Baskara meninju tembok kamarnya berkali-kali hingga tangannya berdarah. Di lantai, celengan plastik bertuliskan “Jogja” telah ia robek hingga isinya berhamburan. Uang tabungannya selama ini untuk ikut karya wisata ke Yogyakarta masih belum cukup, kurang, kurangnya sangat banyak.
Ibunya berteriak dari luar, “Baskara! Berhenti ngerusak rumah! Kamu ngapain sih? Uang masih bisa dicari lagi! Tolong jangan seperti ini, Bas!”
Baskara paham betul, uang tidak semudah itu untuk dicari. Uang harus direbut.
Dipungutnya uang lembaran seribu, lima ribu, sepuluh ribu, dan koin-koin yang selama ini ia kumpulkan dari berjualan cimol. Darah dari tangannya menodai uang-uang itu. Bau besi karat dari lukanya menyengat, tapi ia tidak peduli.
Kali ini, terpaksa Baskara harus menggunakan uang itu. Bukan untuk Jogja, tapi untuk hal yang lain, yang jauh lebih penting.
Ia keluar dari kamarnya dan menyerahkan uang itu ke tangan ibunya. “Apa ini?” Ibunya melebarkan matanya, ngeri melihat tangan anaknya yang berdarah.
“Pakai ini untuk Mama berobat!”
“Gak mau!” Ibunya langsung mendorong tangan Baskara.
“Aku bilang pakai!” bentak Baskara. “Kalau Mama gak mau nurut sama aku, terpaksa aku minggat dari rumah ini!”
“Bas!”
“Papa udah gak peduli lagi sama Mama! Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mama, siapa yang bakalan ngurus aku?”
Ibunya terdiam sambil menunduk. Baskara menyerahkan uang itu ke tangan ibunya dengan paksa meski ibunya enggan menerima.
“Kalau kurang, bilang aja. Nanti Bas tambahin dari uang jualan cimol.”
Setetes air mata membasahi pipi ibunya, tapi tak ada kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Baskara yakin jika ibunya pasti menerima uang itu meski pedih rasanya.
“Bas cuma mau Mama sehat, itu aja.”
***
Keesokan harinya, Baskara berangkat ke sekolah. Ia tiba di depan gerbang sekolah elit itu dengan perasaan yang campur aduk. Seragamnya belel, tasnya butut, sepatunya adalah sepatu bekas sepupunya.
Anak-anak lain menganggap Baskara hanya sekedar siswa miskin yang sangat memaksakan diri untuk masuk ke sekolah SMA terkenal. Tak ada yang peduli padanya. Ia hanya sekedar bayangan yang selalu diinjak-injak orang.
Abelia lewat di sebelahnya. Rambutnya lurus, panjang sebahu. Tidak biasanya rambutnya digerai. Hal itu membuatnya tampak semakin cantik. Kulitnya putih bercahaya. Sayangnya, kacamatanya terlalu besar untuk wajahnya yang mungil. Meski begitu, ia benar-benar gadis yang sangat cantik.
Abel tersenyum manis padanya sambil mengangguk. Seketika, ekspresinya berubah.
“Bas, tangan kamu kenapa?”
Baskara menyembunyikan tangannya yang diplester asal ke dalam saku celana. “Gak penting.”
Abel menghela napas, wajahnya menunjukkan kesabaran yang tak pantas Baskara dapatkan. Namun, saat ini Baskara sungguh tak ingin banyak bicara lagi. Ia pun masuk ke dalam sekolah dengan langkah yang lebar. Abelia mengikutinya dari belakang, tapi tidak cukup cepat.
Bel sekolah sudah berbunyi. Baskara masuk ke kelasnya yang sudah ramai. Ia duduk di pojok kanan belakang seperti biasa bersama Yuda, sahabatnya.
“Eh, Bas. Muka lu kusut amat?” tanya Yuda sambil menautkan alisnya.
“Biasa lah.”
“Kenapa lagi? Pasti soal papa lu ya?”
Baskara mengedikkan bahunya cuek. “Ya gitu deh. Udah tau mama gua sakit, papa gua malah ngambil uang mama gua buat bayar utang-utangnya.”
“Aduh, terus gimana? Mama lu baik-baik aja?”
Baskara menatap Yuda. “Sakitnya dobel. Sakit badan iya, sakit hati iya. Mana mungkin mama gua baik-baik aja, Da?”
Yuda meringis. “Gua doain supaya mama lu cepet sembuh ya, Bas.”
“Tengs.”
Mata Yuda menatap ke arah Abel yang sedang mengobrol dengan Diah. “Lu liat si Abel tuh?”
“Ngapain?”
“Tumben dia pake bando kayak si Diana. Biasanya kan rambutnya suka diiket.”
Diana tampak puas memandangi Abel mengenakan bando itu. Di matanya tersirat seperti yang hendak menguasai sesuatu.
“Ya, dia kepaksa pake bando itu soalnya bandonya dikasih sama si Diana,” jawab Baskara cuek.
