Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
PRAJURIT VIRAL DI TANAH CENDRAWASIH

PRAJURIT VIRAL DI TANAH CENDRAWASIH

hw1212 | Tamat
Jumlah kata
21.0K
Popular
100
Subscribe
2
Novel / PRAJURIT VIRAL DI TANAH CENDRAWASIH
PRAJURIT VIRAL DI TANAH CENDRAWASIH

PRAJURIT VIRAL DI TANAH CENDRAWASIH

hw1212| Tamat
Jumlah Kata
21.0K
Popular
100
Subscribe
2
Sinopsis
PerkotaanSekolahPahlawanZero To HeroMengubah Nasib
Revan Anggara, seorang perwira muda Kopassus yang baru lulus dari Akmil, dikirim ke pedalaman Papua untuk menjalankan tugas pertamanya sebagai prajurit. Ia datang dengan semangat tinggi, namun tidak pernah membayangkan bahwa penugasannya akan menjadi titik balik yang mengubah hidupnya selamanya. Di tengah alam Papua yang megah, Revan menyaksikan kenyataan pahit: warga desa terpencil yang hidup dalam kekurangan, anak-anak yang kelaparan, harga pangan yang melambung, dan ancaman konflik yang tidak pernah benar-benar padam. Saat berbaur dengan masyarakat, Revan menemukan persahabatan tulus, tawa anak-anak, hingga kisah pilu para orang tua yang bergumul melawan kerasnya hidup. Perjuangannya tak hanya soal keamanan. Ia membangun rumah warga, menjadi guru, menyelamatkan nyawa, hingga menjadi jembatan antara aparat dan mantan kelompok bersenjata. Lewat video-video yang ia unggah, dunia luar akhirnya menoleh: bantuan mengalir, harapan tumbuh. Namun tugas tetap tugas. Ketika masa penugasan hampir selesai, perpisahan terasa begitu berat. Revan akhirnya pulang, namun tidak sendiri — ia membawa delapan anak pedalaman yang mendapat beasiswa penuh untuk menggapai mimpi mereka di tanah Jawa. “Cahaya Merah di Tanah Cendrawasih” adalah kisah tentang perjuangan, kemanusiaan, dan cinta yang hadir dalam bentuk paling sederhana: kehadiran, ketulusan, dan harapan yang dibangun bersama.
BAB 1

LANGKAH PERTAMA DI TANAH MUTIARA HITAM

Angin dari baling-baling helikopter memukul wajah Revan Anggara ketika ia melompat turun dari pintu kabin. Tanah basah Papua menyambut telapaknya dengan aroma lumpur dan hutan yang begitu pekat. Udara di sini berbeda—lebih berat, lebih liar, lebih jujur. Ia menahan napas sejenak, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan. Ini adalah penugasan pertamanya sebagai seorang perwira. Letda Revan Anggara, baru beberapa bulan lalu berdiri tegap di lapangan upacara lulusan Akmil, kini tengah menapaki tanah yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.

Helikopter masih berputar kencang saat ia berjalan menjauh dari pusaran angin. Di hadapannya berdiri sebuah pos kecil dari kayu dan seng, dikelilingi pagar kawat yang sudah mulai berkarat. Dua prajurit baret merah berdiri di depan gerbang, salah satunya memberi hormat sambil berteriak, “Siap, selamat datang di Pos Kanggime, Letda!”

Revan membalas hormat. Dadanya mengembang bangga. Sekian tahun ia menempuh pendidikan keras kopasus—lari belasan kilometer, merayap di lumpur, jungkir balik dalam latihan berbahaya—sekarang semuanya membawa ia ke sini, daerah yang selama ini hanya ia dengar dalam briefing dan berita. Papua. Tanah konflik. Tanah yang indah namun tak pernah sepi dari luka.

Dari balik pintu pos, muncul seorang lelaki berwajah keras dengan kumis tebal dan sorot mata yang tajam. Seragamnya sedikit lusuh, tapi pinggangnya penuh perlengkapan. Ia berjalan dengan langkah mantap.

“Letnan Revan Anggara?” tanyanya.

“Siap, Komandan!” Revan berdiri tegap.

“Perkenalkan, saya Kapten Yusuf. Komandan pos ini.” Kapten itu mengulurkan tangan. Genggamannya kuat, seperti tangan seseorang yang sudah melewati puluhan operasi di medan berat.

“Selamat datang di ujung dunia, Nak. Tempat ini bukan Jawa. Bukan Surabaya. Bukan Magelang. Di sini, yang keras bukan cuma musuh—tapi hidup.”

Revan mengangguk. “Siap menerima tugas, Komandan.”

Kapten Yusuf menatapnya lama, seolah membaca isi hatinya. “Semangat itu bagus. Tapi ingat, idealismemu akan diuji habis-habisan di sini. Banyak perwira muda datang dengan dada membusung, tapi pulang dengan mata yang berbeda. Papua akan membuatmu melihat lebih dari sekadar perang.”

Revan sempat bingung. Ia tak tahu apa maksud ucapan itu. Namun sebelum sempat bertanya, Kapten Yusuf menunjuk ke arah barak kayu di sisi kanan pos.

“Letakkan ranselmu dulu. Setelah itu ikut saya keliling pos. Kamu harus lihat sendiri kondisi medan kita.”

