

"Jadi, Anda adalah Darvio Sevoro yang terkenal itu?"
Suara wanita di hadapannya terdengar menghakimi. Darvio, mengangkat pandangan dari cangkir kopinya, menatap sosok mengenakan gaun hitam panjang dengan riasan wajah yang cukup mencolok. Ia duduk dengan postur tegap dan sorot mata tajam. Perhiasan emas yang berkilau di leher dan pergelangan tangannya menunjukkan kemewahan yang sengaja dipamerkan.
Saat ini, mereka tengah berada di kafe Tamaram yang terletak di jantung distrik baru Kota Xanara yang mulai ramai pengunjung pada sore hari. Tercium aroma kopi yang khas bercampur dengan hiruk-pikuk percakapan di meja-meja sekitarnya.
"Ya, benar. Dan kamu—"
"Aku seorang janda. Dua kali menikah, dengan dua orang anak," potong wanita berusia empat puluh tahunan itu tanpa basa-basi. "Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini, aku perlu menyampaikan beberapa hal penting."
Darvio mengangguk pelan, mencoba memahami sikap langsung lawannya dalam acara kencan buta tersebut. Wanita itu meletakkan tas kecilnya di meja dengan gerakan tegas.
"Pertama, aku tidak akan menerima seorang pejuang aktif sebagai suami. Mereka mudah sekali gugur di garis depan. Yang aku butuhkan adalah mantan pejuang tangguh yang bisa melindungi aku dan anak-anakku."
Darvio mengernyitkan dahi. "Bukankah—"
"Kedua," wanita itu memotong lagi, "setelah menikah, kita tidak akan punya anak lagi. Aku sudah cukup repot dengan dua anakku. Ketiga, aku ingin anak-anakku bisa memanfaatkan medali jasa kelas satu milik Anda untuk terbebas dari kewajiban turun ke medan perang."
Suasana di sekitar meja mereka seakan berubah dingin. Darvio merasakan sesuatu yang tidak beres dalam cara bicara wanita ini. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.
"Medali jasa itu bukan untuk—"
"Oh, ayolah, Pak Darvio." Wanita itu tersenyum remeh. "Anda ini sudah veteran tua. Meski aku tujuh tahun lebih tua dari Anda, tapi lihatlah penampilan dan tubuhku ini. Aku masih sangat menawan, lebih dari pantas untuk dipasangkan dengan Anda. Bukankah begitu?"
Rahang Darvio mengeras. Ia tidak suka arah pembicaraan ini, tapi tetap berusaha memberi kesempatan pada wanita di hadapannya. Napasnya mulai tertahan menahan amarah yang membuncah.
"Menurutku, kita perlu saling mengenal lebih dulu sebelum—"
"Mengenal apa?" Wanita itu mendengus. "Yang penting Anda punya medali jasa dan pensiun veteran yang cukup untuk menghidupi kami. Soal pejuang garis depan, mereka semua bodoh! Tidak akan bisa hidup lebih dari tiga bulan di medan perang. Kalaupun selamat, pasti cacat. Kehilangan tangan atau kaki itu sudah termasuk beruntung."
Mendengar perkataan wanita tersebut, darah Darvio mulai mendidih. Namun, ia masih bisa menahan diri, meski tangannya sudah bergetar menahan emosi.
"Aku tidak mau melayani seorang pria cacat," lanjut wanita itu dengan nada jijik. "Apalagi sampai menjadi janda untuk ketiga kalinya. Sudah cukup aku mengurus dua suami yang mati di medan perang karena kebodohan mereka sendiri."
Seketika, Darvio berdiri dan menampar pipi wanita itu dengan keras. Suara tamparan itu bergema di kafe yang mendadak sunyi. Beberapa pengunjung menoleh dengan ekspresi terkejut, bahkan ada yang sampai menjatuhkan sendok dari tangannya.
"Kamu tidak boleh menghina para pejuang!" Darvio bersuara keras, matanya menyala penuh amarah. "Medali jasa kelas satu ini diperoleh dari pengorbanan nyawa lebih dari lima puluh saudara seperjuangan! Itu adalah kehormatan tertinggi, bukan alat untuk menghindari perang!"
Wanita itu memegangi pipinya yang memerah dan berdenyut nyeri, menatap Darvio dengan mata membelalak, ia benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti ini.
