

Hujan rintik-rintik membasahi jalanan berbatu ketika Alana Riviera tiba di depan rumah tua bergaya neoklasik itu. Bangunannya menjulang dengan jendela besar yang tertutup tirai tebal, seolah menolak cahaya masuk. Plakat kecil di samping pintu bertuliskan: Atelier Valerio—studio seni milik maestro legendaris, Elio Valerio.
Tangannya sedikit gemetar saat mengetuk pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Udara dingin menyelinap melalui celah mantel cokelatnya, membawa bisikan samar dari angin malam. Tak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria yang berdiri di ambang.
Ezra Valerio.
Matanya yang gelap menatapnya dengan dingin, seolah sedang menilai apakah Alana layak berada di sana. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelelahan di bawah matanya. Namun, sikapnya tetap tegap, penuh kendali—seakan ia terbiasa menjaga jarak dari dunia luar.
"Kau restorator yang dikirim oleh museum?" suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.
Alana mengangguk. "Alana Riviera. Aku ditugaskan untuk merestorasi lukisan terakhir Elio Valerio."
Ezra tidak segera menjawab. Mata gelapnya menelusuri wajah Alana sejenak sebelum ia melangkah ke samping, memberi isyarat agar Alana masuk.
Interior rumah itu tak kalah suram dari bagian luarnya. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan panjang di dinding. Aroma cat minyak dan kayu tua memenuhi udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih samar—seperti mawar yang hampir layu.
"Lukisannya ada di studio ayahku," Ezra berkata, berjalan mendahuluinya. Langkahnya nyaris tak bersuara di atas lantai kayu yang berderit pelan.
Alana mengikutinya hingga ke sebuah ruangan luas di ujung lorong. Begitu Ezra membuka pintu, aroma kanvas tua menyeruak, dan Alana langsung tahu bahwa inilah tempat Elio menciptakan mahakaryanya.
Di tengah ruangan, disandarkan pada sebuah easel tua, terdapat lukisan yang menjadi alasannya berada di sini.
Seketika, Alana merasakan sesuatu yang aneh.
Lukisan itu menggambarkan seorang wanita bergaun hitam, berdiri di tengah taman mawar yang nyaris layu. Tapi bukan itu yang membuat bulu kuduknya meremang. Di latar belakang, di antara bayangan pohon, ada sesosok pria dengan mata yang samar—seakan sedang mengawasinya.
Seketika, ruangan terasa lebih dingin.
"Jangan terlalu lama menatapnya."
Suara Ezra membuatnya tersentak.
Alana mengerutkan kening. "Kenapa?"
Ezra menghela napas, ekspresinya sulit dibaca. "Lukisan ini... bukan sekadar lukisan biasa."
Ada sesuatu dalam suaranya—bukan sekadar kehati-hatian, tapi juga ketakutan yang terpendam.
Dan entah kenapa, peringatan itu justru membuat Alana semakin ingin tahu.