAT DI GUNUNG RAKUTAK

TERSESAT DI GUNUNG RAKUTAK

alesha | Bersambung
Jumlah kata
27.4K
Popular
100
Subscribe
13
Novel / TERSESAT DI GUNUNG RAKUTAK
TERSESAT DI GUNUNG RAKUTAK

TERSESAT DI GUNUNG RAKUTAK

alesha| Bersambung
Jumlah Kata
27.4K
Popular
100
Subscribe
13
Sinopsis
HorrorHorrorMisteriDunia GaibPertualangan
empat petualang tersesat digunung yang penuh misteri.
Bab 1 - Langkah Menuju Puncak

Kabut pagi menggantung rendah di lereng Gunung Rakutak, menyelimuti pepohonan pinus yang menjulang seperti penjaga sunyi. Udara dingin menyusup ke kulit, membuat napas Raka terlihat seperti asap tipis. Ia berdiri di depan papan kayu tua bertuliskan “Selamat Datang di Basecamp Rakutak,” matanya menatap jalur pendakian yang membentang ke arah hutan lebat.

Di belakangnya, tiga sahabatnya—Dina, Bayu, dan Tari—sibuk memeriksa perlengkapan. Dina melilitkan syal ke lehernya, Bayu menyesuaikan tali ransel, dan Tari memotret suasana pagi dengan kamera mirrorless-nya.

“Siap?” tanya Raka sambil mengencangkan tali ranselnya.

“Siap, Kapten!” jawab Tari dengan senyum lebar. Dina hanya mengangguk, matanya menyapu hutan di depan mereka. Bayu, seperti biasa, sibuk mengecek GPS dan peta jalur.

Mereka bukan pendaki pemula. Raka dan Bayu sudah menaklukkan beberapa gunung di Jawa Barat. Dina dan Tari baru dua kali ikut, tapi semangat mereka tak kalah. Rakutak adalah gunung yang belum mereka jamah, dan cerita-cerita tentang keindahannya—dan misterinya—membuat mereka penasaran.

Pak Darman, penjaga basecamp yang sudah tua, mendekat. Wajahnya keriput, matanya tajam. Ia membawa sebuah lonceng kecil dari kuningan, digantung dengan tali merah.

“Gunung Rakutak bukan tempat biasa,” katanya pelan. “Jalurnya bisa berubah kalau kalian tak hati-hati. Jangan sombong, jangan melanggar pantangan.”

Raka mengangguk sopan. “Kami akan berhati-hati, Pak.”

Pak Darman menatap mereka satu per satu, lalu menyerahkan lonceng itu kepada Dina. “Kalau kalian merasa tersesat, bunyikan ini. Tapi jangan sembarangan.”

Dina menerima lonceng itu dengan ragu. “Terima kasih, Pak.”

Mereka mulai mendaki. Jalur awal cukup landai, dikelilingi pohon pinus dan suara burung yang bersahutan. Semangat masih tinggi. Mereka bercanda, berfoto, dan sesekali berhenti untuk minum.

“Bayangkan kalau kita sampai puncak pas matahari terbit,” kata Tari. “Pasti keren banget!”

“Kalau kita nggak nyasar duluan,” sahut Bayu, setengah bercanda.

Namun, setelah dua jam, suasana mulai berubah. Kabut turun lebih tebal dari biasanya. Suara hutan menghilang. GPS Bayu mulai error.

“Ini aneh,” gumam Bayu. “Sinyalnya hilang. Padahal tadi masih normal.”

Raka mencoba tetap tenang. “Kita ikuti jalur yang ada. Jangan panik.”

Tapi jalur itu seperti bercabang. Tak ada tanda pendakian resmi. Mereka memilih satu arah, yakin itu benar. Tapi setelah satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah sunyi. Tak ada pendaki lain. Tak ada suara.

Dina menggenggam lonceng itu erat. “Aku merasa kita diawasi.”Bayu menggeleng. “Itu cuma perasaanmu.”

Tiba-tiba Tari berteriak. “Ada yang lewat di balik pohon!”