"Para veteran cacat yang kamu hina adalah pahlawan sejati!" lanjut Darvio dengan penuh amarah. "Tanpa pengorbanan mereka, tidak akan ada kehidupan damai seperti sekarang ini. Menikah dengan seorang pejuang aktif justru merupakan jalan terbaik bagi seorang wanita, karena dia akan terlindungi oleh kehormatan dan keberanian! Mengerti?!"
Darvio melemparkan beberapa lembar uang ke meja dengan kasar. "Bayar kopimu sendiri. Dan jangan pernah menghina para pejuang lagi di depanku!"
Pria berjaket hitam itu berjalan keluar dari kafe dengan langkah besar, meninggalkan wanita yang masih terduduk dengan wajah pucat dan air mata mulai menggenang di ujung matanya.
Di trotoar yang ramai, Darvio berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Udara sore di distrik baru Kota Xanara terasa pengap, tetapi tidak sepengap perasaannya saat ini. Kenangan masa lalu mulai mengalir kembali di benaknya dengan kuat, seperti tsunami emosi yang tak terbendung.
Tiga puluh dua tahun yang lalu, ia adalah seorang pemuda biasa yang tiba-tiba terseret ke Dunia Bela Diri Cakrawala melalui portal dimensi. Di dunia itu, ia bertempur setengah hidup melawan kaum Asvara yang kejam dan haus darah.
Bertahun-tahun di medan perang, ia menyaksikan rekan-rekan seperjuangannya gugur satu per satu, hingga akhirnya ia terpaksa pensiun karena luka-luka yang dideritanya.
Fondasi kultivasinya pun rusak parah. Kini, ia hanya bisa menerima jabatan sebagai kepala sekolah di Akademi Bela Diri Alam Raya, sebuah institusi yang melatih generasi muda untuk bersiap menghadapi ancaman dari dunia lain.
Namun, yang paling menyakitkan adalah kenangan tentang sosok wanita yang gagah dengan seragam militernya. Darvio sudah terlalu jauh tertinggal dari wanita tersebut.
Darvio melanjutkan langkahnya menuju kantor administrasi distrik. Hari ini ia harus menandatangani berkas pengangkatan resmi sebagai kepala sekolah. Sebuah pencapaian yang dulu tidak pernah ia bayangkan sedikitpun, dari seorang pejuang garis depan menjadi seorang pendidik.
Di bangku taman kecil dekat kantor administrasi, Darvio duduk dan mengeluarkan berkas-berkas dari tas kulit cokelatnya. Sinar matahari sore menerangi halaman-halaman yang berisi detail jabatan barunya. Enam ratus siswa akan berada di bawah tanggung jawabnya, generasi muda yang akan menjadi tulang punggung pertahanan di masa depan.
Darvio mengambil pena dan mulai menandatangani dokumen demi dokumen. Setiap goresan tinta terasa seperti penutupan bab lama dan pembukaan bab baru dalam hidupnya.
Tiba-tiba, sebuah cahaya biru muncul di hadapannya. Darvio terkejut dan hampir menjatuhkan penanya ketika melihat sebuah panel transparan bersinar di udara, tepat di depan matanya. Di permukaan panel tersebut, muncul tulisan-tulisan dalam bahasa yang ia kenal dengan baik, yaitu bahasa sistem dari Dunia Bela Diri Cakrawala.
[Sistem Kekuatan Kolektif diaktifkan]
[Deteksi: Mantan Pejuang Tingkat Tinggi]
[Kondisi Fondasi: Rusak Parah - 12% Kapasitas Asli]
[Solusi Tersedia]
[Sinkronisasi Kekuatan Dengan Institusi Pendidikan Terdeteksi]
[Nama Institusi: Akademi Bela Diri Alam Raya]
[Jumlah Siswa Terdaftar: 600 Orang]
[Penawaran Sistem:
Kekuatan akan sama dengan total kekuatan seluruh siswa di sekolah.]
[Efek Samping: Tidak Ada]
[Syarat: Menjadi Kepala Sekolah Resmi]
[Status Syarat: Hampir Terpenuhi]
[Apakah Anda Bersedia Menerima Tambahan Kekuatan Dari Semua Siswa?]
[Ya] / [Tidak]
Darvio membelalak tak percaya. Setelah tiga puluh dua tahun menunggu, akhirnya sistem itu muncul di hidupnya.