"Astaghfirullah! Ini di mana?"
Aku membuka mata tepat di tengah-tengah kerumunan orang. Mereka berkumpul seraya berteriak begitu keras seperti sedang menyumpahi sesuatu. Ada di antara mereka yang berorasi dan mengutuk seseorang. Lalu yang lainnya terlihat menyulut api amarah dan membentak beberapa seseorang berseragam yang perawakan badannya tampak kekar.
Entah apa yang terjadi, namun aku juga melihat banyak spanduk bertuliskan kata-kata yang menghujat. Semuanya tampak kacau dan tidak tertangani dengan baik.
"Ke … kebakaran!"
Aku berteriak ketika melihat api mulai menjalar dari lantai satu sebuah bangunan pusat perbelanjaan yang ada tepat di depanku. Mereka yang berada di lantai satu tampak berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Bahkan ada beberapa balita yang tertinggal dan tidak dihiraukan oleh orang tuanya.
Semua semakin kacau ketika api mulai menjalar ke lantai dua. Teriakan minta tolong menggema bagaikan suara ratusan kicauan burung. Aku melihat dari arah pintu masuk pusat perbelanjaan itu, tepat di depan pintu lift, api sudah mulai membakar area itu dan menghanguskan segalanya.
Dan terdengar suara dari dalam lift yang di mana mereka terjebak, sedangkan pintu lift tidak dapat terbuka. Alhasil, panasnya api menjadikan lift itu bagaikan oven yang memanggang siapapun yang berada di dalamnya. Rintihan minta tolong terus saja terdengar. "Tolong! Tolong! Tolong!" Namun sayangnya tidak ada yang berani mendekat.
Kericuhan yang semula kulihat hanya fokus pada bentrok antara kelompok, malah beralih ke arah pusat perbelanjaan itu. Meski semua mata telah tertuju ke sana, tidak ada seorang pun yang berani menolong. Semuanya tampak diam melihat kengerian yang seharusnya hanyalah sebuah kisah fantasi di layar TV saja.
Aku yang tidak tahu kenapa bisa berada di situ, tampak tidak mampu untuk melangkahkan kaki. Semuanya terlihat sangat kacau, kusut, tidak tertangani dan begitu menyedihkan.
Bahkan ada beberapa orang yang menjatuhkan diri dari lantai 4 karena seluruh lantai tersebut telah dilahap oleh api. Salah satu dari mereka terlihat menahan tubuhnya yang telah berselimutkan api, lalu ia menjatuhkan dirinya hingga tewas karena kepalanya yang terbentur jalanan.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?! Ini di mana?!"
Aku terus saja menjauhi penampakan mengerikan yang ada di depanku itu. Begitu memilukan, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil selamat dari kebakaran hebat itu.
Dan ketika hendak menutup mata, diriku seperti mendapatkan dorongan dari belakang. Tampak ruangan gelap tidak berujung terpampang di sekitarku. Ruangan itu terlihat tidak ada siapa-siapa. Semuanya kosong.
"Tolong kami!"
"Tolong!"
Ada teriakan yang terdengar, bukan hanya satu atau dua orang, melainkan sangat banyak hingga membuat ruangan itu riuh. Namun anehnya aku tidak melihat satu orang pun yang berdiri di dekatku. Hanya ada diriku yang berdiri di tengah-tengah ruang gelap itu.
"Jangan coba-coba menolong mereka!"
Satu bisikan yang membentakku terdengar sangat jelas di telinga kiri. Sontak saja aku menoleh, namun tidak ada siapa-siapa.
"Ini bukan dunia nyata … ini pasti mimpi atau semacamnya," pikirku.
Semakin diri ini mencoba berpikir logis, ruangan gelap yang mengurungku semakin bertambah kecil. Dan tiba-tiba ruangan itu berubah begitu cepat menjadi sebuah area pemakaman umum.
Aku yang berdiri di tengah-tengah pemakaman tampak merinding ketika melihat puluhan jejeran batu nisan seakan-akan sedang melirik ke arahku.
"Pergi!"
Tiba-tiba suara yang begitu keras berteriak di telinga kananku. Sontak saja aku langsung terbangun. Dan terasa napas ini begitu tersengal-sengal. Lalu sekujur tubuhku tampak diselimuti oleh keringat dingin yang mengalir lumayan deras.
"Apa itu mimpi?" tanyaku.
"Saka!"
Ada seseorang yang memanggil. Aku baru sadar kalau diriku sedang tertidur di ruang ganti karyawan yang berada di lantai enam sebuah Mall. Keringat dingin terasa mengalir di sela-sela bajuku. Mimpi yang kualami seakan nyata dan membuat pikiranku terbakar oleh rasa penasaran.
"Iya, kenapa, Pak?"
"Sebentar lagi giliran shift siang kamu. Siap-siap sana!"
Pak Yosep selaku manajer bagian lapangan menegurku yang baru saja terbangun. Ia memintaku bersiap-siap untuk bekerja menggantikan karyawan yang sudah menyelesaikan shift pagi mereka.
Di Mall ini, aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi karyawan magang. Ini adalah salah satu syarat agar aku bisa lulus dari kelas 3 SMK. Meski setengah hati menjalaninya, namun aku bersyukur karena mendapatkan tempat yang dekat dengan rumah. Di hari pertamaku, aku mendapatkan shift siang yang dimulai dari jam 13.00-21.00. Agak berat memang, tapi inilah pekerjaan di pusat perbelanjaan.
