

Pukul lima pagi, alarm bututku berbunyi seperti jeritan ayam kesakitan. Aku mematikan tombolnya tanpa melihat layar, lalu melepas napas panjang. Udara subuh selalu membuatku sedikit mengantuk, tapi aku tak punya pilihan selain bangun. Jika aku terlambat lima menit saja, roti kukusku tak akan sempat matang sebelum aku berangkat ke sekolah.
Namaku Arga Pratama. Usia tujuh belas tahun. Siswa SMA biasa yang hidup di rumah kecil di gang sempit bersama ibu. Ayah sudah pergi entah ke mana sejak lima tahun lalu.
Sejak itu, aku belajar satu hal: kalau aku tak bergerak, kami tidak makan.
Aku melangkah ke dapur, membuka kukusan, dan aroma roti manis menyembur hangat. Aku selalu suka momen itu—seolah dunia yang keras memberi satu hadiah kecil untukku setiap pagi. Aku memasukkan roti satu per satu ke dalam plastik bening, menempelkan stiker kecil yang kutulis sendiri: Roti Manis Arga.
Ibu muncul dari pintu, masih memakai jilbab tidur dan tersenyum lembut.
“Sudah bangun dari tadi?”
“Lumayan, Bu. Target hari ini tiga puluh roti.”
Ibu mengangguk bangga, meski aku tahu di balik senyum itu ada rasa khawatir.
Aku membawa kotak roti ke sepeda bututku. Matahari baru naik sedikit, tapi jalanan sudah ramai oleh suara pedagang sayur dan mesin motor. Di saat teman seusiaku masih tidur, aku mengayuh sepeda sambil membayangkan mimpi yang selalu kupegang erat: suatu hari nanti, aku ingin punya restoran sendiri. Restoran yang punya cabang di luar negeri. Restoran yang membuat ibu tak perlu bekerja keras lagi.
Setibanya di sekolah, aku berdiri di dekat gerbang dan mulai menawarkan roti.
“Roti manis! Lima ribu saja!”
Beberapa adik kelas menatapku malu-malu. Ada yang membeli satu. Ada yang menawar. Ada yang hanya lewat begitu saja.
Dari kejauhan, seseorang berjalan ke arahku. Rambut hitam panjang, langkah tenang, dan senyum yang sulit kujelaskan. Alya. Teman masa kecilku, tapi kami jarang berbicara sejak masuk SMA.
Dia berhenti di depanku.
“Kau masih berjualan setiap pagi?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Alya tersenyum kecil, lalu mengambil satu roti. “Aku beli satu. Tapi bukan karena kasihan. Rasanya memang enak.”
Entah kenapa, kalimat itu membuat dadaku hangat.
Aku hanya bisa berkata pelan, “Terima kasih, Ya.”
Saat itu aku tidak tahu—bahwa roti pagi inilah yang akan mengubah seluruh hidupku.