Revan memasuki barak, meletakkan ransel beratnya yang sudah menemani perjalanan panjang. Baraknya sederhana: satu ranjang besi, kasur tipis, satu loker kayu, dan jendela kecil yang menghadap ke hutan gelap. Bau lembap menusuk hidung, tapi Revan mencoba membiasakan diri. Ia menarik napas panjang, lalu keluar mengikuti komandan.

---

Di luar, udara lembap membuat seragamnya cepat terasa gerah. Hutan menjulang di segala arah, seperti dinding hijau tinggi yang seolah sengaja menyembunyikan apa pun yang ada di baliknya. Sekilas suasana tampak tenang, tapi Revan tahu ketenangan itu bisa pecah kapan saja.

Kapten Yusuf berjalan di depan sambil menunjukkan berbagai titik penjagaan. “Kalau malam, suhu turun drastis. Kadang kabut turun sampai ke gerbang pos. Jika ada yang coba mendekat, kita hanya bisa mengandalkan telinga.”

Revan mendengarkan dengan seksama. “Apakah serangan sering terjadi, Komandan?”

Kapten Yusuf menghela napas. “Tidak selalu. Tapi di sini, bukan soal sering atau tidaknya. Cukup sekali lengah, habis semua.”

Revan mengangguk tegang.

Mereka kemudian berdiri di tepi pos, menghadap bukit hijau yang bergelombang. Terlihat satu jalur tanah merah yang mengarah jauh ke dalam hutan. Jalur itu tampak sepi dan seakan tak pernah dilalui orang.

“Itu jalan ke kampung yang nanti akan kita bantu jaga,” jelas Kapten Yusuf. “Warga di sana hidup serba terbatas. Jangan kaget kalau kamu nanti melihat kondisi mereka.”

Revan menelan ludah. Ia membayangkan kampung itu seperti desa di Jawa yang masih tradisional. Tapi entah kenapa, dari nada suara komandannya, ia merasa apa yang akan ia lihat tidak sesederhana itu.

Setelah kembali ke area dapur umum, Kapten Yusuf memberi isyarat duduk. Mereka duduk di bangku kayu kasar. Seorang prajurit menyajikan kopi hitam pekat yang aromanya cukup menusuk.

“Minum. Ini kopi yang akan menemanimu begadang semalaman kalau pos dapat gangguan,” ujar Kapten Yusuf sambil tersenyum tipis.

Revan tersenyum sopan. “Siap, Komandan.”

Hening sejenak. Hanya suara hutan yang terdengar—burung-burung yang entah namanya apa, dan desiran angin menyentuh daun.

“Revan,” kata Kapten Yusuf perlahan. “Kenapa kamu memilih kopassus?”

Revan tak menyangka akan ditanya begitu cepat. Ia berpikir sebentar. “Karena saya ingin mengabdi sepenuhnya, Komandan. Saya ingin berada di garis depan, jadi pelindung bagi bangsa. Itu cita-cita saya sejak kecil.”

Kapten Yusuf mengangguk pelan, namun matanya tampak menyimpan sesuatu yang lebih dalam. “Cita-cita yang bagus. Tapi ketahuilah satu hal: di Papua, musuh terbesarmu bukan hanya kelompok bersenjata. Tapi juga jarak, kemiskinan, dan ketidakadilan yang sudah lama membusuk. Di sini, kita bukan cuma tentara. Kita sering kali jadi dokter, guru, kadang jadi keluarga bagi warga.”

Revan mendengarkan dengan seksama. Kata-kata itu terasa berat. Lebih berat dari ransel 30 kilogram yang biasa ia bawa.

“Besok,” lanjut Kapten Yusuf, “kamu ikut patroli ke kampung. Kamu akan melihat sendiri kehidupan mereka. Dan mungkin… kamu akan mengerti kenapa banyak prajurit yang pulang dari Papua menjadi orang yang berbeda.”

---

Malam tiba lebih cepat dari yang Revan bayangkan. Langit yang tadi biru cerah berubah menjadi hitam pekat tanpa banyak bintang. Suara hutan meningkat: serangga malam berdengung, burung hantu melolong, dan sesekali ada suara ranting patah entah oleh binatang atau apa. Revan duduk di ranjangnya, masih memakai kaus hijau dan celana lapangan.

Ia menatap gelang jamnya sambil berpikir: inikah awal dari perjalanan panjangnya sebagai prajurit?

Ia mengira hidup sebagai anggota kopassus akan penuh aksi seperti dalam latihan—tembak-menembak, penyergapan, dan operasi. Namun dari ucapan Kapten Yusuf, ia mulai merasakan bahwa tugas mereka jauh lebih besar daripada itu.

Ia menghela napas panjang. “Papua…” gumamnya pelan. “Aku siap melihatmu apa adanya.”

Di luar barak, suara jangkrik mengalun panjang. Hutan menyanyikan lagu malamnya, seolah menyambut seorang perwira muda yang baru saja tiba, dengan segala mimpi, ketakutan, dan idealismenya.

Dan entah disadari atau tidak, di bawah gelapnya malam Papua itu, kehidupannya perlahan mulai berubah.

Lanjut membaca
Lanjut membaca