"Orang cupu, beraninya cuma sama yang lemah!" Suara itu menggema di gudang tua belakang sekolah, tempat yang sering jadi sarang para perundung.
Dirga berdiri di ambang pintu, menatap tajam dengan mata dingin seperti es. Tangan disilangkan di dada, tubuh tegapnya tak bergerak sedikit pun saat menyaksikan enam siswa mengeroyok anak lemah di pojok ruangan.
"Jangan ikut campur!" katanya meneriaki Dirga.
Namanya Dirgantara. Anak pindahan. Dingin, misterius, dan bukan tipe yang banyak bicara. Ia baru saja pindah ke Kota Loka, setelah terjadi sesuatu pada kehidupannya.
Satu per satu, tatapan matanya mengiris keenam siswa itu.
"Siapa lo?" tanya salah satu dari mereka dengan nada menantang.
Dirga tak menjawab. Ia hanya berjalan perlahan mendekat. Setiap langkahnya bergema di antara ketegangan yang mulai menyesak.
Seketika, satu pukulan melayang—cepat, tepat, dan keras. Wajah perundung pertama terpelintir ke samping.
"Kurang ajar lo!" teriak yang lain, panik bercampur marah.
Tapi Dirga tidak berhenti. Dalam hitungan detik, gudang sekolah itu berubah jadi arena baku hantam. Deru napas, jeritan kesakitan, dan suara tubuh jatuh memenuhi udara.
Gudang itu biasa mereka pakai untuk menyiksa orang-orang yang tak bisa melawan.
Hari ini, tempat itu jadi saksi—bahwa mereka akhirnya bertemu dengan orang yang salah untuk diusik.
"Jangan pernah ganggu mereka lagi! Kalau masih ingin selamat!"
Nada suara Dirga dingin, tapi penuh ancaman mematikan.
Keenam siswa itu langsung lari tunggang-langgang, sebagian tersandung, sebagian nyaris menangis. Tak satu pun berani menoleh ke belakang.
"Ayo, buruan pergi!" seru mereka.
Begitu memastikan si korban selamat dan bisa berdiri sendiri, Dirga berbalik pergi, meninggalkan gudang tanpa sepatah kata pun.
Ia berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi, bahunya sedikit bergerak saat ia menggulung lengan seragam.
"Hari pertama sekolah, sudah disambut pemandangan begini," gumamnya datar, sambil melemaskan otot tangannya yang sempat mengepal. "Sial!"
Langkahnya terus melaju, meninggalkan jejak diam dari seorang murid baru yang jelas bukan orang biasa.
Tuk! Tuk!
"Permisi, Pak!" santun Dirga dengan hormat.
Dirga muncul di balik pintu kelas, sosoknya tegak dan dingin seperti biasa.
Guru yang sedang berdiri di depan kelas tampak sedikit gugup saat memperkenalkannya.
"I–ini murid baru kita. Dirgantara. Silakan duduk di mana saja yang masih kosong!" perintah sang guru.
Dirga mengangguk pelan. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, tajam dan tenang.
Beberapa murid langsung mengalihkan pandangan. Ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan di mata mereka—mungkin kabar tentang insiden di gudang sudah menyebar lebih cepat dari yang diperkirakan.
"Itu anak yang tadi, kan?" bisik mereka yang melihat kejadiannya.
Tanpa berkata apa pun, Dirga melangkah menuju bangku kosong di dekat jendela. Setiap langkahnya terasa berat, seolah menekan suasana kelas dengan aura yang tak terlihat.
Hari pertama Dirgantara dimulai—dengan reputasi yang langsung membuat namanya diperhitungkan.
"Huh!" Dirga sedikit meringis, melihat kepalan tangannya memerah. "Yang benar saja, hari ini aku justru mukul orang!" bisiknya.
Saat pelajaran dimulai, guru kelas mulai melontarkan beberapa pertanyaan. Beberapa siswa dan siswi hanya diam, tak berani menjawab. Namun, Dirga langsung menyebutkan jawaban dengan tenang dan tepat.
“Wah, luar biasa, Dirga! Terima kasih!” puji guru kelas, tampak senang.
Meski begitu, Dirga tidak luput dari perhatian para siswi. Bisik-bisik mulai terdengar di sekelilingnya, jelas ditujukan padanya.
“Dia tampan, ya!” bisik seorang siswi sambil melirik malu-malu.
