Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Uang Atau Cinta?

Uang Atau Cinta?

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
24.9K
Popular
100
Subscribe
4
Novel / Uang Atau Cinta?
Uang Atau Cinta?

Uang Atau Cinta?

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
24.9K
Popular
100
Subscribe
4
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifePria MiskinMengubah Nasib
Kadang aku merasa lima tahun itu cuma mimpi panjang yang akhirnya dibangunkan paksa oleh kenyataan. Aku dan Rani dulu percaya kalau cinta cukup. Kami melewati kuliah bareng, tiga tahun yang berat, sering makan seadanya, sering pura-pura kuat biar yang satu lagi tidak tambah terbebani. Setelah lulus, kami tinggal di kota yang sama, masih mencoba bertahan walau hidup rasanya menekan dari segala arah. Masalahnya, hidup kami tidak pernah benar-benar berjalan. Rani tidak kunjung dapat pekerjaan tetap. Aku kerja serabutan, jadi buruh harian setiap ada panggilan. karena nilai juga kurang dari standar untuk dapat pekerjaan layak. Kami bertahan, tapi sebenarnya kami hanya menunda runtuh. Lalu ada kesempatan buat Rani. Tantenya minta dia pindah ke luar kota, katanya ada pekerjaan bagus menunggu. Dia sempat ragu, tapi aku yang menyuruhnya pergi, kupikir itu yang terbaik. Kupikir cinta bisa mengisi celah jarak. Awal-awal semuanya baik-baik saja, kami masih saling kabar, masih saling rindu. Tapi lama-lama pesannya makin jarang… sampai akhirnya hampir tidak ada. Hari yang paling aku ingat adalah ketika satu surat terakhir datang. Isinya pendek, bahkan terlalu pendek untuk menghancurkan seseorang, tapi itu yang terjadi. Rani bilang dia mau menikah. Dengan atasannya. Aku baca surat itu berulang-ulang. Rasanya seperti ada ruang yang kosong mendadak terbuka di dadaku. Bukan karena dia memilih orang lain… tapi karena akhirnya aku paham sesuatu yang selama ini kutolak: Rani tidak meninggalkanku karena dia tidak cinta. Dia pergi karena hidupku terlalu berat untuk dia pertahankan. Dan entah kenapa, itu jauh lebih menyakitkan daripada diselingkuhi. Malam itu, di kamar kontrakanku yang sempit dan panas, aku cuma duduk lama banget tanpa melakukan apa-apa. Hanya mencoba menerima satu kenyataan sederhana yang akhirnya merobohkan lima tahun hidupku: Kadang cinta kalah. Bukan oleh orang ketiga, tapi oleh harapan akan hidup yang lebih mudah… yang tidak bisa aku beri.
BAB 1: Malam Ketika Kenangan yang Lama Terkubur Mulai Mengetuk Lagi

Aku tidak ingat kapan terakhir kali rumah ini benar-benar terasa tenang. Mungkin sebelum anak pertama lahir. Mungkin juga sebelum hidup mulai menumpuk tanggung jawab seperti batu besar di pundakku. Tapi malam itu, setelah anak-anakku akhirnya tidur dan istriku terlelap lebih dulu, rumah terasa sunyi dengan cara yang membuat dada justru semakin berat.

Aku duduk di sudut ranjang, memijat pelipis yang sejak tadi berdenyut. Hari ini aku pulang kerja lebih lambat dari biasa—motor macet, pesanan numpuk, dan seorang pelanggan memarahiku karena keterlambatan dua puluh menit. Padahal keterlambatan itu bukan salahku sepenuhnya. Tapi namanya kerja serabutan, kita tidak bisa membantah. Kita hanya bisa mengangguk, minta maaf, lalu lanjut bekerja seolah hati kita bukan sesuatu yang bisa luka.

