Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
TUBUH YANG TERJUAL

TUBUH YANG TERJUAL

KEZHIA ZHOU | Tamat
Jumlah kata
107.5K
Popular
1.7K
Subscribe
114
Novel / TUBUH YANG TERJUAL
TUBUH YANG TERJUAL

TUBUH YANG TERJUAL

KEZHIA ZHOU| Tamat
Jumlah Kata
107.5K
Popular
1.7K
Subscribe
114
Sinopsis
18+PerkotaanSekolah21+Cinta SekolahHarem
❗Sad Story | Obsesi | 21+❗ **PLAKKK!!** "AARGGHH..." kepala Kinn mendongak, ketika rambut tebal ditengkuknya dicengkeram erat oleh gadis itu. "KAU.. MILIKKU.. KINN! BERLUTUTLAH!!" Kinn—remaja tampan dengan senyum yang nyaris selalu dipaksakan—hidup dalam rumah yang sempit, bersama ayah-ibu yang tak pernah benar-benar mengasihinya, dan seorang kakak dengan Down Syndrome yang jadi pusat perhatian keluarga. Di mata orang tuanya, Kinn hanyalah beban yang bisa dikorbankan kapan saja… demi uang, demi kesempatan, demi kenyamanan mereka sendiri. --------------------- Lalu datang Jesi. Cantik, kaya, dan terbiasa mendapatkan apa pun—termasuk Kinn. Putri pemilik sekolah itu tidak mencintai Kinn… dia menginginkannya. Tubuhnya. Kepatuhannya. Tatapannya yang tunduk. Jesi tak segan menjadikan obsesi sebagai senjata, dan kekuasaan sebagai alat untuk memiliki Kinn sepenuhnya. ------------------------ Dengan uang dan kekuasaan di tangan, keluarganya menyuap orangtua Kinn—membeli persetujuan, menyegel nasib anak mereka. Dalam sekejap, hidup Kinn bukan lagi miliknya. Tubuhnya dipaksa untuk MELAYANI. Untuk DISENTUH. Untuk DIMILIKI. Untuk dijadikan kekasih di siang hari dan budak di malam hari. Tanpa hak menolak. Tanpa tempat melarikan diri. -------------------------------- Apa artinya cinta kalau yang kau berikan hanya karena dipaksa? Apa artinya hidup kalau tubuhmu dipakai orang lain untuk memenuhi NASFUNYA—sementara kau hanya bisa diam, menggigit lidah sendiri agar tak berteriak? ----------------------------------- "Tubuh Yang Terjual" adalah kisah tentang pemuda yang dijual oleh darah dagingnya sendiri, dijadikan boneka oleh cinta yang salah arah, dan diseret masuk ke dalam hubungan penuh paksaan, seks, dan kekuasaan. Sebuah cerita gelap tentang bagaimana cinta bisa berubah menjadi penjara… dan tubuh manusia menjadi komoditas.
KENAPA AKU?

BRAAAKKKK!!

"Aarrghhh..."

Tubuh Kinn terhuyung, lalu jatuh membentur sudut meja kayu di ruang tamu yang sempit dan pengap. Sudut tajamnya menghantam tulang belakangnya, membuat nyeri menyebar secepat petir di tengah hujan deras. Tapi rasa sakit itu sekejap tertelan oleh suara lain—lebih tajam, lebih mengancam: suara gigi bergemeletuk, langkah kaki yang menyeret, dan gumaman panik yang berulang-ulang.

Di hadapannya, seorang pemuda dengan tubuh pendek kekar dan wajah yang familiar berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Tangannya yang besar memukul kepalanya sendiri dengan keras. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Seolah hendak membungkam kekacauan yang meledak di dalam pikirannya.

"Aku akan bilang ke Ibu… ibu… ibu… IBUUUU…!"

Suara Sotta melengking, pecah oleh ketakutan dan amarah yang saling menyerbu. Bibirnya bergetar, napasnya tersengal, dan dari tangannya—sebuah pensil sudah patah dua, digenggam erat hingga telapak tangannya mulai memerah.

Lalu, tanpa aba-aba, tubuh Sotta meluncur ke bawah meja. Ia meringkuk seperti anak kecil ketakutan. Bahunya gemetar. Matanya membelalak lebar, penuh air yang tak sempat jatuh.

Kinn—meski tubuhnya masih sakit, dan jantungnya berdebar hebat—mengambil napas panjang dan perlahan-lahan berjongkok di depan meja. Di sana, ia bisa melihat mata kakaknya menatap ke langit-langit kolong seolah ada monster tak kasatmata yang siap menerkam.

