Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Bermain Untuk Bertahan

Bermain Untuk Bertahan

Creamkane | Bersambung
Jumlah kata
45.1K
Popular
100
Subscribe
6
Novel / Bermain Untuk Bertahan
Bermain Untuk Bertahan

Bermain Untuk Bertahan

Creamkane| Bersambung
Jumlah Kata
45.1K
Popular
100
Subscribe
6
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalSistemGamePertualangan
Fauzi dan Stesyah terbangun di Aethel, dunia game brutal yang dikendalikan oleh The Architect. Dengan kekuatan Kecepatan dan Adaptasi, mereka berjuang untuk bertahan, mengungkap konspirasi yang jauh lebih besar melibatkan Proyek Neo-Bumi dan entitas kosmik The Warden. Perjuangan mereka membawa mereka melintasi dunia paralel, memaksa aliansi yang tidak nyaman dengan musuh bebuyutan mereka untuk menyelamatkan Bumi. Kemenangan mereka melahirkan era baru bagi umat manusia dengan 'Sistem' sebagai bagian dari kehidupan, namun kedamaian itu rapuh. Mereka harus menghadapi perang saudara, kebangkitan ancaman yang lebih besar, dan bahkan kehilangan kemanusiaan mereka sendiri, menjadi entitas ilahi. Pada akhirnya, perjalanan mereka membawa mereka kembali ke titik awal yaitu belajar untuk menjadi manusia lagi di dunia yang telah mereka bayar mahal untuk selamatkan, menghadapi gema terakhir dari pengorbanan mereka.
Bab 1. Kebangkitan di Gurun Pasir

Bab 1. Kebangkitan di Gurun Pasir

Pijaran matahari serasa menusuk langsung ke dalam tengkoraknya. Pasir panas membakar kulit punggungnya yang telanjang, setiap butirnya seperti ujung jarum membara. Fauzi terbatuk hebat, memuntahkan segumpal pasir kering yang menyumpal kerongkongannya. Rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya, tumpul dan menyiksa.

"Anjir... di mana ini?" gumamnya serak. Dia mencoba bangkit, bertumpu pada sikunya, namun dunia berputar liar. Panas. Segala sesuatu terasa panas.

"Jangan banyak bergerak." Suara itu tenang, terkontrol, tetapi ada getar panik yang tersembunyi di dalamnya. Di sebelahnya, seorang perempuan—Stesyah—sudah duduk bersila, matanya yang tajam memindai cakrawala gurun yang tak berujung. Keringat membasahi pelipisnya, tapi napasnya teratur.

"Kamu siapa? Gimana kita bisa ada di sini?" tanya Fauzi, mencoba memaksa ingatannya bekerja. Kosong. Hanya ada kilatan cahaya putih dan sensasi jatuh yang tak berkesudahan.

"Aku Stesyah. Dan pertanyaan keduamu itu, aku juga gak punya jawabannya." Stesyah menunjuk ke tangannya sendiri, lalu ke tangan Fauzi. "Tapi mungkin ini ada hubungannya."

Fauzi menunduk. Di punggung tangan kanannya, sebuah lambang aneh berpendar dengan cahaya biru redup. Sebuah pola geometris yang rumit, seperti sirkuit digital yang tercetak di bawah kulit. Dia menyentuhnya dengan jari tangan kirinya. Seketika, sebuah panel transparan berwarna biru muncul di hadapannya, melayang di udara.

[PLAYER BARU TERDETEKSI]

[NAMA: FAUZI]

[LEVEL: 1]

[KETERAMPILAN DASAR TERBUKA:]

- Kecepatan (Pasif/Aktif)

"Apa-apaan ini?" seru Fauzi, sontak menarik tangannya. Panel itu berkedip lalu lenyap. "Beneran? Ini kayak game?"

"Aku juga dapat," sahut Stesyah, suaranya tetap rendah. "Tapi punyaku beda." Dia mengaktifkan panelnya.

[NAMA: STESYAH]

[LEVEL: 1]

[KETERAMPILAN DASAR TERBUKA:]

- Adaptasi Lingkungan (Pasif)

"Adaptasi Lingkungan?" Fauzi mengernyit. "Keterampilan apa itu?"

"Aku bisa merasakan semuanya," bisik Stesyah, matanya terpejam. "Suhu pasir di bawah kita, 48 derajat Celsius. Kelembapan udara, 3%. Angin bergerak dari timur laut dengan kecepatan sekitar 5 kilometer per jam. Suhu tubuh kita... naik terlalu cepat."