“Eh, lu kok bisa tau sih?”
“Gua kan liat kemaren waktu si Diana kasih bando itu buat Abel, tapi Abelnya ngerasa gak nyaman. Ah, si Diana itu emang tukang maksa.”
Seketika suasana kelas langsung hening begitu Pak Darma masuk kelas. Serentak semua murid membeli salam. Selesai berdoa, pelajaran pun dimulai.
Baskara berusaha konsentrasi belajar, tapi rasanya sulit karena ucapan ayahnya terus menerus mengganggu pikirannya.
“Dasar istri tidak berguna! Mendingan kamu mati sekalian! Aku harus bayar utang! Kamu mau jadi istri durhaka?!”
Tak terasa, tangan Baskara meremas ujung kertas pelajarannya. Ia merobek bukunya itu dan menjadikan kertas itu seperti bola.
“Lu ngapain?” Yuda menyikut Baskara, tapi matanya tetap memandang ke depan.
Baskara menarik napas dalam-dalam, lalu ia mulai mencoret-coret bagian belakang bukunya. Ia menulis semua kata caci maki yang tidak pernah berani ia lontarkan pada ayahnya. Lalu ia mencoret-coret semua tulisannya itu hingga kertasnya berlubang.
Ia selalu saja seperti itu setiap kali ia sedang kesal. Seharusnya, ia bisa meninggalkan kekesalannya itu di rumah dan fokus untuk belajar di sekolah. Namun, sulit rasanya jika ayahnya terus menerus membuat perkara.
“Baskara!” panggil Pak Darma.
Tangan Baskara berhenti mencoret, lalu ia mendongak. “Iya, Pak?”
“Jawab soal ini!”
Baskara terpaksa beranjak dari kursinya dan maju ke depan untuk menjawab soal matematika. Peluang, Kejadian Majemuk, dan Frekuensi Harapan.
“Hmmm,” Baskara menggumam dalam hati. Peluang dan harapan. Dua hal yang tidak pernah singgah dalam hidupnya.
“Ayo jawab yang benar!” seru Pak Darma. “Sejak tadi, kamu tidak mendengarkan penjelasan saya. Kalau kamu tidak bisa menjawab pertanyaan di depan ini, silakan kamu keluar kelas!”
Gilang dan Hadi terkekeh. “Langsung keluarin aja dari kelas, Pak!” seru Gilang.
“Dia gak akan bisa jawab, Pak!” imbuh Hadi.
“Diam kalian!” bentak Pak Darma. Lalu ia mendorong bahu Baskara supaya ia maju ke depan papan tulis. “Ayo cepat jawab!”
“Pada pelemparan dua dadu sekaligus sebanyak 72 kali, berapakah frekuensi harapan jumlah kedua dadu lebih dari sama dengan 10?”
Baskara mengambil kapur, lalu mulai menggoreskan jawaban di papan tulis dengan wajah malas. Ia menulis rumus Frekuensi Harapan sambil mengingat-ingat soal yang pernah ia kerjakan sebelumnya.
Akhirnya, ia menulis jawabannya. “12, Pak.”
Gilang tampak tidak nyaman duduk di kursinya. Lalu ia membuang muka. Hadi melongo menatap jawaban Baskara yang tak tercela itu. Sementara Pak Darma masih melipat tangannya di dada dengan wajah kesal.
Baskara menaruh kapur itu kembali ke tempatnya, lalu hendak kembali ke kursinya, tapi Pak Darma menahannya.
“Lain kali, jangan sibuk sendiri ya, Baskara! Tolong perhatikan saya saat mengajar!” Pak Darma menatapnya tajam di balik kacamatanya yang super tebal.
Baskara pun hanya mengangguk sekali dan kembali ke kursinya. Saat ia berjalan, pandangan matanya berserobok dengan Abel. Gadis itu tersenyum tipis yang tidak dibalas Baskara.
Tidak pantas. Abel berhak mendapat laki-laki yang lebih baik darinya. Abel anak manis, baik hati, cantik, pintar. Level Baskara jauh di bawahnya.
Kata-kata itu terus menjadi mantra di pikiran Baskara setiap kali dirinya merasa ge er karena dilihat oleh Abel. Ia memang bodoh, tapi tak ada satu pemikiran logis yang berhasil meyakinkannya jika gadis yang ia sukai sejak dulu itu berhak ia miliki hatinya.
Begitu Baskara tiba di kursi, Yuda menyikutnya lagi, tak sabar.
“Lu kok bisa sih? Mana tulisan lu rapi banget lagi!”
“Gak tau,” bisik Baskara singkat.
Gilang menoleh ke arahnya, lalu memberi tanda potong leher dengan tangannya. Baskara memutar bola mata. Meski dulu Baskara pernah menyelamatkannya, tapi mana pernah Gilang menganggap hal itu sebagai balas budi. Yang ada, Gilang gengsi pernah kenal teman seperti Baskara.