

HARI KELULUSAN YANG MENGUBAH HIDUPKU.....
Pagi itu seharusnya jadi pagi yang sederhana—pagi yang cuma berisi anak-anak kelas enam SD yang sibuk berfoto, saling lempar tanda tangan di buku kenangan, dan guru-guru yang pura-pura tegas padahal sebentar lagi mereka juga bakal nangis. Tapi buat Tegar Dipa Mahesa, pagi itu kerasa beda. Ada sesuatu yang sejak subuh bikin dadanya sesak, semacam firasat yang nggak tahu harus disalahin ke siapa.
Dia berdiri di halaman sekolah, masih dengan seragam putih yang mulai kekecilan di bagian tangan. Orang lain sibuk foto-foto, tapi Tegar cuma lihat ke langit. Langit pagi itu aneh—ungu muda bercampur biru kehijauan, seperti cat air yang sengaja ditumpahin tanpa aturan. Cantik, tapi ganjil. Kayak lagi nyimpen sesuatu.
“Tegar! Foto bareng lah!” teriak teman sebangkunya, Riko.
“Hm… nanti,” jawab Tegar pelan.
"ok..."sahut riko sambil pergi ke arah teman-teman nya yang sedang berfoto di pojok taman.
Riko cuma geleng-geleng. Sudah biasa. Tegar memang bukan tipe anak yang gampang ikut keramaian. Bukan karena sombong, tapi karena pikirannya selalu penuh hal-hal yang nggak terpikir anak seusianya. Sejak kecil, hidup udah bikin dia dewasa lebih cepat dari seharusnya.
Ibunya belum muncul. Katanya mau datang lebih pagi. Tapi jam sudah hampir delapan, dan halaman sekolah mulai penuh orang tua yang bawa bunga, kue, bahkan ada yang bawa boneka sebesar bantal. Tegar cuma bawa satu kantong plastik berisi bekal yang ibu siapkan: roti coklat dan susu kotak murah.
Dia duduk di pinggir lapangan, meremas ujung seragamnya sendiri.
“Kenapa sih Ibu lama banget?” gumamnya dalam hati.
Bukan cuma telat. Ada sesuatu yang terasa meleset. Ibu selalu tepat waktu, apalagi buat acara sekolah. Walaupun hidup mereka sederhana dan rumah sering kekurangan barang, ibu selalu berusaha ada di depan untuk urusan Tegar dan adiknya.
Tegar menarik napas. “Mungkin Ibu kepagian masak.”
Atau mungkin Ibu harus bantu nenek di pasar. Atau ngurus adiknya yang lagi pilek. Atau macet. Atau—
Pikiran itu berhenti ketika bunyi klakson mobil ambulans terdengar dari kejauhan.
Awalnya semua anak cuma lihat sekilas, karena siapa peduli ambulans lewat di jalan depan sekolah? Tapi Tegar merasa jantungnya mendadak jatuh ke perut. Bukan karena dia tahu sesuatu. Lebih tepatnya… karena tubuhnya tahu duluan.
Ambulans itu berhenti bukan di jalan—tapi belok masuk ke halaman sekolah.
Guru-guru langsung panik. Orang tua murid mulai saling tanya. Anak-anak berdiri dengan wajah bingung. Suara sirine berhenti, tapi rasa takut justru makin keras.
Tegar merasa kakinya gemetar.
Pintu ambulans terbuka. Dua petugas turun, lalu seorang ibu guru menghampiri mereka dengan wajah pucat. Tegar nggak bisa dengar jelas apa yang dikatakan, tapi pandangan mata guru itu… langsung membuat udara di sekitar Tegar seolah ikut runtuh.
Seorang petugas menoleh ke arah kerumunan. Matanya menyapu wajah-wajah kecil itu seperti sedang mencari seseorang.
Dan ketika pandangan itu berhenti tepat pada diri Tegar, dia langsung tahu.
“Ibu…” bisiknya, suara hampir patah.
Guru kelasnya, Bu Mira, berlari menghampirinya sebelum petugas itu sempat bicara.
“Tegar, ikut Ibu ya… Ibu mau jelasin sesuatu… jangan panik dulu. Tenang, Nak.”
Tapi bagaimana caranya tenang ketika kata-kata guru itu saja sudah terasa seperti pukulan?