"Kak..." bisik Kinn pelan, suaranya lembut, nyaris seperti doa.

Sotta mengerang, memalingkan wajah. Nafasnya kini berubah menjadi isakan kasar.

"Aku tidak bermaksud mengambil gambar itu darimu," lanjut Kinn.

Tangannya yang gemetar berusaha mendekat, tapi ia tahu benar: satu gerakan yang salah, dan kakaknya bisa kembali mengamuk. Luka di sudut bibirnya yang masih menghitam minggu lalu adalah bukti dari amukan yang tak bisa dikendalikan.

"Aku hanya ingin melihat apa yang Kakak gambar. Itu saja... Aku tidak bermaksud apa-apa."

Sunyi. Kecuali deru napas dari kolong meja. Hening itu terasa panjang dan berat, seperti tali yang menjerat leher pelan-pelan.

Kinn menatap pensil patah di lantai. Ujungnya terbelah. Bagian yang satu masih di tangan Sotta, yang satunya lagi tergeletak dekat kaki Kinn. Satu gambar yang tadi coba dilihatnya hanya berupa coretan tak beraturan—garis melingkar-lingkar yang entah menggambarkan apa. Tapi di mata Sotta, mungkin itu adalah dunia yang ia pahami... dan Kinn menyadari, ia sudah lancang mengusik dunia kecil itu.

Ia bersandar sejenak ke lantai, mencoba menenangkan tubuhnya. Dada remajanya naik turun menahan emosi. Bukan amarah—bukan. Melainkan keputusasaan yang semakin hari kian sulit ia sembunyikan. Ia mencintai kakaknya. Tapi tak pernah mudah untuk mencintai seseorang yang bisa melukai fisikmu, lalu menangis di kolong meja, bingung dengan rasa bersalah yang bahkan tak bisa dia mengerti sepenuhnya.

Namun, kata-kata itu seolah tidak mampu menembus pendengaran Sotta. Pemuda dengan Down Syndrome itu terus mengulang-ulang ucapannya, seperti terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri.

"Aku akan bilang ke Ibu... Ibu... Ibu..." gumamnya lagi. Suaranya semakin meninggi, nadanya terdengar seperti ratapan yang mengandung ancaman, membuat Kinn semakin siaga.

Dengan perlahan, Kinn menggeser tubuhnya lebih dekat, namun tetap menjaga jarak aman. Ia tahu betul, satu gerakan yang terlalu mendadak bisa memicu reaksi yang jauh lebih buruk.

"Kak... tolong jangan katakan apa pun pada Ibu. Aku benar-benar tidak sengaja," ujarnya pelan, hampir berbisik. Sorot matanya tajam, mengawasi setiap gerak tubuh kakaknya yang masih gelisah.

Namun sebelum ia sempat melanjutkan ucapannya, terdengar suara langkah tergesa dari arah dapur—lantas disusul oleh bentakan yang memecah ketegangan di udara.

"SOTTA!"

Suara bentakan itu menghantam udara seperti cambuk.

Kinn terlonjak, lalu buru-buru berdiri, menegakkan tubuhnya dengan gugup. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya merah padam, dipenuhi kerut yang tegang karena amarah. Rambutnya berantakan, napasnya memburu seperti orang yang baru saja berlari menahan ledakan di dada. Tanpa memperhatikan Kinn sedikit pun, ia langsung berjongkok di depan Sotta, yang masih meringkuk di bawah meja, tubuhnya gemetar seperti anak kecil yang baru saja melihat mimpi buruk.

Tangan sang ibu mengelus lengan Sotta perlahan, suaranya berubah pelan, nyaris seperti bisikan manja yang tidak pantas berada di tengah ruangan yang penuh ketegangan.

Sementara itu, Kinn mencoba mundur, menyelinap menjauh dari perhatian ibunya. Namun percuma.

Tatapan tajam itu langsung berbalik ke arahnya.

Dan lalu—

PLAAAKK!!

Tamparan keras menghantam pipi Kinn, membuat kepalanya menoleh paksa. Suara pukulan itu bergema di ruangan sempit, mengiris udara seperti pisau. Dunia seolah ikut bergetar. Telinganya berdenging.

Nggiiinngg…

"Anak tidak tahu diri!" teriak ibunya, matanya membelalak liar, seperti hendak membakar anak yang berdiri di hadapannya.

