Di bawah lampu temaram, jari-jemari Syabil memainkan keyboard dan mouse, matanya tertuju pada layar laptop.
“Alhamdulillah ya, Mbak. Kita dapat gaji pertama dari konten kreator.” Syabil tampak bahagia memandangi layar laptop yang menunjukkan nominal uang di depannya.
Afifa yang duduk di samping Syabil tersenyum lebar saat bola matanya tertuju pada layar laptop. “Alhamdulillah. Usaha kita sudah membuahkan hasil.”
Tiba-tiba Afifa teringat perjuangannya enam bulan yang lalu.
Afifa memasuki rumah, ia langsung melemparkan tubuhnya di kursi kayu ruang tamu. Ia bersandar sambil memejamkan mata dengan sepatu dan tas yang masih menempel di tubuhnya. Ia capek, sudah melamar kerja sana sini, tetapi tidak kunjung mendapatkan pekerjaan.
“Pasti capek ya, Mbak?”
Suara itu membuat Afifa membuka matanya, ia melihat Syabil sudah duduk di sampingnya sambil membawa segelas air putih. Syabil, adik Afifa menyodorkan air putih kepada kakaknya. “Di minum dulu, Mbak.”
Afifa langsung mengambil air putih yang dibawa adiknya tanpa berkata sepatah kata pun. Kemudian, ia meneguk air putih itu sampai habis. Setelah habis, ia meletakkan di atas meja depannya yang terbuat dari kayu juga.
“Mbak capek, Bil. Udah dua tahun ngelamar kerja ke sana ke sini, tapi belum kunjung diterima.” Tiba-tiba air mata Afifa menetes. “Kalau kayak gini, gimana kamu bisa kuliah? Kemarin kamu daftar beasiswa pakai KIP gak keterima. Padahal Mbak pengin kamu kuliah. Kalau ngandelin orangtua, gak mungkin bisa, kamu tahu kan penghasilan orangtua kita hanya bisa untuk makan sehari-hari. Itu pun hanya sederhana.”
“Syabil gak kuliah aja, Mbak.”
Sontak saja perkataan Syabil membuat Afifa mendongak.
“Maksudnya, aku mau break dulu. Aku pengen kayak Mbak, kerja dulu baru kuliah.”
“Tapi, Mbak pengin kamu lulus SMA langsung kuliah.”
Syabil menampakkan senyum manisnya sekaligus menghibur kakaknya. “Tolong, kali ini Mbak Afifa ikuti permintaan Syabil, ya? Ini semua demi keluarga kita, Mbak.”
Afifa beranjak berdiri dari posisinya. Ia menghela napas dengan kasar, lalu melangkahkan kakinya.
“Mbak, ayo berjuang bareng-bareng untuk jadi konten kreator dengan menggunakan alat seadanya,” ucap Syabil dengan lantang.
Perkataan Syabil membuat Afifa menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah adiknya yang masih duduk di tempat yang sama. Afifa menggelengkan kepalanya. “Emang apa yang akan dijadikan video konten?”
“Kamu kan suka masak, Mbak. Entar Mbak yang masak, terus aku yang videoin dan edit.” Syabil mengubah posisi duduknya menjadi berdiri. “Yang penting kan kita usaha, Mbak. Perkara hasil kita serahkan kepada Allah. Kalau gagal, gak papa. Kita bisa coba cara lain.”
Syabil menatap menoleh ke arah kakaknya yang mengeluarkan air mata. “Mbak, kamu kenapa?”
Lamunan Afifa buyar, ia pun menoleh dan menatap ke adiknya. “Enam bulan yang lalu, Mbak juga nangis. Hari ini, Mbak juga nangis. Tapi, nangisnya beda. Enam bulan yang lalu air mata kesedihan, sekarang air mata kebahagiaan.”
Afifa merangkul adiknya sambil menampakkan senyuman bahagia.
***
Beberapa bulan kemudian ….
Hari ini, Narti, ibunya Afifa berbelanja di tukang sayur keliling. Di sana terdapat juga para ibu yang sedang berbelanja.
“O, ya. Bu Narti kemarin baru beli motor baru, ya?” tanya Bu Mira, tetangganya yang juga beli sayur.
“Alhamdulillah, Bu,” jawab Bu Narti seadanya.
“Oalah. Kredit to? Bukan apa-apa lho, Bu. Soalnya kan Afifa sama Syabil kan belum kerja, sedangkan ibu kan cuma ibu rumah tangga. Terus Pak Suro kerjanya cuma di sawah. Eman lho, Bu. Entar kalau ditarik dealer gimana? Apa ndak rugi, to?” cerocos Bu Indah dengan kemayu.