Fauzi merasakan euforia aneh menjalari dirinya, menyingkirkan rasa sakit dan panik. "Kecepatan..." Dia bergumam. Tanpa pikir panjang, dia memfokuskan pikirannya pada kata itu. Energi asing berdenyut dari lambang di tangannya, menyebar ke seluruh otot kakinya.

"Tunggu, Fauzi, jangan..."

Terlambat. Fauzi mendorong tubuhnya untuk berdiri. Dunia di sekelilingnya seketika melambat. Gerakan Stesyah yang hendak menahannya terlihat seperti adegan dalam gerak lambat. Dengan satu lompatan ringan, dia melesat maju. Angin menderu melewati telinganya. Pasir terasa seperti kerikil lembut di bawah kakinya yang bergerak begitu cepat. Lima puluh meter dalam sekejap mata.

Dia berhenti, terengah-engah, tawa gembira keluar dari mulutnya. "Bjir, ini gila! Beneran gila!"

"Bodoh!" Suara Stesyah terdengar tegang di kejauhan. "Lihat statusmu!"

Fauzi mengaktifkan kembali panelnya. Di bawah status Level 1, sebuah bar biru bernama "Stamina" telah berkurang hampir tiga perempat. Di sebelahnya, bar merah "Kesehatan" juga menurun akibat panas ekstrem. Sebuah ikon dehidrasi berkedip-kedip merah.

"Oh," ucapnya pelan.

Stesyah akhirnya menyusul, berjalan dengan langkah terukur yang hemat energi. "Kita gak tau apa pun tentang tempat ini. Kamu gak bisa seenaknya buang-buang energi. Kekuatan ini ada harganya."

Tepat saat Stesyah selesai berbicara, kedua panel mereka menyala bersamaan tanpa disentuh.

[MISI UTAMA PERTAMA: BERTAHAN HIDUP]

[OBJEKTIF: MASUKI KOTA AETHEL]

[BATAS WAKTU: SAAT MATAHARI TERBENAM]

[KEGAGALAN: KEMATIAN]

Mata Fauzi melebar. "Kematian?"

Stesyah menunjuk ke depan. Di kejauhan, fatamorgana membentuk siluet samar sebuah kota yang dikelilingi tembok raksasa. "Kayaknya tujuan kita ada di sana."

"Ya udah, ayo berangkat!" kata Fauzi, semangatnya kembali berkobar.

"Jalan, Fauzi. Bukan lari," koreksi Stesyah tajam. "Kita harus simpan staminamu untuk keadaan darurat. Aku akan coba menjaga suhu tubuh kita tetap stabil, tapi Adaptasiku juga punya batas."

Mereka berjalan dalam diam selama hampir satu jam. Gurun itu adalah neraka tanpa bayangan. Matahari serasa menggantung tepat di atas kepala mereka, membakar tanpa ampun. Fauzi bisa merasakan bibirnya pecah-pecah dan kepalanya mulai pusing. Di sebelahnya, Stesyah tampak lebih baik, lapisan keringat tipis di kulitnya seolah menguap lebih efisien, menjaganya tetap dingin.

"Aku gak kuat lagi," keluh Fauzi, langkahnya mulai gontai. "Kita butuh minum."

"Fokus aja, Fauzi. Sebentar lagi sampai," jawab Stesyah, meskipun suaranya juga terdengar sedikit goyah. "Terus bergerak adalah satu-satunya pilihan kita."

Akhirnya, gerbang raksasa kota itu mulai terlihat jelas. Dua pilar batu setinggi gedung lima lantai menjulang dari pasir, mengapit sebuah pintu baja kolosal yang tertutup rapat. Tapi ada satu masalah.

"Itu... apa?" bisik Fauzi.

Di depan gerbang, sesosok makhluk mondar-mandir. Tubuhnya sebesar truk tronton, tertutup karapas seperti serangga raksasa. Enam kaki tajam menancap di pasir, dan dua capit besar di depan membuka dan menutup dengan suara kertakan yang mengerikan. Di atas kepalanya, sebuah nama dan bar kesehatan melayang, hanya terlihat oleh mereka.

[PENJAGA GERBANG GURUN - SCARABAX]

[LEVEL: 3]

"Level tiga?" desis Fauzi. "Kita bahkan baru Level satu. Gimana caranya kita bisa lewat?"