“Iya, pintar lagi! Nanti kita coba kenalan, deh!” sahut temannya, bersemangat.
Namun Dirga tak peduli. Pandangannya tertuju penuh pada buku pelajaran di hadapannya. Setiap coretan yang ia buat dengan pulpen justru membawa pikirannya melayang—menuju masa lalu yang tak ingin ia ingat.
Tangisan, teriakan, semuanya kembali terngiang jelas di benaknya. Emosinya perlahan memuncak. Pulpen di tangannya mendadak patah.
Tak!
'Kenapa itu terus yang aku ingat?' batinnya resah.
Tangan itu mengepal. Rahangnya mengeras. Ekspresi wajahnya menegang—menyimpan tekanan dalam yang tak bisa dibayangkan orang lain.
‘Aku harus tenang … Kalau tidak, mereka akan tahu siapa aku sebenarnya…’ batinnya, dingin.
Teng! Teng!
Lamunan Dirga terganggu. Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan waktu belajar telah usai.
Dirga bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan kelas tanpa sepatah kata. Matanya menyapu suasana SMA Genta—murid-murid mulai keluar, tawa dan suara ramai memenuhi udara sore.
Ia berjalan santai ke arah lapangan, lalu duduk di pinggirnya, menatap kosong ke arah langit yang mulai berwarna jingga.
Tak lama kemudian, dua siswa yang tadi ia tolong di gudang menghampirinya dengan ragu-ragu.
“H–Hai!" sapa salah satu dari mereka, suara gemetar.
Dirga menoleh perlahan. Tatapannya tajam, dingin, menyipit sedikit.
“Ada apa?” tanyanya ketus, tanpa senyum, tanpa basa-basi.
“M–Makasih, ya … Kamu sudah nolongin kami berdua,” ucap anak itu gugup, menunduk.
Dirga memalingkan wajahnya kembali ke arah lapangan. Ia mendengus pelan.
“Aku bukan nolong kalian,” katanya datar. “Aku cuma muak lihat orang lemah diinjak-injak.”
Anak-anak itu terdiam, tak tahu harus membalas apa.
Dirga berdiri.
“Kalau kalian nggak mau kejadian tadi terulang, berdiri sendiri. Jangan tunggu orang kayak aku muncul lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, Dirga melangkah pergi, meninggalkan mereka terdiam dan rasa kagum yang bercampur takut.
Belum sempat melangkah jauh, langkah Dirga dihentikan oleh teriakan keras dari arah belakang.
“Weh, anak baru!” suara lantang dengan nada menantang.
Dirga tetap melangkah, tidak menoleh sedikit pun. Langkahnya tenang dan acuh. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini dengan ancaman tajam.
“Kalau kamu masih berani melangkahkan kakimu, aku pastikan mereka tak bisa menghirup udara lagi!”
Dirga berhenti.
Perlahan, ia menoleh ke belakang. Satu tangannya masuk ke saku celana, sementara matanya tajam memandangi sosok yang kini berdiri angkuh di ujung lapangan.
Siswa bertubuh besar dengan gaya congkak melangkah maju, dikelilingi beberapa anak buah yang wajahnya masih lebam akibat insiden di gudang.
“Hm, ini dia. Pahlawan kesiangan?” ucap si bos perundung dengan nada meremehkan.
“Bos, dia yang bikin kita babak belur!” seru salah satu anak buahnya sambil menunjuk Dirga dengan penuh dendam.
"Oh, ini orangnya?" Tapapan Gilang mengintimidasi.
Sementara itu, dua murid yang masih di cengkeraman Gilang dan anak buahnya, memohon untuk dilepaskan.
"Gilang, ampuni kami! Kami janji akan menuruti semua keinginan mu!" lirih mereka.
Dirga diam sejenak. Pandangannya tetap tajam dan kaku. Ia membuka mulut perlahan, datar tanpa emosi. “Jadi, kamu pimpinan dari sampah-sampah ini?” Dirga menujuk beberapa orang yang telah babak belur.
Ketegangan langsung mengental di udara. Beberapa murid dari kejauhan mulai memperhatikan, menahan napas.
"Lebih baik kita selesaikan sekarang!" Tatapan mengintimidasi dari bos perundung.
Gilang menghempaskan murid itu. Lalu, berlari menerjangi Dirga yang juga sudah siap-siap memukul.
"Sekali pukulan cukup!" kata Dirga dengan tenang.