"Sudah berapa kali Ibu bilang? Jaga kakakmu! APA KAU TULI?!"

Sebelum Kinn sempat membuka mulut, tangan ibunya sudah kembali terangkat—kali ini mengepal.

BUGG!

BUGG!

BUGGG!

Pukulan-pukulan itu mendarat brutal di punggung dan bahunya. Tubuh Kinn terguncang, terhuyung mundur, namun tidak sekalipun ia membalas atau mengangkat tangan. Ia hanya diam, menahan sakit yang merambat dari kulit hingga ke tulang, dan menusuk lebih dalam ke sesuatu yang tidak bisa ia jangkau—hatinya.

"Dasar anak pembawa sial!" desis ibunya dengan suara yang lebih dingin dari kematian.

"Kau ini hanya menyusahkan! Tidak berguna! Kalau bukan karena kakakmu, Ibu sudah lama tidak tahan hidup serumah denganmu!"

Tatapan wanita itu menyala dengan kebencian yang nyaris tidak masuk akal. Kata-katanya seperti belati yang menusuk perlahan, satu-satu, lalu diputar ke dalam.

Kinn hanya bisa menunduk. Bibirnya gemetar, tapi tidak mengeluarkan suara. Ia tahu, semua bentuk pembelaan hanya akan memperpanjang siksaan. Maka seperti biasa, ia memilih diam.

Lalu, seolah adegan barusan tidak pernah terjadi, wanita itu kembali berjongkok. Tatapannya berubah lembut, bibirnya tersenyum tipis saat menggenggam tangan Sotta dengan penuh kasih.

"Tidak apa-apa, Nak… Sotta anak baik, ya? Maafkan Ibu telat datang. Sotta pasti ketakutan, ya?"

Kontras itu memuakkan. Namun Kinn sudah terbiasa. Ia tahu betul: di rumah ini, hanya satu anak yang pantas dicintai.

Dan itu bukan dirinya.

"Kemarilah, Sotta," suara sang ibu berubah lembut, nyaris mendayu.

"Ibu di sini, Nak. Tidak usah takut. Ayo keluar dari bawah meja."

Dengan tubuh gemetar, Sotta merangkak keluar. Mata bulatnya masih dipenuhi air mata, pipinya basah, napasnya tidak beraturan. Begitu melihat ibunya, ia langsung menggenggam tangan wanita itu dengan erat, seperti anak kecil yang baru saja selamat dari badai. Ada ketakutan, ada kebutuhan untuk dilindungi—dan di sana, di pelukan ibunya, ia tahu dirinya aman.

"Kinn jahat... Kinn jahat... anak nakal... jahat..." gumamnya berulang-ulang, seperti mantra yang tidak mau berhenti, seolah nama itu adalah kutukan.

"Iya, Nak. Ibu tahu," jawab sang ibu, penuh kasih, seraya mengusap kepala Sotta dengan lembut.

"Ayo makan, ya. Nanti kita bicarakan lagi."

Ia berdiri perlahan, masih menggenggam tangan Sotta seakan takut anak itu akan kembali meledak. Keduanya berjalan menuju meja makan. Langkah mereka tenang, menyisakan aroma perlindungan yang hanya diberikan kepada satu anak.

Sementara itu, Kinn masih berdiri di tempat. Punggungnya terasa panas dan nyeri, bekas pukulan yang baru saja mendarat masih berdenyut di bawah kulitnya. Tapi yang lebih menyakitkan bukanlah fisiknya—melainkan pemandangan di hadapannya.

Punggung ibunya yang menjauh, tangan yang seharusnya bisa menggenggamnya dengan kasih, kini hanya milik kakaknya. Semua cinta, semua perhatian, semua empati... tidak pernah jatuh padanya. Ia hanya bayangan dalam rumah yang ia tinggali. Bayangan yang dituduh, disalahkan, dan dibenci.

Kenapa selalu aku? pikirnya, pahit.

Pertanyaan itu tidak pernah dijawab. Dan setiap kali ia bertanya, dunia di sekitarnya hanya diam, seolah mengejek keberadaannya yang tidak diinginkan.

Kinn menggigit bibirnya, mencoba menelan tangis yang menggantung di tenggorokannya. Tapi air mata itu tetap jatuh—pelan, diam-diam. Seperti dirinya.

****************

"Di mata mereka, aku selalu salah... bahkan saat aku tidak melakukan apa-apa."

—KINN

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca