

"Sakti… kamu sudah makan belum, Nak?” suara lirih itu terdengar dari ranjang kayu di sudut ruangan. Di atas kasur kapuk yang sudah mengempis dan usang, seorang wanita paruh baya terbaring. Nafasnya pendek-pendek, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak semakin kurus digerogoti penyakit.
Pemuda yang dipanggil Sakti hanya menoleh sebentar. Ia duduk di atas bangku kayu tua yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Tangan kasarnya menggenggam sendok kaleng yang sudah penyok, namun piring di hadapannya hanya berisi sisa rebusan singkong yang tampak hangat..
“Sudah, Mah!” ucapnya cepat, berusaha menyembunyikan perasaan. “Mamah makan dulu sebelum dingin makanannya.”
Bima Sakti—begitulah nama lengkapnya. Nama yang diberikan ibunya bukan sembarangan. Menurut cerita ibunya, Bima Sakti adalah nama galaksi raksasa tempat bumi berada, luas dan tak terbatas. Juga nama seorang tokoh pewayangan gagah perkasa, yang kuat dan sakti mandraguna. Harapan itu tertanam dalam namanya—agar ia tumbuh jadi orang yang serba bisa, tahan banting, dan tak mudah menyerah.
Namun kenyataannya, malam itu perutnya kosong.
“Kamu bohong lagi sama mamah…” suara ibunya pelan, tapi matanya menatap tajam. “Mamah dengar perut kamu keroncongan. Kita bisa bagi dua singkong rebus ini. Kamu yang bekerja keras, jadi harusnya kamu makan lebih banyak.”
Sakti menahan napas. Ia tidak ingin ibunya khawatir. Dengan senyum dipaksakan, ia mencoba bercanda, “Mamah salah dengar… itu suara jangkrik di luar rumah.”
Ibunya mendecak pelan. “Suara jangkrik itu bunyinya bukan kuruyuk… kayak perut kamu. Jangan bohong. Kalau kamu tidak mau makan, mamah juga tidak akan makan.”
Sakti terdiam sejenak. Matanya memandangi wajah ibunya yang keringat dingin membasahi pelipisnya. “Mamah kan lagi sakit,” ujarnya pelan, “jadi perlu makan banyak. Sakti tadi sore sudah dikasih makan sama Pak Umar, Mah. Memang dia pelit soal upah, tapi kalau makanan nggak pelit. Jadi Mamah nggak usah khawatir.”
Wanita itu terdiam sesaat. Nafasnya tersengal, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. “Baiklah… mamah percaya sama kamu. Tapi awas, ya… kalau bohong sama mamah. Karena mamah nggak pernah ngajarin anak mamah buat membohongi orangtuanya.”
Sakti menunduk. Dadanya terasa sesak, seakan ada batu besar menindih. Kata-kata ibunya membuat hatinya semakin perih. Ia tahu ia baru saja berbohong, dan itu bukan kebiasaan yang diajarkan ibunya. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?
Sakti memalingkan wajah agar ibunya tak melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Ibunya sudah mulai sakit-sakitan sejak tiga bulan terakhir ini. Biasanya ibunya bekerja sebagai buruh pabrik yang tak jauh dari desa. Kemungkina penyakit paru-paru yang menyerang ibunya berasal dari sana karena lingkungan pabrik yang kotor.
Uang yang ia dapat dari bekerja sebagai petani penggarap di sawah milik Pak Umar, juragan terkaya di Desa Karang Sari, nyaris habis untuk membeli obat-obatan warung dan bayar hutang. Obat murahan yang sering disebut “obat warung” itu memang tidak bisa menyembuhkan, hanya sedikit meredakan. Tapi bagi Sakti, hanya itu satu-satunya pilihan baginya.
Perut Sakti perih seperti diremas dari dalam. Sejak siang tadi ia belum menelan apapun, hanya meneguk air putih untuk mengganjal rasa lapar. Namun, ia memilih menahan sakitnya. Baginya, kesehatan ibunya jauh lebih penting daripada perutnya sendiri.
“Tidak, Mah… mana berani Sakti bohong sama mamah terbaik di dunia,” katanya sambil memaksa tersenyum.
Ibunya yang terbaring lemah di kasur kapuk yang sudah keras itu tersenyum tipis. Tangannya yang gemetar meraih sepotong singkong rebus yang masih mengepulkan uap. Aroma sederhana singkong rebus itu memenuhi ruangan, tapi bagi mereka, itu adalah hidangan istimewa.
“Kamu itu ya… pintar sekali merayu. Pasti banyak gadis-gadis nanti yang jatuh cinta sama kamu.”
Sakti terkekeh pelan, meski hatinya ngilu. “Ah, mamah bisa aja… mana mau gadis-gadis sama pemuda miskin kayak Sakti. Kudu kaya, Mah.”