Aku menarik napas panjang. Udara kamar hangat, hampir pengap. Kipas angin yang sudah tua hanya memutar angin itu-itu saja. Lampu kuning menyinari dinding yang mulai kusam. Tidak ada yang istimewa dari kamar ini, tapi di sinilah aku hidup, di sinilah aku menjadi suami dan ayah, di sinilah aku mencoba menjadi versi terbaik dari diriku, meski kadang rasanya seperti aku sedang berjalan tanpa peta.

Aku menatap kedua tanganku.

Kasarnya.

Lelahnya.

Retakan-retakan kecil yang muncul karena pekerjaan harian yang tidak pernah stabil.

Dulu aku bangga dengan tangan ini.

Sekarang, entah kenapa, aku hanya melihat bukti bahwa hidup tidak berjalan sesuai harapan.

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja kecil. Tidak ada notifikasi penting. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar baru. Ponsel itu terasa lebih seperti benda mati daripada alat komunikasi. Tapi saat layar menyala, sebuah notifikasi lama—arsip tujuh tahun lalu—muncul sebentar sebelum menghilang.

Hanya potongan kalimat:

“Kau baik-baik saja?”

Aku terpaku beberapa detik.

Aneh bagaimana satu kalimat dari masa lalu bisa membuat pikiran mengembara. Bukan karena aku rindu. Bukan karena aku ingin kembali. Tapi karena kalimat itu seperti membuka pintu kecil yang sudah lama kututup, pintu yang menyimpan kenangan paling panjang dalam hidupku selain keluargaku sendiri.

Hubungan enam tahun—tiga tahun kuliah, tiga tahun setelahnya—yang penuh hal-hal kecil, percakapan larut malam, mimpi-mimpi yang tidak pernah sempat kami wujudkan bersama.

Hubungan yang akhirnya tidak bertahan bukan karena aku tidak cinta, bukan karena aku tidak setia, tapi karena kadang hidup menempuh jalannya sendiri. Dan aku kalah sebelum sempat memperjuangkan apa pun.

Aku tidak membuka pesannya.

Tidak perlu.

Aku mengingat semuanya dengan terlalu baik.

Aku menyandarkan punggung ke dinding, menatap langit-langit kamar yang diam.

Istriku tidur menghadap ke dinding, rambutnya terurai pelan.

Aku mencintainya.

Aku menyayanginya.

Tidak pernah ada niat atau keinginan untuk mengkhianati itu.

Tapi malam-malam tertentu seperti ini, saat hidup begitu berat, kenangan masa lalu tidak muncul sebagai bentuk rindu—tetapi sebagai pengingat bahwa aku pernah menjadi seseorang yang berbeda. Seseorang yang punya harapan, seseorang yang percaya cinta bisa melawan keadaan bahkan tanpa uang dan stabilitas.

Lucu, ya?

Sekarang, aku yang dulu pernah membela cinta mati-matian justru mengerti bahwa cinta tanpa stabilitas adalah benda rapuh. Dan dulu aku terlalu muda untuk mengerti itu.

Aku menaruh ponsel.

Menutup mata.

Mencoba memaksa diri tidur.

Tapi justru ketika mataku terpejam, ingatan itu datang.

Pelan.

Tidak mendesak.

Tidak menyakitkan.

Hanya muncul seperti bayangan tipis yang lama-lama mengisi kepalaku.

Aku tersenyum kecil—senyum lelah—karena aku tahu aku tidak akan bisa tidur sebelum kenangan itu selesai mengetuk.

Kenangan itu datang dengan suasana tertentu:

ketika rumah sepi, ketika tubuh terlalu lelah, ketika hati terasa mengendap seperti air yang tidak mengalir.

Dan malam ini, semua syarat itu terpenuhi.

Aku ingat diriku pada usia dua puluh: mahasiswa biasa, tidak pintar, nilai pas-pasan. Orang tuaku punya cukup uang, lebih dari cukup, sebenarnya. Tapi aku keras kepala. Aku percaya bahwa laki-laki harus berdiri di kakinya sendiri, bahkan kalau caranya jatuh dan bangun berkali-kali. Jadi aku jarang memakai uang orang tuaku. Aku bangga hidup pas-pasan—dan bodohnya, aku pikir itu membuktikan sesuatu.

