

Hari pertama masuk SMA. Suasana SMA Cendana ramai seperti pasar pagi. Anak-anak baru sibuk mencari kelas, berkenalan, dan tentu saja mulai menilai satu sama lain. Siapa keren, siapa cupu, siapa yang bakal jadi pusat perhatian.
Yofu berdiri di sudut lapangan dengan tas lusuh di punggung. Seragamnya kebesaran sedikit, sepatu hitamnya mulai memudar warnanya. Tapi wajahnya tetap terlihat tenang. Ia bukan tipe yang suka banyak bicara. Yang penting sekolah, belajar dan pulang. Sederhana saja.
"Yofu, kelas kita di lantai dua." Suara lembut Melati membuyarkan lamunan. Cewek itu berdiri di sebelahnya, tersenyum seperti biasa. Rambutnya dikuncir dua, wajahnya kalem, dan matanya bersinar hangat. Teman sejak SD, sahabat yang paling bisa Yofu andalkan.
Mereka berjalan bersama menuju kelas. Di lorong, beberapa siswa melirik mereka. Bukan karena Melati, tapi karena cowok di belakang mereka.
Sementara itu, mobil sport merah berhenti di parkiran. Seorang gadis turun anggun dengan sepatu mahal dan rambut yang ditata rapi. Cherry. Cantik, kaya, populer. Ia masuk ke kelas yang sama, langsung jadi sorotan.
Tapi saat matanya bertemu mata Yofu yang tengah berjalan, waktu seakan berhenti sejenak.
"Kayaknya kita duduk di kelas X-1," gumam Melati sambil melihat papan pengumuman. Matanya bergerak cepat menelusuri daftar nama. "Nih, namamu bareng aku."
Yofu mengangguk. "Syukurlah."
Mereka naik tangga bersama, sesekali disalip oleh siswa lain yang tertawa keras-keras. Beberapa anak perempuan melihat Yofu dan Melati, lalu saling bisik-bisik. Yofu tak peduli. Ia sudah biasa dianggap biasa. Bukan yang punya banyak teman, tapi cukup tahu caranya bertahan.
Di dalam kelas, kursi-kursi masih kosong. Melati memilih duduk di barisan tengah dekat jendela. Yofu menaruh tasnya di samping kursi itu, lalu duduk. Ia mengeluarkan buku catatan kosong, membolak-balik halamannya, meski pelajaran belum mulai.
Beberapa menit kemudian, suara heboh terdengar dari lorong. Langkah kaki cewek berderap seperti runway. Itu momen saat Cherry masuk.
Langkahnya percaya diri, rambutnya panjang tergerai dengan pita kecil berwarna biru muda. Wajahnya seperti boneka, bersih dan sempurna. Semua mata di kelas langsung tertuju padanya. Cowok-cowok bahkan langsung merapikan kerah seragam, berharap dilirik.
Namun Cherry hanya tersenyum singkat, lalu berjalan ke barisan belakang. Tapi sebelum benar-benar duduk, pandangannya sempat jatuh ke arah depan, tepat ke arah Yofu.
Dan Yofu hanya menunduk. Tak tahu bahwa sejak hari itu, ada sesuatu yang memperhatikan dirinya.
Jam pelajaran pun dimulai. Guru datang memperkenalkan diri, lalu meminta setiap murid maju satu per satu untuk memperkenalkan diri.
"Nama saya Melati Rahmawati. Saya berasal dari SD Merpati 1. Hobi saya baca novel dan nulis diary."
Tepuk tangan kecil terdengar. Melati kembali ke tempat duduknya, pipinya sedikit memerah.
Berikutnya giliran Yofu. Dengan langkah tenang, ia maju ke depan. Seragamnya jelas kontras dibanding yang lain. Tidak licin. Tidak baru. Tapi ia tidak menunjukkan rasa malu sedikit pun.
"Nama saya Yofu Radiansyah. Saya dari SD Merpati 1 juga. Hobi saya membaca, dan saya ingin jadi guru Matematika."
Beberapa cewek saling berbisik. Ada yang senyum-senyum, ada yang mencibir pelan.
"Guru matematika?" celetuk salah satu cowok. "Paling nanti kerjaannya cuma ngajar les privat."
Suasana hening. Yofu tidak menanggapi. Ia hanya tersenyum tipis, lalu kembali duduk.
