

“Akhirnya, aku bebas,” gumamnya menatap sekeliling.
Kebebasan ini hambar. Tidak ada yang menyambut. Tidak ada satu orang pun yang datang menjemputnya.
“Apa mereka lupa, kalau aku bebas hari ini?” gumamnya hanya bisa menghela napas.
Selama tujuh tahun hidup Kairo Satrio terkubur di balik jeruji besi, dicap sebagai pembunuh bersarung jas putih.
Padahal, malam itu, dia hanya berusaha menyelamatkan nyawa seorang anak kecil di ruang operasi darurat.
Tapi apa yang didapatnya? Tuduhan malpraktik, dan sidang yang tidak adil.
Media yang memburu seperti kawanan serigala yang haus darah, memberitakan pemberitaan yang isinya penuh kebohongan.
Kini, ia berdiri di luar gerbang penjara, udara bebas menyentuh wajahnya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Kai melangkah menyusuri trotoar berdebu dengan langkah berat. Rambutnya lebih panjang, jenggot tumbuh tak teratur, dan sorot matanya tajam, seperti menyimpan dendam mendalam.
Dia menuju ke rumah, di mana kedua orang tuanya berada.
Sesampainya di sana, rumah itu terlihat usang, berdebu, tidak terurus dan penuh sarang laba-laba. Rumah itu terasa sepi dan sunyi.
Ada surat kabar usang yang tertempel di pagar besi.
"Pasangan pensiunan ditemukan tewas di rumahnya. Tetangga temukan jasad membusuk setelah dua hari."
Nama orang tuanya tercetak jelas di situ.
Kai meremas kertas itu. Dunia seperti tak puas merenggut segalanya darinya.
“Bagaimana mungkin?” gumamnya terasa hancur membaca berita itu.
Dia melihat tahun yang tertulis di sana, ternyata sudah tiga tahun lamanya, kedua orang tuanya meninggal.
Kai mulai kebingungan, dia melihat ke kanan dan kiri. Beberapa orang hanya melihatnya dengan tatapan penasaran.
Akhirnya, dia memutuskan pergi dari sana menuju ke rumah wanita yang berstatus sebagai tunangannya tujuh tahun lalu.
Lunara…
Dengan berjalan kaki beberapa kilometer, akhirnya Kairo sampai di depan pagar rumah Lunara.
Dia hendak menekan bel rumah, sampai melihat dua anak keluar dari rumah, satu anak berusia sekitar enam tahun dan satu lagi sekitar empat tahun.
“Jangan main dulu, kan sudah Mama bilang, kalian harus makan dulu!” teriak seorang wanita yang membuat Kairo tertegun di sana saat melihat sosok wanita yang barusan berbicara.
“Iya, Ma.”
Kedua anak itu berlari mendekati wanita tersebut yang tidak lain adalah Lunara.
Di saat itu, tatapan Lunara bertemu dengan Kairo, wanita itu sangat terkejut dan hendak berjalan mendekat.
Tetapi, seorang pria keluar dari dalam rumah dan memeluk Lunara sambil mengajak bicara kedua anaknya.
Kairo mengenal pria itu, dia adalah Beni, teman sejawatnya. Bahkan, Beni mengetahui dengan jelas hubungan Kairo dan Lunara, dia juga yang membantu menyiapkan segala hal saat lamaran dan pertunangan Kairo dan Lunara tujuh tahun yang lalu.
Tapi, siapa sangka, pria itu kini merebut wanitanya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, melihat usia anaknya, Kairo yakin. Mereka menikah di saat Kairo baru masuk penjara.
“Pantas saja, wanita itu tidak pernah datang menjenguk!” batin Kairo.
Kai tertawa kecil, hambar, nyaris gila. “Bagus. Kalian semua memang pemain drama yang hebat.”
Dia pun memutuskan pergi dari sana, tanpa peduli kalau Lunara masih memandanginya.
***
Beberapa hari kemudian, Kai yang sudah berkeliling mencari pekerjaan namun selalu ditolak karena statusnya sebagai mantan narapidana, memutuskan beristirahat di sebuah bangunan tua.
“Udah keliling sana sini, masih juga belum dapat kerjaan,” keluhnya merogoh saku celananya yang ternyata tersisa uang recehan saja.