Entahlah apa.

Kadang aku menertawakan diriku yang dulu.

Tapi kadang aku merindukan semangatnya.

Aku membuka mata lagi.

Mataku terasa panas sebagian.

Aku tidak menangis.

Aku hanya… penuh.

Ada rasa-rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Rasa lega karena aku sudah melangkah jauh.

Rasa lelah karena hidup tidak pernah benar-benar mudah.

Rasa menyesal—sedikit—karena ada bagian diriku yang dulu tidak pernah kuberi waktu untuk sembuh.

Dan rasa ingin menceritakan semuanya.

Bukan pada siapa-siapa.

Tapi pada diriku sendiri.

Aku mengambil napas panjang, lalu perlahan, seperti seseorang yang membuka album foto lama, aku membiarkan kenangan mengalir.

Aku masih ingat hari pertama aku bertemu dengannya.

Masih ingat bagaimana ia tertawa pada hal-hal sepele.

Masih ingat bagaimana ia menjadi orang yang paling aku percayai di masa-masa ketika hidupku tidak jelas arahnya.

Dan aku masih ingat hari ketika segalanya berakhir, bukan karena aku menyerah—tapi karena ia dijodohkan keluarganya. Dan untuk pertama kalinya, aku disadarkan bahwa cinta bisa kalah begitu mudahnya ketika uang, status, dan masa depan ikut bicara.

Aku mengusap wajah.

Sudah bertahun-tahun sejak semua itu terjadi.

Aku bahkan pikir aku sudah lupa.

Ternyata tidak.

Bukan karena aku ingin kembali ke masa itu.

Hanya karena kenangan itu adalah bagian dariku.

Bagian yang membuatku menjadi laki-laki yang hari ini duduk di kamar kecil, memikirkan hidup sambil memandangi anak-anak yang tidur pulas.

Aku tidak membenci masa lalu.

Aku tidak membenci dia.

Aku tidak membenci siapa pun.

Aku hanya… ingin memahami.

Agar semua ini tidak lagi menggantung.

Karena kadang, menjadi dewasa bukan hanya soal bekerja keras dan membesarkan keluarga.

Kadang, menjadi dewasa berarti berani membuka pintu yang sudah lama kita kunci dan berkata:

“Aku pernah jatuh sedalam itu, dan aku tidak apa-apa.”

Malam itu, setelah berbulan-bulan aku tidak pernah menyentuh kenangan itu, aku akhirnya duduk diam dan membiarkan semuanya datang pelan-pelan.

Kenangan sedang tidak menyerangku.

Ia hanya minta diakui.

Aku mengambil ponsel sekali lagi—bukan untuk membuka pesan itu—tapi karena aku tahu apa langkah selanjutnya.

Menulis.

Mungkin inilah waktunya.

Mungkin aku harus menuliskan semuanya—dari awal kami bertemu, jatuh cinta, bertahan, lalu akhirnya berpisah—bukan untuk menyimpan luka, tetapi untuk menutupnya.

Agar suatu hari nanti, ketika hidup kembali berat, aku tidak lagi diseret kenangan yang belum selesai.

Aku ingin menjadi laki-laki yang utuh.

Bukan laki-laki yang separuhnya masih hidup di masa lalu.

Aku memejamkan mata.

Biarkan malam ini menjadi awalnya.

Besok aku kembali bekerja.

Besok aku kembali menjadi kepala keluarga.

Tapi malam ini…

malam ini aku membuka pintu masa lalu itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Bukan karena aku ingin kembali—tidak.

Tapi karena aku ingin akhirnya selesai.

Dan seperti itu, bab lama dalam hidupku yang pernah kupikir sudah tertutup rapat… mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Dengan hati-hati.

Dengan dewasa.

Dengan jujur.

Aku menarik napas panjang.

Lalu mulai mengingat dari awal.

Saat kami pertama kali saling menyapa.

Lanjut membaca
Lanjut membaca