Stesyah menariknya bersembunyi di balik sebuah bukit pasir kecil. "Gak mungkin kita lawan langsung." Matanya memindai area itu dengan cermat, menganalisis setiap detail. "Dia bergerak dalam pola. Lima puluh langkah ke kiri, berhenti, lima puluh langkah ke kanan, berhenti. Ada jeda sekitar sepuluh detik setiap kali dia berbalik di ujung."

"Sepuluh detik gak akan cukup buat lari sampai gerbang," sanggah Fauzi.

"Buat kamu, cukup," kata Stesyah, menatapnya lurus. "Dengerin aku baik-baik. Rencananya begini. Aku akan bikin pengalihan di sebelah kanan sana. Saat Scarabax itu bergerak untuk memeriksa, dia akan membelakangi gerbang. Itu kesempatanmu."

"Pengalihan? Kamu mau ngapain? Teriak?"

Stesyah tersenyum tipis. "Sesuatu yang lebih baik." Dia meletakkan telapak tangannya di atas pasir. "Aku bisa merasakan getaran di bawah tanah. Ada lapisan batuan yang rapuh sekitar sepuluh meter di sebelah kanan sana. Kalo aku bisa memfokuskan getaran dari langkah monster itu dan memantulkannya kembali ke titik itu..."

"Kamu mau bikin longsoran pasir?" tanya Fauzi tak percaya.

"Cuma butuh suara yang cukup keras buat menarik perhatiannya selama beberapa detik," jawab Stesyah. "Saat dia berbalik sepenuhnya, kamu lari. Lurus ke gerbang. Jangan berhenti, jangan lihat ke belakang. Paham?"

Fauzi menelan ludah. Rencana itu gila, tapi itu satu-satunya yang mereka punya. "Aku paham."

"Bagus. Tunggu aba-abaku," bisik Stesyah, matanya terpejam lagi, berkonsentrasi penuh.

Fauzi berjongkok, otot-otot kakinya tegang, siap melesat. Dia melihat Scarabax itu mencapai ujung patrolinya di sebelah kiri dan mulai berbalik. Jantungnya berdebar kencang. Ini dia.

"Sekarang!" seru Stesyah.

Tepat pada saat itu, gundukan pasir di sebelah kanan jalur patroli monster itu bergetar hebat. Dengan suara gemuruh pelan, sebagian lereng bukit pasir itu runtuh, menciptakan awan debu yang tebal. Scarabax itu berhenti, kepalanya yang besar menoleh ke arah suara dengan cepat.

Kesempatan.

Fauzi mengerahkan seluruh sisa staminanya. Dunia kembali melambat. Dia melesat dari balik persembunyiannya seperti peluru. Pasir menyambut kakinya, angin menderu, gerbang baja semakin dekat. Dia bisa melihatnya. Sepuluh meter lagi. Lima.

Dia tidak menyadari ujung ekor monster itu yang terayun liar karena terkejut. Sebuah sengatan tajam menghantam sisi tubuhnya, merobek bajunya dan menggores kulitnya dalam-dalam. Fauzi berteriak kesakitan, tetapi momentum membawanya terus maju. Dia berguling melewati ambang gerbang, mendarat dengan keras di atas paving batu yang lebih dingin.

[MEMASUKI KOTA AETHEL]

[ANDA BERADA DI ZONA AMAN]

[SEMUA KETERAMPILAN AKTIF DINONAKTIFKAN]

"Hah?" Energi di kakinya lenyap seketika. Panel statusnya berkedip, ikon Keterampilan Kecepatan berubah menjadi abu-abu. Dia mencoba berdiri, rasa sakit dari lukanya membuatnya terhuyung.

"Stesyah!" Dia berbalik, pandangannya panik.

Di luar gerbang, rencananya telah menjadi bumerang. Stesyah, yang posisinya kini terekspos, membeku di tempat. Scarabax yang marah itu telah melupakannya. Kini, monster itu berdiri menjulang di atas Stesyah, capitnya yang raksasa terangkat tinggi, siap untuk menghancurkannya menjadi debu.

Fauzi berteriak. Dia mencoba mengaktifkan Kecepatannya lagi. Tidak ada. Ikon itu tetap abu-abu, tidak responsif. Dia mencoba berlari keluar untuk menolongnya, tetapi tubuhnya terasa berat dan lamban seperti manusia normal. Dari dalam Zona Aman, dia hanya bisa menatap tak berdaya saat capit mematikan itu mulai bergerak turun.

Lanjut membaca
Lanjut membaca