Langkah kaki Tegar berat, seperti ada batu yang digantungkan di pergelangan kakinya. Dunia sekeliling mulai terdengar jauh, seolah suara-suara dipendam dalam air. Anak-anak yang tadi tertawa sekarang diam menatapnya. Dan setiap langkah membuat hatinya makin mengecil.
Di samping ambulans, Tegar melihat sesuatu yang membuatnya ingin mundur.
Selimut putih.
Setengah menutupi tubuh seseorang.
Darah kering di ujung kain.
Dan sandal ibu—sandal coklat yang sudah tipis, satu-satunya yang ibu pakai pergi ke mana-mana—terlihat terselip di bawah brankar.
Dunia Tegar runtuh begitu cepat, sampai dia nggak sempat bernapas.
“Ibu…” suaranya pecah.
Seorang petugas ambulan langsung angkat suara, lembut tapi tegas. “Ibunya masih hidup, Nak. Tapi kondisinya butuh perawatan cepat.”
Tegar membeku. Setengah hidup, setengah mati, tapi ucapan itu cukup untuk membuatnya bisa bernapas lagi. Meski napasnya pendek, patah-patah.
Bu Mira memegang kedua bahunya. “Tegar, kamu harus ikut. Kita ke rumah sakit sekarang. Adikmu sudah diurus tetangga. Ibu kamu butuh kamu.”
Tegar mengangguk otomatis. Tubuhnya bergerak tanpa perintah. Dia masuk ke ambulans, duduk di samping brankar. Tangannya gemetar saat memegang ujung selimut ibu. Ibu belum sadar. Nafasnya terdengar seperti ada rintihan halus di antara sela-sela oksigen.
“Ibu, aku di sini…”
Tangisnya jatuh tanpa bisa ditahan.
Tegar jarang menangis. Bahkan ketika ayahnya pergi tanpa kabar bertahun-tahun lalu, dia cuma diam dan menerima. Tapi kali ini, rasa takutnya terlalu besar.
Petugas menutup pintu ambulans. Sirine kembali menyala.
Saat ambulans melaju, Tegar menatap wajah ibunya yang pucat, baju yang robek di beberapa sisi, dan jahitan kasar di pelipisnya. Rasanya seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
“Kenapa harus hari ini, Bu…” suara Tegar bergetar.
Hari kelulusan SD.
Hari yang seharusnya dia rayakan bersama orang yang paling berarti di hidupnya.
---
Rumah sakit itu tidak jauh, tapi perjalanan terasa seperti bertahun-tahun. Ketika mereka sampai, ibu langsung dibawa masuk ke ruang gawat darurat. Tegar tidak boleh ikut. Dia berdiri sendirian di depan pintu, memeluk tas sekolahnya seperti itu satu-satunya pegangan hidup.
Pintu tertutup.
Tegar menatapnya tanpa berkedip.
Tegar berdiri di depan ruang perawatan, Ia menunduk, memandang kedua tangannya yang gemetar.
Hari ini seharusnya jadi hari bahagia. Hari kelulusan. Hari dia merayakan pencapaiannya.
Tapi hidup tidak pernah menunggu siapa pun. Tidak menunggu ia dewasa, tidak menunggu ia siap.
Di momen itu, Tegar merasa seperti sesuatu di dalam dirinya berubah pelan-pelan. Bukan keras atau dramatis. Hanya… ada rasa sadar baru yang tumbuh.
Rasa takut berubah menjadi rasa kosong.
Rasa kosong berubah menjadi rasa sakit.
Dan rasa sakit berubah menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
Sebuah suara kecil muncul dalam dirinya, bukan suara yang ia dengar dengan telinga, tapi suara yang terasa datang dari dalam dada, dari bagian dirinya yang tidak pernah ia sadari.
“Tenang, Gar. Kamu nggak sendiri.”
Tegar mengusap air matanya. “Siapa…?”
Tidak ada jawaban. Hanya sunyi. Tapi sunyi itu tidak menyeramkan. Justru hangat. Seperti pelukan tak terlihat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Tegar merasa ada yang memanggilnya dari dalam dirinya sendiri.
Dan suara itu—desah ringan itu—akan jadi awal perjalanan panjang yang belum pernah ia bayangkan.
Perjalanan yang kelak bukan cuma membuatnya kuat…
tapi membuatnya menemukan siapa dirinya sebenarnya.