Bila ditarik ke belakang, Mall ini sudah beberapa kali berganti nama sejak beberapa tahun ke belakang. Namun memori yang tersimpan di dalam otakku tentang bangunan ini masih membekas hingga sekarang. Hal itu karena aku pernah bermain di Mall ini ketika diriku masih sangat kecil. Meski tidak terlalu mengingatnya, namun aku merasa memiliki ikatan batin dengan pusat perbelanjaan ini.
"Pak, saya jaga di lantai berapa?"
"Kamu ke lantai dua, tempat pakaian pria."
Perintah Pak Yosep langsung aku kerjakan. Sayangnya hanya aku dan seorang siswi perempuan yang berhasil diterima magang di Mall ini, namun sayangnya kami berada di sekolah yang berbeda. Saat ini perempuan itu telah bertugas di lantai tiga, lantai yang dikhususkan untuk pakaian wanita.
Dan setelah beberapa lama kemudian, akhirnya aku turun ke lantai dua melalui lift yang hanya ada satu di Mall itu. Maklum saja, Mall ini adalah Mall pinggiran yang teramat sepi. Selalu saja berganti nama dan manajemen untuk mempertahankan keberadaannya. Lihat saja lantai liftnya, tidak dilapisi oleh keramik. Yang tampak terlihat hanyalah kayu pelapis dasar saja. Dinding liftnya juga begitu banyak coretan yang tidak jelas.
"Loh, kok, kamu di sini?" tanyaku.
"Tadinya aku ditugaskan di lantai tiga, tapi kata senior, aku harus bantu-bantu di lantai dua," ungkap Nadia.
Tugas kami berdua adalah merapikan beberapa pakaian yang berantakan, mengawasi perilaku pembeli yang mencurigakan, dan juga membantu para pembeli untuk menemukan barang yang mereka cari. Intinya, kami hanyalah pesuruh bagi senior-senior di sini.
"Jam pulang kita sekitar jam sembilanan. Menurutmu sebanding tidak kita magang di sini dengan jam kerja yang dimulai dari siang sampai malam begini?" Nadia tampak mengeluh. Padahal ia baru saja mulai bekerja pada jam satu kurang, tapi auranya seperti ia sudah bekerja selama ratusan tahun di Mall itu.
"Aku pikir sebanding. Lagi pula kita sangat beruntung diterima di sini," pikirku.
"Tapi ada yang aneh. Masa cuma kita berdua doang yang melamar magang ke Mall ini?" Nadia tampak penasaran.
"Maksudnya?" Aku tidak terlalu paham.
"Ish, kamu tidak tahu tentang gosip Mall ini?" Nadia berbisik lirih ke telingaku. Jaraknya agak dekat hingga aku berpikir ia ingin mencium pipiku.
"Gosip apa?" Aku semakin penasaran.
"Katanya–"
Prang!!!
Tiba-tiba terdengar suara seperti kaca pecah dari arah bilik ganti. Sontak saja aku dan Nadia langsung menoleh. Letak bilik ganti itu tidak jauh dari tempatku berdiri. Terlihat ada satu senior SPG yang terlebih dahulu menghampiri bilik ganti itu.
"Cerminnya kenapa, Kak?" tanya Nadia.
"Tidak tahu, tiba-tiba pecah begitu saja. Tapi anehnya, tidak ada orang di dalam sini," ungkap si SPG bernama Mawar.
Wajah kami tampak begitu kebingungan. Aku berupaya mencari tahu dengan masuk ke dalam ruang ganti. Sayangnya aku tidak melihat ada baut atau benda penahan kaca yang copot atau renggang.
"Bagaimana? Apa ada yang aneh?" tanya Nadia.
"Kacanya cuma pecah di bagian tengah. Di setiap sisi kaca yang ditahan oleh penahan kaca tetap menempel. Kok, bisa, yah?" Aku mulai berpikir. Diriku merasa ada yang tidak beres. Seperti ada yang janggal.
"Mungkin karena memuai atau kena getaran?" Mawar; si SPG senior, mencoba untuk meracuni pikiran kami dengan pikiran positif.
"Mungkin juga, sih …." Nadia memilih untuk percaya saat itu.
Setelahnya, aku bersama dengan Nadia diminta untuk membersihkan puing-puing kaca yang berserakan. Aku fokus dengan pecahan kaca di dalam bilik, sedangkan Nadia membersihkan pecahan kaca yang tersebar di luar bilik.
Ketika aku sedang menyapu dan menyerok pecahan itu ke dalam pengki, tiba-tiba kain penutup bilik menutup sendiri. Dan ketika aku menoleh ke dinding, di mana kaca itu sebelumnya terpasang, aku dibuat sangat terkejut.
Cermin itu kembali utuh, namun serpihan kaca yang aku sapu masih berada di dalam pengki.
Dan ketika aku menarik kain penutup bilik, tiba-tiba Nadia menghilang. Dan parahnya lagi, semua yang ada di luar bilik tampak gelap gulita. Hanya ada lampu di dalam bilik yang menyala.
"Ke–kenapa jadi mati lampu?" kataku.