

"Hujan lagi," ucap seorang pria dewasa dengan rokok di mulutnya.
Hujan mengguyur kota tua itu seperti kutukan yang tak kunjung lepas. Di ujung jalan berlumpur, sebuah rumah papan reyot berdiri memunggungi waktu. Di dalamnya, seorang pria tengah membersihkan sebilah pisau lipat dengan selembar kain lap yang dulu mungkin berwarna putih.
Namanya Wahyu.
Wajahnya tirus, matanya cekung dan dingin seperti liang kubur. Tangannya gemetar bukan karena takut, tapi karena antusiasme yang belum tuntas. Di hadapannya, di atas meja kayu yang sudah keropos, tergeletak sebuah catatan dengan nama yang digaris tebal--- Ratna Widyaningsih, 40 tahun. Janda. Tinggal sendiri---
Ia membaca nama itu berulang kali, seolah ada mantra di baliknya.
“Janda,” gumamnya pelan, “mereka selalu menyimpan sesuatu. Dan aku harus tahu apa.”
Wahyu bukan detektif, bukan juga pemburu harta. Ia hanya pria biasa, atau setidaknya pernah menjadi demikian, sebelum malam panjang lima tahun lalu ketika suara dari bawah lantai rumah masa kecilnya memanggil: suara perempuan menangis, menjerit, lalu membisikkan sebuah rahasia yang mengubah hidupnya selamanya.
Malam itu juga, Wahyu berhenti menjadi manusia biasa.
Waktu menunjukkan pukul 02.13 dini hari ketika Wahyu tiba di rumah Ratna. Ia sudah mengintai selama tiga minggu. Ia tahu kapan lampu dinyalakan, kapan perempuan itu keluar untuk membeli sayur, dan kapan ia duduk di teras sambil menatap foto suaminya yang sudah mati.
Ia mengetuk pintu dengan lembut.
Tiga kali.
Dan seperti dugaan, Ratna membuka dengan wajah curiga, tapi tak sepenuhnya waspada.
“Ada yang bisa aku bantu, Mas?” tanyanya, masih mengenakan daster batik.
Wahyu tersenyum. “Maaf, Bu. Aku..... dari komunitas duka. Kami biasanya datang ke rumah janda-janda untuk—”
Belum sempat ia lanjutkan, Ratna menyeringai kecut.
“Aku nggak butuh bantuan. Sudah biasa sendiri.”
Tapi Wahyu tidak beranjak. Ia tahu jenis janda yang seperti ini. Keras di luar, retak di dalam. Ia hanya butuh celah.
“Aku tahu, Bu. Tapi... kadang luka lama butuh tempat untuk bercerita,” ujarnya, perlahan.
Hening sebentar.
Lalu pintu itu terbuka sedikit lebih lebar.
Di dalam rumah, bau kapur barus bercampur pengap. Ada foto-foto lama tergantung, beberapa tanaman mati di sudut ruangan. Ratna menawari teh, dan Wahyu menerimanya, walau ia tahu ia tidak akan sempat menyesapnya.
Mereka bicara. Tentang hujan. Tentang sepi. Tentang suaminya yang tewas tertabrak truk tahun lalu.
“Dia bukan suami yang baik,” katanya, tiba-tiba.
Wahyu menatapnya lekat. Ada luka di sana. Dan luka selalu punya pintu masuk.
“Maaf, aku sangat lancang. Tapi... apakah Ibu pernah merasa ia meninggalkan sesuatu yang belum selesai?”
Ratna memicingkan mata. Wajahnya berubah. Waspada. Tapi juga tertarik.
“Kamu ini siapa, sebenarnya?”
Wahyu menunduk, tangannya merogoh kantong jaket, menggenggam sesuatu.
“Aku cuma... pengagum janda. Jujur saja. Bagi saya, kalian semua menyimpan sesuatu yang tak bisa dimiliki oleh perempuan biasa. Rasa kehilangan. Tapi juga kekuatan. Dan aku ingin memahaminya. Dengan cara ku sendiri.”
Seketika, suasana berubah. Dingin. Sunyi.
Ratna berdiri, setengah marah, setengah takut.
“Kamu harus pergi sekarang.”
Tapi Wahyu sudah bangkit lebih dulu. Ia melangkah perlahan, seperti bayangan yang melesap dari mimpi buruk. Tangannya sudah memegang pisau, jari-jarinya gemetar... oleh rasa nikmat yang hanya ia pahami.
“Maaf, Bu Ratna. Aku harus tahu apa yang kamu sembunyikan.”
"Argghhhht---"
Teriakan Ratna terputus oleh suara kain robek dan napas yang tercekat.
Beberapa jam kemudian, Wahyu duduk di teras rumah Ratna, sambil menatap langit yang mulai memutih.
Di sampingnya, kantong goni besar yang dibawanya dari rumah sudah terisi sesuatu. Di dalamnya, sebuah tangan putih pucat menjuntai keluar, jari-jarinya masih seperti hendak menunjuk sesuatu.
Wahyu menghela napas.
“Aku tahu kamu juga menyimpan rahasia, Bu Ratna. Tapi aku akan membukanya. Perlahan.”
Ia berdiri. Meninggalkan rumah itu. Satu lagi janda telah "dibuka". Tapi obsesinya belum selesai. Tidak akan pernah.
Karena baginya, setiap janda adalah teka-teki. Dan ia adalah kematiannya.
____