Padahal dia sudah kelaparan, perutnya keroncongan, tapi uangnya tidak cukup untuk membeli makan.
Kairo termenung, dia ingat saat dia menjadi dokter tujuh tahun yang lalu, dia berjuang keras untuk bisa mendapatkan gelar dan izin praktek.
Tapi, saat dia sudah mendapatkan semuanya, merencanakan masa depan yang indah, semua hancur dalam sekejap karena tuduhan tak berdasar dari seseorang.
“Ugh … tolong!” ringisan itu membuyarkan lamunan Kairo. Dia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, sampai melihat seorang Kakek tua yang tergeletak tak jauh dari posisinya.
Dia meringis kesakitan dengan wajah yang sangat pucat.
"Tolong …, " lirih suara pria itu, nyaris tak terdengar.
Refleks Kai bangkit dari duduknya dan mendekati Kakek tersebut.
“Pak?” panggil Kai mencoba memeriksa denyut jantungnya yang mulai melemah. “Saya akan menghubungi ambulance.”
“Tidak.” Tiba-tiba saja pria tua itu memegang pergelangan Kairo, yang terasa panas.
“Argh!”
Kedua tangannya terlepas dari tubuh pria itu, dan tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang tiba-tiba menjalar dari bola mata ke seluruh sistem sarafnya.
Seolah ada listrik yang menyusup, menghantam retina, merobek segala batas logika.
Dengan jantung berdebar kencang, Kai terhuyung ke belakang, kedua tangannya menekan erat bola matanya yang terasa seperti terbakar dari dalam.
Rasa sakitnya berbeda dengan sakit karena luka, kali ini terasa lebih menusuk dan personal, seolah ada api yang membakar langsung kedua matanya.
"AARGH!" jeritnya menggema di koridor sunyi.
Butuh beberapa menit, Kairo merasakan kedua matanya terbakar hingga mengeluarkan air matanya di sana.
Kini, setelah tidak terlalu panas, dia pun membuka matanya dan sebuah kilauan cahaya muncul di depan matanya, sampai dia harus kembali menutup kembali matanya.
Perlahan, Kairo membuka matanya, sosok pria tadi masih meringis menahan sakit di depannya.
Tapi ada yang berbeda, saat ini Kairo bisa melihat lapisan demi lapisan organ tubuh pria itu dengan jelas.
Daging, otot, syaraf, pembuluh darah, dan akhirnya, organ dalam. Semua tergambar jelas dengan mata telanjang tanpa bantuan alat medis.
Kai membeku. Napasnya tercekat.
“Ini-? Bagaimana bisa?” gumam Kairo benar-benar terkejut.
Pria tua itu menoleh ke arah Kairo dan tersenyum merekah.
“Apa yang kamu lihat?” tanya pria itu pada Kairo dengan suara lirih.
“Aku bisa melihat semuanya, tembus pandang. Aku bisa melihat jantung, paru-paru dan semua organ dalam tubuhmu. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Kairo masih syock.
Tidak ada ekspresi terkejut di wajah pria itu, dia hanya tersenyum simpul dan berkata.
“Kekuatan itu sudah memilihmu, anak muda,” katanya. “Gunakan kekuatan tembus pandang ini dengan hati-hati. Kamu akan melihat lebih dari yang bisa dilihat manusia biasa.”
Kai masih terpaku di tempatnya. “A-apa maksud anda? kekuatan apa-?”
Pertanyaan Kai menggantung di udara saat tubuh pria di depannya sudah tidak bergerak, bahkan sorot matanya terlihat kosong dan tidak bergerak, hanya menatapnya diam.
“Pa-?” panggil Kai berusaha menyentuh tubuh pria di depannya.
Saat itu juga, Kai terpaku di tempatnya, dia bisa melihat dengan jelas dengan mata telanjang, jantung Bapak di depannya sudah tidak berdetak, bahkan dia juga bisa melihat denyut nadi yang berdetak melemah.
“Ini-?”
Kai benar-benar bingung sekaligus terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
“Apa yang terjadi padaku? Pak, Pak bangun!” panggil Kai, tapi pria di depannya sudah tidak merespon, suhu tubuhnya semakin turun dan sudah tidak ada detak jantungnya lagi.
***