

Pagi itu matahari baru naik setengah, cahayanya menimpa atap-atap rumah kecil yang berbaris tak rapi di pinggiran kota. Di antara deretan itu, ada satu rumah yang cat temboknya mulai mengelupas, halamannya sempit, dan pintunya sedikit berdecit jika dibuka. Di sanalah aku tinggal—bersama ibuku yang bekerja tanpa lelah untuk menyekolahkanku.
Namaku Raka Aditya Putra. Siswa kelas dua SMA Bhuana Jaya, penerima beasiswa penuh, dan anak miskin yang selalu menjadi rumor kecil di antara lorong-lorong sekolah.
Aku terbangun lebih awal seperti biasa. Jam dinding mungil di kamar menunjukkan pukul 05.08. Udara masih dingin, tapi aku sudah harus bersiap, karena perjalanan menuju sekolah memakan waktu lebih panjang dibanding siswa lain. Sepeda tuaku bukan lagi teman yang bisa diandalkan. Kadang rantainya loncat, kadang pedalnya terasa longgar sebelah. Tapi itu satu-satunya alat transportasi yang kupunya.
“Raka, sarapan dulu,” panggil Ibu dari dapur. Suaranya lembut seperti biasa, meski aku tahu setiap hari beliau begadang menjahit pakaian pesanan.
Aku keluar kamar dengan seragam yang disetrika rapi—bukan karena aku pandai merawat seragam, tapi karena Ibu selalu bangun lebih awal untuk menyetrikakannya. Di meja dapur, ada sepiring nasi goreng sederhana: hanya nasi, kecap, dan sedikit telur yang digoreng sangat tipis.
“Terima kasih, Bu,” ucapku, duduk sambil menahan rasa haru kecil.
Ibu tersenyum, garis lelah di wajahnya terlihat jelas meski ia berusaha menutupinya.
“Kamu harus makan. Supaya kuat belajar. Ibu percaya kamu bisa lebih sukses dari ibu.”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku ingin menjawab banyak hal—tentang rasa bersalah karena membebani, tentang mimpi ingin membahagiakan beliau—tapi tenggorokan terasa penuh. Hal-hal seperti ini jarang bisa kusebutkan dengan suara.
Setelah sarapan, aku mengambil tas yang jahitannya sudah mulai mengendur. Lalu, sebelum keluar, Ibu memegang pundakku.
“Raka… kamu jangan minder di sekolah. Ibu tahu banyak anak-orang kaya di sana. Tapi bukan harta yang menentukan masa depanmu.”
Aku tersenyum tipis. “Aku tahu, Bu.”
Aku tahu, tapi menjalankannya tidak semudah itu.
SMA Bhuana Jaya bukan sekolah biasa. Fasilitasnya lengkap: gedung megah, lapangan luas, AC di setiap kelas, perpustakaan tiga lantai, dan kantin yang lebih mirip restoran. Di antara deretan mobil mewah yang terparkir, sepedaku terlihat seperti benda dari dunia lain.
Saat memasuki gerbang, banyak siswa sudah berjalan sambil bercanda. Dari kejauhan, aku melihat beberapa anak menatapku, lalu berbisik. Sudah biasa. Status “anak beasiswa dari keluarga tidak mampu” sepertinya sudah tertulis permanen di dahiku.
“Raka!” sebuah suara ceria memanggil.
Aku menoleh dan melihat gadis berkacamata dengan rambut dikuncir dua berlari kecil menghampiri.
Itu Naya—teman masa kecilku, sekaligus satu-satunya orang yang membuat sekolah terasa lebih ringan.
“Kau datang pagi juga,” kataku.
“Sudah jelas lah,” Naya menjawab sambil tertawa. “Aku nggak mau dihukum Bu Rini lagi gara-gara terlambat.”
Aku ikut tertawa kecil. Naya memang tipe ceroboh yang sering bangun mepet jam sekolah, tapi hari ini ia terlihat segar. Ia mengenakan sepatu baru—atau mungkin sepatu lamanya yang dibersihkan.
“Kamu sudah sarapan?” tanyanya.
“Sudah.”
“Bagus. Soalnya hari ini katanya ada pengumuman lomba inovasi bisnis dari OSIS. Kamu ikut, kan?”
Aku mengerjap. “Aku? Lomba bisnis?”
“Nah! Lihat, aku tahu kamu pasti lupa. Padahal kamu mau buka usaha kecil kan? Katanya mau jual gantungan kunci hasil desainmu itu?”
Aku menggaruk tengkuk. “Itu cuma iseng…”
“Tapi idemu selalu bagus,” sahut Naya, penuh keyakinan.
Saat aku hendak membalas, suara riuh terdengar dari samping. Kumpulan siswa tiba-tiba berjejer rapi, seperti memberikan jalan bagi seseorang.
Aruna Ladira.
Gadis paling populer, paling cantik, sekaligus pewaris perusahaan raksasa yang bahkan aku tidak mampu membayangkan besarnya. Rambut panjang kecokelatan, kulit cerah, mata jernih, senyum yang mungkin harganya setara mobil keluargaku. Bahkan udara tampak berputar teratur setiap ia lewat.
“Aruna datang, awas—awas!” bisik seseorang.
“Cantiknya gila…”
“Dia benar-benar kayak idol.”
Aku menoleh sekilas, tak berniat memperhatikan lebih jauh. Hidupku sudah cukup rumit untuk ditambah mengagumi orang yang jelas berada di dunia berbeda.
Tapi tiba-tiba…
Aruna berhenti.
Di depanku.
Aku mematung.
“Selamat pagi,” katanya dengan suara lembut.
Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Tidak ada orang lain yang sedang ditatapnya.
“Pagi?” jawabku, ragu apakah aku sedang mimpi.
Aruna tersenyum kecil. “Kamu Raka, kan? Yang nilai matematikanya paling tinggi waktu ujian semester kemarin?”
Jantungku seolah meloncat. Aku tidak tahu Aruna bahkan memperhatikan hal-hal seperti itu.
“Eh… iya,” gumamku.
Naya di sampingku hanya bisa membuka mulut tanpa suara.
“Kalau begitu, nanti saat istirahat… boleh aku ngobrol sebentar denganmu? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
Aku nyaris kehilangan kata.
“B-boleh.”
Aruna mengangguk sopan, lalu berjalan pergi, rambutnya tertiup angin seolah kamera film sedang merekam adegan dramatis.
Begitu ia menghilang dari pandangan, Naya langsung mencubit lenganku.
“Aduh!” seruku.
“Kamu sadar nggak sih barusan apa yang terjadi? ARUNA! Cewek paling populer di sekolah! Minta ngobrol SAMA KAMU!”
“Aku juga nggak ngerti,” kataku pelan.
“Raka… ini gila. Apa mungkin dia—”
“Tunggu.” Aku menahan kalimatnya. “Jangan mikir aneh-aneh dulu. Mungkin dia cuma mau tanya soal tugas.”
Walau aku sendiri tak yakin.
Tapi satu hal yang lebih membingungkan dari itu adalah tatapan Naya setelahnya—seolah ada sesuatu yang berubah. Ada sedikit kerutan di alisnya, seperti ia menahan sesuatu yang tidak sempat diucapkan.
Pelajaran berlangsung seperti biasa, walau pikiranku melayang-layang sejak pagi. Setiap beberapa menit, teman-teman sekelas menatapku dengan rasa penasaran yang tidak kutahu sumbernya.
“Raka, apa benar kamu bakal ketemu Aruna?”
“Katanya dia mau ngajak kamu gabung proyek? Bener nggak?”
“Kok bisa sih Aruna tahu kamu?”
Aku hanya menjawab seadanya, tidak ingin menambah bahan gosip.
Saat istirahat, aku berjalan menuju taman belakang sekolah—tempat yang jarang dipakai siswa. Udara sejuk dan angin pelan menenangkan pikiran yang kacau. Beberapa menit kemudian, langkah pelan terdengar dari belakang.
Rupanya benar. Aruna datang.
Ia duduk di bangku taman, tidak terlalu dekat, tapi cukup membuatku merasa gugup.
“Aku minta maaf kalau tiba-tiba mengajakmu bicara,” katanya. “Aku cuma ingin… berterima kasih.”
“Terima kasih?” ulangku bingung. “Untuk apa?”
Aruna terdiam sebentar, menatap kedua tangannya.
“Waktu lomba matematika tingkat kota tahun lalu… aku gagal total. Aku malu, bahkan sempat ingin berhenti ikut kompetisi. Tapi hari itu… aku melihatmu. Kamu terus mengerjakan soal meski jelas kamu panik. Dan ketika kamu keluar ruangan, kamu terlihat lelah tapi tetap tersenyum kecil. Entah kenapa… itu memberiku semangat.”
Aku terdiam. Aku bahkan tidak sadar ada orang memperhatikan hal sekecil itu.
“Jadi… aku ingin belajar darimu. Boleh kan?”
Aku menunduk, bingung harus berkata apa. Rasanya tak masuk akal gadis paling populer ini mengagumi keteguhanku. Jika teman-teman mendengar, mereka pasti akan menertawakannya.
“Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa,” tambah Aruna cepat. “Aku paham jika permintaanku—”
“Bukan itu,” potongku. “Aku cuma… terkejut.”
Aruna tersenyum lagi. Senyum yang tampak lebih tulus daripada saat ia berjalan melewati kerumunan penggemarnya.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya… aku melihat bahwa di balik segala kemewahan dan perhatian, Aruna hanyalah seorang gadis remaja—yang ingin dipahami, sama seperti orang lain.
“Jadi… apa kamu bersedia?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Namun saat itu juga, tanpa kusadari, dari kejauhan seseorang memperhatikan kami.
Naya.
Dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan.
Dan sejak hari itu, hidupku yang sebelumnya tenang—atau mungkin membosankan—mulai berubah.
Entah ke arah mana.
Tapi aku tahu satu hal: semuanya baru saja dimulai.