Ibunya langsung menatapnya dengan sorot mata penuh teguran. “Hush! Jangan pernah bilang begitu. Tidak ada orang yang miskin… yang ada hanya orang yang sedang kurang beruntung. Hidup susah bukan berarti harga diri kita rendah, Nak.”
Sakti mengangguk pelan. “Iya, Mah. Sudah, habisin ya makanannya, terus minum obat.” Ia lalu berdiri, menuangkan air ke gelas kaleng yang catnya sudah terkelupas, lalu menyodorkannya ke ibunya.
Wanita itu menatap gelas itu lama, sebelum akhirnya berbisik, “Kamu ngutang lagi ya ke Pak Jarwo?”
Sakti tersentak kecil. Ia mencoba menyembunyikan keresahan dengan senyum samar. “Upah dibayar seminggu sekali, Mah. Tiap hari cuma dikasih uang makan seadanya. Jadi… ya, nggak cukup buat nebus obat di warung desa.”
Wajah ibunya meredup. Matanya tampak berkaca-kaca, seolah menyesali keadaan. “Jangan banyak-banyak minjamnya, Nak. Nanti kita nggak sanggup bayarnya. Kamu tahu kan… centeng-centeng Pak Jarwo itu kejam sekali!”
Bayangan tubuh-tubuh kekar yang sering datang menagih hutang melintas di benak Sakti. Teriakan, ancaman, bahkan pukulan yang sering ia terima—semuanya masih terasa. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu menatap ibunya dengan mantap.
“Tahu, Mah. Udah, Mamah tenang aja. Jangan banyak pikiran. Sakti yang urus semua… Mamah tinggal sembuh.” Suaranya tegas, tapi kelembutan menutupinya.
Lalu ibunya bertanya lagi, dengan nada ragu tapi penuh harap, “Bagaimana dengan beasiswa yang kamu ajukan? Sudah ada pengumumannya belum?”
Pertanyaan itu menusuk jantung Sakti. Ia mengalihkan pandangan, menatap lantai bambu yang mulai rengkah. “Belum, Mah… masih beberapa bulan lagi.”
Ia tahu kalau ia baru saja menambahkan satu kebohongan lagi pada ibunya. Kenyataan yang sebenarnya, ia sama sekali tak sempat mengisi formulir pendaftaran beasiswa sehingga terlewatkan. Sejak pagi hingga malam, waktunya habis di sawah Pak Umar. Cangkul di tangan, lumpur di kaki, dan peluh di wajah adalah rutinitasnya.
“Kamu itu pintar, Nak. Jangan sia-siakan hidupmu hanya jadi buruh tani. Harus sekolah tinggi, biar bisa menaikkan derajat keluarga kita lagi.”
Suara ibunya terdengar lirih, namun setiap katanya bagai palu yang menghantam hati Sakti. Ucapan itu sudah sering ia dengar, seakan menjadi pesan yang terus diulang-ulang agar tidak pernah hilang dari ingatan.
Sakti menatap wajah ibunya yang pucat, dengan garis-garis halus kelelahan yang terpahat jelas. Kata-kata itu membuatnya bertanya-tanya. Menaikkan derajat keluarga? Apa maksudnya? Ada rahasia yang seolah disembunyikan ibunya rapat-rapat. Sama seperti tentang ayahnya—sosok yang tak pernah ia kenal.
Sejak kecil, ia tak pernah tahu siapa ayahnya. Apakah sudah meninggal, atau masih hidup di dunia ini, entah di mana? Setiap kali ia memberanikan diri bertanya, wajah ibunya pasti berubah sendu. Air mata akan jatuh tanpa kata, lalu percakapan berakhir begitu saja. Karena itulah, lama kelamaan Sakti memilih diam, menahan rasa penasaran yang terus menghantui.
Malam itu, dengan suara lantang namun bergetar karena emosi, ia menjawab, “Tenang saja, Mah. Sakti pasti akan menaikkan derajat keluarga kita! Apa pun caranya, Sakti janji.”
Mata ibunya berkaca-kaca, bibirnya membentuk senyum tipis. Ada kebanggaan, ada harapan, tapi juga seulas rasa takut yang samar. Perlahan, ia mengambil potongan terakhir singkong rebus yang tersisa di piring kaleng, lalu menyodorkannya ke arah Sakti.
“Mamah sudah kenyang… ini kamu habiskan. Jangan sampai mubazir. Tidak boleh buang-buang makanan, karena sama saja dengan membuang rezeki yang sudah kita dapat.”
Sakti menatap potongan singkong itu. Uapnya sudah hampir hilang, dingin merayap ke kulit jemarinya. Bau singkong rebus yang sederhana menusuk hidungnya, bukan karena menggoda, tapi karena itu satu-satunya makanan yang mereka punya malam itu.