

Langit sore itu berwarna jingga, seperti biasa. Darmo melangkah cepat di trotoar Jalan Merdeka, map cokelat di tangan kirinya, dan sebungkus gorengan di tangan kanan. Ia baru saja pulang dari kantor arsip kota, tempat ia bekerja selama lima belas tahun terakhir. Hidupnya teratur, nyaris membosankan. Ia tahu persis kapan harus bangun, kapan harus makan, dan kapan harus tidur. Ia tahu bahwa hidup adalah soal sebab dan akibat. Jika bekerja keras, maka gaji datang. Jika menabung, maka masa depan aman. Semua masuk akal. Semua logis.
Sampai hari itu.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang aneh di trotoar. Sebuah lubang, bukan lubang biasa, tapi lubang yang tampak... tidak konsisten. Pinggirannya bergetar pelan, seperti permukaan air yang tertiup angin. Warnanya bukan hitam, melainkan biru tua yang berpendar samar. Orang-orang di sekitarnya berjalan melewatinya tanpa menoleh, seolah lubang itu tak ada.
Darmo mendekat, ia jongkok, mencoba mengintip ke dalam. Tak terlihat dasar. Hanya kegelapan yang berdenyut, seperti napas makhluk besar. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut.
“Jangan lihat terlalu lama,” bisik suara dari belakang.
Darmo menoleh. Seorang pria tua dengan topi jerami berdiri di sana, membawa sekeranjang telur yang tampak seperti bola pingpong.
“Kenapa?” tanya Darmo.
“Karena kalau kau lihat terlalu lama, kau akan jatuh.”
Terlambat.
Kaki Darmo terpeleset. Dunia berputar. Map cokelat dan gorengan terlempar. Ia merasa tubuhnya meluncur ke bawah, tapi tak ada rasa jatuh. Tak ada gravitasi. Tak ada arah. Hanya pusaran warna, suara-suara aneh, dan potongan-potongan kalimat yang tak masuk akal:
“Semua jam adalah kemarin.”
“Untuk mengingat, kau harus lupa.”
“Logika adalah penyakit yang menular.”
“Selamat datang di tempat yang tak pernah ada.”
Lalu, gelap.
Ketika ia membuka mata, ia terbaring di atas rerumputan ungu. Langit di atasnya berbentuk segitiga, dengan matahari yang berputar seperti kipas angin. Di kejauhan, seekor kucing sebesar sapi sedang berdiskusi dengan jam dinding yang berjalan sendiri.
Darmo duduk perlahan. Kepalanya pening. Ia menepuk-nepuk tubuhnya, memastikan dirinya masih utuh. Ya, semua masih ada. Tapi dunia di sekelilingnya jelas bukan Jakarta, atau bahkan bumi.
“Selamat datang!” seru suara ceria.
Darmo menoleh. Seorang pria berdiri di sana, atau lebih tepatnya, berdiri terbalik. Kepalanya di bawah, kakinya di atas, tapi entah bagaimana ia tetap tegak. Wajahnya tersenyum lebar, meski matanya tampak kosong.
“Aku Kepala Terbalik,” katanya sambil membungkuk—atau mungkin meluruskan kakinya ke bawah. “Kau pasti Darmo, kami sudah menunggumu.”
“Menungguku?” Darmo mengerutkan kening. “Tunggu, ini di mana?”
“Ini Negeri Tanpa Logika,” jawab Kepala Terbalik. “Tempat di mana segala sesuatu tidak harus masuk akal.”
Darmo menggeleng. “Tidak mungkin, ini mimpi, aku pasti pingsan.”
“Bukan mimpi, tapi jangan khawatir. Semua orang berpikir begitu pada awalnya. Sampai mereka lupa bahwa mereka pernah berpikir.”
Darmo berdiri, mencoba menstabilkan dirinya. “Aku harus kembali, aku punya pekerjaan. Aku harus menyerahkan laporan ke Pak Rudi besok pagi.”
Kepala Terbalik tertawa. “Pak Rudi sudah menjadi ikan paus di sini. Ia berenang di langit dan memberi kuliah tentang geometri perasaan.”
Darmo menatapnya, bingung. “Apa maksudmu?”
“Di sini, logika adalah barang ilegal. Kami hidup berdasarkan absurditas. Semakin tidak masuk akal, semakin benar.”