“Alhamdulillah. Motornya dibeli tanpa kredit,” ucap Bu Narti sambil menyerahkan sayuran yang dibeli kepada penjual.
Sontak saja ibu-ibu yang sedang beli sayur melototkan matanya, seolah mereka tidak percaya dengan perkataan Bu Narti.
“Syukurlah, Bu. Kalau gak kredit. Saya ikut seneng,” ujar Bu Mira sambil menampakkan senyuman manis.
“Totalnya dua puluh lima ribu, Bu,” ucap Kang penjual sayur.
Bu Narti menyerahkan uang pas kepada penjual sayur, lalu membawa sayur yang dibeli sambil berkata, “Saya duluan ya, Bu, Ibu.”
“Iya, Bu,” jawab Bu Mira dengan ramah.
Kepergian Bu Narti membuat para pembeli sayur melakukan gosip. Mereka penasaran dengan motor yang dibeli oleh keluarga Bu Narti, jika dilihat secara ekonomi memang tidak memungkinkan, apalagi motor itu matic yang masih baru bukan bekas. Bahkan, di antara mereka ada yang menduga keluarga Bu Narti memiliki pesugihan.
Di sisi lain, sesampai di rumah Bu Narti ketemu anak-anaknya yang sedang membuat konten. Ia tersenyum saat melihat dua buah hatinya yang tengah berada di dapur. Ia hanya melihat proses anaknya membuat konten. Setelah selesai pembuatan konten, tiga orang itu ngobrol di atas kursi yang terbuat dari bambu. Bu Narti pun menceritakan apa yang ia alami saat beli di tukang sayur kepada Afifa dan Syabil.
Afifa tersenyum lalu menimpali perkataan ibunya. “Apa pun yang dianggap tidak mungkin, menjadi mungkin jika Allah menghendaki.”
“Ibu doakan, apa yang kalian berdua inginkan dapat terwujud,” ucap Bu Narti dengan tulus sambil menatap ke arah anaknya satu per satu. Ya, Afifa ada di samping kanannya, sedangkan Syabil ada di samping kirinya.
“Aamiin,” ucap Afifa dan Syabil dengan kompak.
***
Prank!
Syabil yang baru ngedit video langsung bergegas menuju ke arah sumber suara. Di saat bersamaan, Pak Suro, Bu Narti, dan Afifa, mereka bertemu di ruang tamu. Pandangan mereka pun tertuju pada kaca jendela yang pecah. Kaca itu berserakan di atas lantai.
Bulu kuduk Bu Narti berdiri. “Kok bisa pecah kenapa ya, Pak?”
Pak Suro pun penasaran dengan kaca jendela yang tiba-tiba pecah, ia pun membuka pintu. “Gak ada lemparan batu atau benda jatuh kok.”
“Lagian ini malam hari, gerimis lagi.” Syabil mengeliarkan pandangannya ke seisi rumah. “Kalau siang kan panas, masuk akal juga kalau kaca memiliki potensi pecah. Kok jadi merinding, ya?”
Afifa berusaha menenangkan keadaan. “Udah, berpikir positif aja. Mungkin kacanya udah lama, minta diganti kali.”
Pak Suro masih berada di depan rumah sambil celingukan mencari penyebab pecahan kaca. Bu Narti pun segera memanggil suaminya. “Udah, Pak. Gak usah dicari. Kita bersihin aja pecahannya.”
“Entar, Bu.”
“Gak usah ngeyel, Pak. Ayo, cepetan masuk!” Bu Narti terpaksa keluar dan menarik lengan suaminya.
Mereka berempat pun bersama-sama membersihkan pecahan kaca. Saat membersihkan pecahan kaca, tiba-tiba Afifa mendengar suara yang berbisik di telinganya. Suara wanita mengerikan itu berkata, “Ini baru permulaan.”
Afifa berusaha mengabaikan suara itu, tetapi ia merasa ada yang mendorong dirinya, sehingga tangannya terkena pecahan kaca.
“Awww!” teriak Afifa.
Afifa pun berhenti membersihkan pecahan kaca, ia bergegas duduk di kursi kayu ruang tamu. Syabil dengan sigap mengambilkan kapas dan obat merah. Afifa pun mengobati lukanya sendiri, sedangkan lainnya sibuk membersihkan pecahan kaca.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Afifa sambil menatap ke arah jendela kaca yang pecah dan tangannya menunjuk ke arah yang sama, raut mukanya tampak ketakutan seperti ada seseorang yang sedang mengancamnya.