Mereka semua menoleh, tapi tak melihat apa-apa. Raka memutuskan untuk istirahat dan mendirikan tenda sementara. Malam mulai turun, dan hawa dingin semakin menusuk.

Di dalam tenda, mereka mencoba tidur. Tapi suara-suara aneh mulai terdengar. Seperti bisikan. Seperti langkah kaki. Dina tak bisa tidur. Ia memandangi lonceng itu, lalu membunyikannya pelan.

Suara lonceng. Dan saat itu, angin berhenti. Kabut menghilang sejenak. Dan dari kejauhan, terdengar suara… seperti nyanyian.

Raka bangun dan keluar tenda. “Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Tapi di tanah, jejak kaki muncul. Jejak yang bukan milik manusia.

Bayu keluar menyusul. “Kita harus turun besok pagi. Ini nggak beres.”

Dina menatap jejak itu. “Kita sudah masuk wilayah mereka.”

“Siapa?” tanya Tari, suaranya gemetar.

Dina tak menjawab. Ia hanya memandangi hutan yang gelap. Lalu berkata pelan, “Gunung ini punya penjaga. Dan kita sudah melanggar sesuatu.”

Raka menatap langit. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya gelap. Dan di kejauhan, nyanyian itu terdengar lagi. Lebih dekat.

Malam itu, mereka berempat duduk melingkar di depan tenda, hanya diterangi lampu kepala dan api kecil yang nyaris padam. Kabut turun begitu pekat hingga jarak pandang hanya beberapa meter. Suara hutan yang biasanya ramai kini lenyap, digantikan keheningan yang menyesakkan.

“Ini nggak seperti gunung-gunung yang pernah kita daki,” kata Bayu, suaranya pelan. “Biasanya ada suara serangga, burung malam. Ini… kosong.”

Raka mengangguk, matanya tak lepas dari kegelapan di sekeliling. “Kita istirahat dulu. Besok pagi kita cari jalur turun.”

Tari memeluk lututnya, tubuhnya gemetar. “Aku nggak bisa tidur. Rasanya kayak ada yang ngintip dari balik pohon.”

Dina menatap lonceng di tangannya. Ia belum melepaskannya sejak Pak Darman memberikannya. “Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku merasa kita sudah masuk wilayah yang bukan milik kita.”

Bayu mendengus. “Jangan mulai dengan hal mistis, Din. Kita cuma nyasar. GPS error, jalur nggak jelas. Itu aja.”

“Kalau cuma nyasar, kenapa jejak kaki itu muncul?” sahut Dina. “Dan nyanyian itu… kamu dengar, kan?”

Bayu terdiam. Ia memang mendengar suara itu. Lirih, seperti perempuan menyanyikan lagu lama. Tapi ia menolak mempercayai hal-hal gaib. Ia lebih percaya pada logika dan data.

Raka berdiri. “Oke. Kita masuk tenda. Besok kita evaluasi. Jangan pisah. Jangan keluar tenda sendirian.”

Mereka masuk ke dua tenda. Raka dan Bayu di satu tenda, Dina dan Tari di tenda lain. Tapi malam itu, tidur bukanlah hal mudah. Dina terjaga, matanya menatap langit-langit tenda. Tari sudah tertidur, tapi tubuhnya gelisah, sesekali mengigau.

Di luar, suara nyanyian itu terdengar lagi. Lebih jelas. Lebih dekat.

Dina menggenggam lonceng itu dan membunyikannya pelan. “Ting… ting…”

Suara itu bergema, lalu hening. Tapi kemudian, langkah kaki terdengar. Pelan. Teratur. Mendekat.

Dina menahan napas. Ia membuka sedikit resleting tenda dan mengintip keluar. Kabut masih tebal. Tapi di antara pepohonan, ia melihat bayangan. Tinggi. Kurus. Diam.

Bayangan itu tak bergerak. Hanya berdiri menatap ke arah tenda.

Dina menutup kembali resleting tenda, tubuhnya gemetar. Ia membangunkan Tari. “Tar… bangun. Ada sesuatu di luar.”

Tari membuka mata, bingung. “Apa?”

“Ssst. Jangan bersuara.”

Di tenda sebelah, Raka juga terjaga. Ia mendengar suara langkah itu. Ia keluar perlahan, membawa senter. Cahaya senter menyapu hutan, tapi tak menemukan apa-apa.

“Bayu, bangun,” bisiknya.

Bayu berguling, membuka mata. “Kenapa?”

“Ada sesuatu di luar.”

Bayu duduk, mengaktifkan GPS lagi. Masih error. “Kita harus turun besok. Ini nggak beres.”

Raka mengangguk. “Kita mulai jam lima pagi. Sebelum kabut makin tebal.”

Malam berlalu dengan gelisah. Tak ada yang benar-benar tidur. Dina terus memandangi lonceng itu, seolah itu satu-satunya pelindung mereka.

Pagi datang tanpa matahari. Kabut tetap tebal. Mereka berkemas cepat dan mulai berjalan kembali ke arah yang mereka yakini sebagai jalur turun. Tapi jalur itu tak sama. Tanda-tanda pendakian hilang. Pohon-pohon tampak berbeda. Seperti mereka berjalan dalam lingkaran.

“Ini jalur yang sama seperti kemarin,” kata Bayu. “Tapi kita nggak pernah lewat pohon besar itu.”

Raka berhenti. “Kita tersesat.”

Tari mulai panik. “Kita nggak bisa keluar?”

Dina menatap sekeliling. “Gunung ini… menyesatkan kita.”

Bayu menatap Dina tajam. “Jangan mulai lagi.”

“Bayu, dengar. Ini bukan cuma soal jalur. Ada sesuatu di sini. Kita harus hormat. Kita harus minta izin.”

Raka menengahi. “Oke. Kita istirahat dulu. Kita tenangkan diri. Lalu kita coba cari arah dengan kompas.”

Mereka duduk di bawah pohon besar. Dina membuka buku kecil yang ia bawa—berisi catatan tentang mitos gunung-gunung di Jawa Barat. Ia membaca pelan.

“Rakutak. Nama yang berasal dari ‘rakut’—terjebak. Konon, gunung ini adalah tempat para pendaki yang hilang secara misterius. Beberapa kembali, tapi tak pernah sama. Beberapa… tak pernah ditemukan.”

Bayu menggeleng. “Itu cuma cerita.”

Raka menatap Dina. “Apa ada pantangan yang harus kita tahu?”

Dina membuka halaman lain. “Jangan bicara kasar. Jangan buang makanan sembarangan. Jangan ambil apapun dari hutan. Dan… jangan bunyikan lonceng kecuali benar-benar darurat.”

Tari menunduk. “Kemarin aku buang bungkus cokelat di jalur…”

Semua terdiam.

Raka berdiri. “Oke. Kita lanjut. Kita harus keluar dari sini.”

Mereka berjalan lagi. Tapi jalur itu seperti berubah. Pohon-pohon bergeser. Kabut makin tebal. Dan suara nyanyian itu terdengar lagi. Kali ini, dari arah depan.

Dina berhenti. “Kita harus berhenti. Kita harus minta maaf.”

Ia berdiri di tengah jalur, menunduk, lalu berkata pelan, “Kami minta maaf. Kami tidak tahu. Kami tidak berniat mengganggu.”

Lonceng di tangannya berbunyi sendiri. “Ting…”

Angin berhenti. Kabut menghilang sejenak. Dan di depan mereka, jalur baru muncul. Jalur yang tampak lebih jelas. Lebih terang.

Raka menatap Dina. “Apa itu…?”

Dina mengangguk. “Kita ikuti jalur itu.”

Mereka berjalan pelan. Tak ada suara. Tak ada gangguan. Tapi di hati mereka, rasa takut belum hilang. Mereka tahu, Gunung Rakutak belum selesai dengan mereka.

Lanjut membaca
Lanjut membaca