Darmo menatap sekeliling. Seorang wanita sedang menyiram tanaman dengan pasir. Seorang anak kecil bermain catur dengan seekor burung hantu. Di kejauhan, sebuah rumah berdiri terbalik, atapnya menancap ke tanah.
“Bagaimana aku bisa keluar dari sini?” tanya Darmo.
“Keluar?” Kepala Terbalik mengangkat satu alis (atau mungkin menurunkan satu lutut). “Kenapa kau ingin keluar dari tempat yang bebas dari beban logika? Di sini, kau tak perlu menjelaskan apa-apa. Tak ada yang salah. Tak ada yang benar. Hanya ada... kemungkinan.”
Darmo menghela napas. “Aku tidak mengerti.”
“Dan itu bagus!” seru Kepala Terbalik. “Karena di sini, ketidaktahuan adalah kekuatan. Semakin kau bingung, semakin kau cocok.”
Tiba-tiba, seekor burung berbentuk segitiga terbang melintasi langit, meninggalkan jejak pelangi yang berubah menjadi huruf-huruf: “Selamat datang, Darmo. Hari ini adalah kemarin yang akan datang.”
Darmo memejamkan mata. Ia mencoba mengingat jalan pulang, tapi pikirannya kabur. Nama jalan, arah rumah, bahkan wajah Pak Rudi—semuanya mulai memudar.
“Jangan melawan,” bisik Kepala Terbalik. “Biarkan absurditas meresap. Kau akan merasa lebih ringan.”
Darmo membuka mata. Ia melihat sekeliling sekali lagi. Dunia ini gila. Tapi juga... menarik. Tak ada kemacetan. Tak ada deadline. Tak ada bos yang marah karena laporan telat.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “apa yang harus kulakukan sekarang?”
Kepala Terbalik tersenyum. “Langkah pertama adalah mendaftar ke Sekolah Melupakan. Di sana, kau akan belajar cara melepaskan logika. Setelah itu, dunia ini akan lebih masuk akal bagimu—dalam cara yang tidak masuk akal, tentu saja.”
Darmo mengangguk, meski belum sepenuhnya paham. Tapi satu hal pasti: hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Dan mungkin, itu bukan hal yang buruk.
Darmo mengikuti Kepala Terbalik menyusuri jalan setapak yang terbuat dari potongan-potongan teka-teki. Setiap langkah membuat bunyi “klik” seperti puzzle yang disusun. Di kiri-kanan, pepohonan tumbuh terbalik: akarnya menjulang ke langit, daunnya tertanam di tanah. Seekor kambing berwarna biru muda melintas sambil menyanyikan lagu kebangsaan dalam bahasa Morse.
“Apakah semua orang di sini... seperti itu?” tanya Darmo, menunjuk ke seorang pria yang sedang berdiskusi serius dengan bayangannya sendiri.
“Tidak semua,” jawab Kepala Terbalik. “Ada juga yang lebih aneh.”
Mereka tiba di sebuah gerbang besar bertuliskan: Selamat Datang di Distrik Ketaksadaran. Di bawahnya, papan petunjuk berputar-putar, menampilkan arah yang berubah setiap detik: “Ke Timur Laut”, “Ke Dalam Diri”, “Ke Masa Lalu yang Belum Terjadi”.
“Ini tempat tinggalmu sementara,” kata Kepala Terbalik. “Kau akan tinggal di Rumah Miring. Jangan khawatir, gravitasi di sana bersifat opsional.”
Rumah Miring ternyata benar-benar miring. Tangga naik ke bawah, dan pintu masuk berada di langit-langit. Darmo harus melompat ke atas untuk masuk. Di dalam, furnitur menempel di dinding, dan cermin hanya memantulkan bayangan orang lain.
Di atas meja, ada secarik kertas bertuliskan:
> “Untuk bertahan hidup di sini, jangan percaya pada apa pun yang terlalu masuk akal.
> Jika kau merasa paham, berarti kau salah.
> Jika kau bingung, berarti kau di jalur yang benar.”
Darmo duduk di kursi yang berubah bentuk setiap lima menit. Ia memandangi langit segitiga dari jendela yang berpindah tempat. Di kejauhan, terdengar lonceng berbunyi mundur.
Ia menutup mata.
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tak tahu harus berharap apa. Dan entah kenapa, itu terasa... melegakan.