Melati menatapnya penuh simpati. "Jangan dengarkan mereka," bisiknya.
"Aku nggak masalah," jawab Yofu. "Yang penting aku tahu arahku ke mana."
Akhirnya giliran Cherry, tentu saja para murid terlihat tidak heran, karena mereka semua tahu, bahwa Cherry adalah murid terelit di sekolah itu.
Dan waktu istirahat pun tiba. Kantin penuh sesak. Yofu dan Melati duduk di meja paling pojok. Uang saku Yofu tidak banyak, cukup beli air mineral dan sepotong roti isi.
Tiba-tiba, bayangan seseorang berdiri di depan mereka.
"Yofu, boleh duduk di sini?" tanya Cherry.
Yofu dan Melati sama-sama kaget. Cherry, si idola sekolah minta duduk bareng mereka?
"Boleh," jawab Yofu pelan.
Cherry duduk di sampingnya. Melati bergeser sedikit, memberi ruang.
"Aku lihat kamu suka baca, ya?" tanya Cherry membuka pembicaraan.
Yofu hanya mengangguk.
"Aku juga suka, tapi lebih suka cerita romantis. Kamu suka genre apa?"
"Fiksi ilmiah," jawab Yofu jujur.
Cherry tertawa kecil. "Kamu unik ya. Beda dari yang lain."
Yofu menatap Cherry sesaat. Matanya indah. Suaranya lembut. Tapi hati Yofu tidak bergetar. Di sampingnya, Melati hanya diam. Ia menggenggam botol minumnya lebih erat dari tadi.
Bel masuk kembali berbunyi. Kelas berjalan seperti biasa. Tapi sejak saat itu, ada sesuatu yang berubah.
Cherry mulai sering mendekat. Menyapa. Bahkan menunggu Yofu pulang sekolah. Beberapa kali ia mengajak ngobrol saat istirahat, menanyakan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa ditanyakan ke orang lain.
Teman-teman sekelas mulai bertanya-tanya. Bahkan gosip mulai menyebar yang katanya si miskin Yofu dekat dengan Cherry, si ratu sekolah.
Tapi Yofu? Ia tidak gembira. Tidak bangga. Bahkan tidak terlalu nyaman. Hatinya tetap di tempat yang sama. Di sisi Melati.
Gadis yang sejak kecil tahu semua tentang Yofu. Yang pernah menangis bersamanya saat nilai ujian buruk. Yang tahu bagaimana Yofu harus menabung berbulan-bulan hanya untuk beli sepatu baru.
Di saat Cherry melihat Yofu seperti teka-teki menarik, Melati melihat Yofu sebagai rumah. Dan Yofu hanya ingin pulang.
****
Setelah bel pulang berbunyi, Yofu berjalan kaki menuju rumah. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi cukup melelahkan bagi kaki yang sudah letih. Rumahnya berada di gang sempit yang hanya cukup dilalui satu motor. Bangunannya sederhana, berdinding semen kasar dan beratapkan seng tua. Tapi di situlah hatinya berada, tempat ia tumbuh bersama ibunya.
"Assalamualaikum," sapa Yofu sambil membuka pintu kayu yang sudah sedikit retak di sudutnya.
"Waalaikumsalam," sahut suara lembut dari dalam. Seorang wanita paruh baya keluar dari dapur sambil mengelap tangannya dengan celemek lusuh.
Bu Lana, ibunya. Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tak pernah pudar.
"Makan dulu, Yof. Ibu udah masak," katanya sambil menunjuk ke meja.
"Makan seadanya ya, Yof. Ibu cuma masak sayur sop sama tempe goreng."
Yofu tersenyum. "Wah, enak banget, Bu. Aku lapar banget dari tadi."
Mereka duduk berdua di meja kecil itu. Meski makanannya sederhana, rasanya selalu istimewa. Bu Lana adalah satu-satunya keluarga yang Yofu punya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD karena sakit keras, dan sejak itu ibunya banting tulang menjadi buruh cuci di rumah-rumah tetangga demi menghidupi mereka.
Tapi bagi Yofu, rumah kecil itu lebih hangat dari rumah mana pun.
"Gimana hari pertama di sekolah SMA?" tanya Bu Lana membuka percakapan.
"Menyenangkan," jawab Yofu singkat. Pemuda itu memang tidak terlalu banyak bicara.